Tuesday, February 22, 2005

Bahagia

Aku pernah liat buku yang judulnya agar senantiasa bahagia. Kalau diterapin ke aku kayanya bakal over dosis deh, abisnya kayanya aku bawaannya seneng terus. Bahaya kan kalo saraf sedihku putus. Kalo di Salman aja, sering banget dapet salam dari para tetua, dan yang membuat aku seneng karena dapet senyum. Aku selalu seneng ngeliatin orang senyum, kayanya dunia itu damai banget. Kemarin waktu shalat Dzuhur, aku udah ketinggalan jama'ah, jadi mulai deh clingak-clinguk nyari orang yang bisa diajak bareng. Pas bilang mau ikutan jama'ah ke target, reaksi tetehnya, "Wah, bacaan saya pendek-pendek," dengan ekspresi segen. Tapi setelah cengar-cengir, akhirnya tetehnya mau juga. Tapi bukan itu yang bikin aku teringat terus, melainkan kata-katanya, "Wah, jadi mahasiswa ITB pasti gampang cari kerja ya" dengan nada setengah bertanya sekaligus menegaskan sambil membandingkan dengan kondisi dirinya. Waduh, koq jadi gini, pikirku dalam hati. Asli deh, kalo ngedenger cerita dari orang-orang, suka trenyuh, sekaligus jadi punya motivasi lebih untuk berbuat sesuatu. Ngedenger pengalaman orang-orang TEMPO bertemu dengan berbagai karakter orang, aku termotivasi untuk jadi wartawan. Beberapa hal yang kepikir untuk masa depan adalah punya pekerjaan tapi ngga monoton, dan kalo bisa ngga formal juga. Aku rada2 alergi ama formalitas, makanya segala hal yang berbau birokrasi sejauh mungkin aku hindarin. Meskipun sekarang aku mencoba untuk lebih teratur(setidaknya dua minggu ini aku mulai berbenah diri), tetep aja di semester baru aku bermasalah dengan KSM gara2 yang ngga ngikutin jadwal yang bener. Dapet pengalaman baru sih, dan lumayan deg-degen juga soalnya sempat tersiar isu bakal kena hukuman setengah sks.

4 comments:

za said...

Kamu hidup terlalu lama di menara gading Ti! Coba bagaimana keseharian kamu? Dari tempat nenek, ke Salman terus ke kampus. Pernahkah, meluangkan waktu ke tempat-tempat yang jarang kamu kunjungi?

Hidup tidak "seputih" itu. Di luar sana kita harus selalu berhati-hati. Mana orang baik dan orang jahat seringkali tidak mudah dibedakan.

Jadi inget pengalaman ku berikut ini. Komentarnya, cerita boleh kan?

Waktu itu, kuliah sudah libur Idul Fitri. Matahari belum bersinar terik, sementara ku langkahkan kakiku ke Salman. Kemudian seseorang menghampiriku. "Dek, Cimahi (atau apa tepatnya aku lupa) masih jauh gak? Kalau jalan kaki 15 menit sampai tidak? Saya kecopetan Dek. Anak saya yang mau saya kunjungi ternyata sudah pulang duluan", tanya Bapak Tua itu kepada ku.

"Wah masih jauh Pak", jawab saya. "Memang anak Bapak kuliah di ITB nya apa?", tanya saya. "OOh, Teknik Lingkungan", jawabnya singkat. "Bapak mau pinjam duit Dek, boleh tidak? Untuk ongkos pulang. Kalau ada cukup Rp 8000, biar saya bisa pulang", Bapak Tua itu menjelaskan keinginannya.

Karena Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi, dan tidak ada sama sekali pikiran macam-macam dalam hati saya, saya keluarkan saja dompet dari kantung celana. "Pak, nanti kembalikan uangnya ke teman saya yang kuliah di TL juga saja Pak. Suruh anak Bapak titipkan ke teman saya itu (maksud gw: Mita)", ujar saya.

"Wah terimakasih Dek. Tapi kalau Rp 20000 ada tidak Dek? Supaya saya bisa lebih cepat sampai dan takut ada apa-apa di Jalan", Bapak Tua meminta tambahan pinjaman uang. Entah mengapa, tanpa pikir panjang, saya keluarkan juga jumlah uang yang ia minta.

Selesai bertemu Bapak Tua itu, saya bertemu Adi Gondrong (mantan Ketua KISR) dan iQbal Al Fajri. Mereka berdua berkata, "Ha..ha.., siap-siap aja mengikhlaskan uang yang kamu kasih tadi".

Smashing Pumpkin bilang, "The World is a Vampire"

Cheshire cat said...

Kalaupun menara gading itu ngga ada, saya akan membuatnya. Dulu guru di IC, juga pernah bilang hal yang mirip-mirip, "Yut, ntar kalau udah keluar dari sini(IC maksudnya), jangan terlalu gampang percaya sama orang."
"Emang kenapa pak?" tanya saya. "Abis, kadang kamu polos banget." Tapi apa jadinya melihat dunia dengan kacamata penuh curiga. Setiap orang dilihat dengan waspada, kalau ada kenalan baru langsung dipenuhi prasangka, meski kadang ada juga yang memanfaatkan praduga baik itu, tapi relatif lebih sedikit.

Saya jadi inget pengalaman saya mewawancarai pengemis di dekat Salman.

Setelah ngobrol kesana-kemari, akhirnya saya jadi tau kalau ibu itu asalnya dari luar kota. Beliau punya anak yang diserahkannya kepada orang lain, dan kini anaknya ngga mau ngakuin beliau sebagai ibunya lagi. "Malu," katanya. Tapi pas saya tanya apakah beliau bahagia, jawabannya adalah ya. Ia mengaku bahagia dan merasa hidup dalam kondisi yang berkecukupan. Setiap hari ia dapat makan untuk menyambung hidup, dan ia pun mengaku dapat menyewa sebuah petak yang dijadikannya tempat menghabiskan malam.

Waktu saya tanya, apa ada keinginan untuk merubah gaya hidupnya. Dengan bangga ia menjawab sudah memperoleh tawaran menjadi pembantu, sesudah lebaran.

Nyatanya, saya masih melihat ibu itu setia dengan mangkok plastiknya di jalan menuju Salman. Mungkin ibu itu telah bahagia dengan 'kemapanannya'. Dan sayapun memilih untuk membuat menara gading agar senantiasa melihat dunia dengan penuh warna.

za said...

Kenapa harus menciptakan menara gading untuk melihat dunia penuh warna? Bukankah dengan menciptakan menara gading justru menarik diri kita dari dunia sebenarnya?

Prasangka? Ha...ha.., kamu terlalu baik sih Yut. Jadinya ATM mu gak bakal kembali, apalagi uangnya. Karena aku akan menghilang...................

djakaria helingo said...

hidup adalah pilihan,,,,setiap masing2 kita selalu ingin memilih dan ingin di pilih,,tapi kadang2 kita kebanyakan memilih sampai2 tak terpilih...

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...