Thursday, April 28, 2005

Third Culture

Image hosted by Photobucket.com
"Electrical Model illustrating a Mind having a Will but capable of only Two Ideas."

Kaya anak kecil punya mainan baru... jadi pengen masang gambar terus,
dan bentuk blognya jadi rada acakkadut deh.. Gambar diatas aku ambil
dari sitenya: edge.org. Tulisannya banyak yang menarik, sebenernya sih,
aku juga ngga tau apa yang aku tangkep nyambung apa ngga. Soalnya
pemikiran seseorang tidak selalu sama dengan fakta. Misalnya, ketika
aku sedang membaca buku sastra. Aku akan mengaitkan teks yang aku baca
dengan pengalaman pribadi, sedangkan pengarangnya belum tentu mempunyai
latarbelakang sepertiku. Hasilnya penafsiranku terhadap sebuah teks,
beda banget dengan yang dimaksud oleh pengarang. Ngga masalah sih, toh
ada ungkapan 'pengarang telah mati'. Artinya, kekuasaan pengarang
sebatas ketika ia sedang menulis sebuah teks, selanjutnya ia tidak
memiliki hak lagi untuk menentukan persepsi pembaca. Pengecualian
ketika kita sedang mengapresiasi sastra. Biasanya ada pendahuluan
mengenai latarbelakang penulis, dan zaman sebuah kisah ditulis. Mungkin
hal yang sama juga berlaku untuk kajian mengenai teknologi. Tidak semua
teknologi yang diadopsi dapat langsung cocok dengan lingkungan barunya.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena setiap daerah, lingkungan
memiliki kebiasaan/tradisi, yang mungkin menghambat atau merubah fungsi
teknologi yang diinginkan oleh pembuatnya.

Tentang Third Culture sendiri, aku menangkapnya sebagai sebuah usaha
untuk membawa kajian-kajian sains kedalam wilayah yang lebih populer.

Wave

Image hosted by Photobucket.com
Rencana TA-nya tentang gelombang. Tadi iseng nyari di Mbah Goo tentang
Robin BC' tapi karena ngga ada gambar yang sesuai(harusnya gambarnya
berupa fungsi tangen dan fungsi polinomial). Jadi aja ngambil gambar
sembarangan, masih tetap tentang gelombang, tapi udah yang aplikatif
banget. Biar semangat aja TA-nya, dan biar blognya rada math dikit.
Selama ini kan tulisannya lebih banyak mengenai pengamatan sosial, dan
refleksi diri. Cayo..cayooo...

Foto diri


Image hosted by Photobucket.com  Hehe.. setelah biasa dengan ketidakpedulian, aku mencoba hal baru. Biar visualnya ngga parah-parah banget. Hipi...

Wednesday, April 27, 2005

Fufufu... Jadi!

Nulis tugas sosiologi tanpa buku sosiologi? Hua..ha... jadinya ngarang abis. Bukan itu aja, taunya H-1, jadi semaleman begadang(cuma ampe jam stengah 11 sih, dan lanjut lagi jam 5 pagi). Anak math, diminta nulis sosiologi, jadinya ya.. antara ngubek-ngubek buku yang rada nyambung ama poci-poci ngga jelas. Hasilnya, baca buku Fenomena Partai Keadilan buat dapet gambaran menulis makalah sosial, Politik Ideologi Mutakhir buat tau pemikiran-pemikiran yang mendasari orang2 yang terlibat di iklan Freedom Institute, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, yang ternyata udah ngga nyambung ama masalah yang aku bawa, Tipping Point, biar ada bau-bau sosiologinya ama Sihir Iklan, Wahyu Wibowo. Belum lagi nyariin artikel koran yang mengulas tentang perkembangan iklan di Indon. Kebayang kan meja belajarnya jadi kaya apa? Penuh dengan timbunan buku, dan kertas-kertas ngga jelas. Ada catatan jurnalisme zaman mas Arif dulu, karena ngga ada ide, syarat sebuah tulisan bisa menjadi berita investigatif aku sambungin ama iklan Freedom Institute. Asli, makalahnya perpaduan segala rasa. Antara kepepet waktu, buku yang ngga ideal, ngantuk, dan pantangan paling parah... ngga mood.


Sengaja jeda dulu. Nyari hiburan di ruang tv. Bukannya dapet pencerahan malah makin sumpek. Lagian isi tv dipagi hari penuh dengan telenovela, mending baca koran. Tapi ngga asyiknya hari Rabu, suplemennya ngga seru. Akhirnya milih mantengin kompie. Segala macam teori campur aduk jadi satu. Sekarang zamannya posmo, man, segala perbedaan dirayain saja. Alhasil tulisan sosiologiku gabungan antara simbol, citra, epidemi, dan kata-kata ngga jelas. Poin yang bikin aku seneng adalah, kertasnya ngga bisa dijegrek. Hehe... itu tandanya hasil ngarang ngga puguhnya udah lumayan tebel. Hehe... seneng-seneng ngga jelas, soalnya belum sempet diedit lagi, langsung dikumpulin. Biar agak kerenan, dijilid pake mika dan karton biru.

Ternyata asyik bikin teori-teori gabungan dari berbagai bidang kajian. Onething for sure, ngga ada math-nya, hua..ha..haa... O iya biar ngga parah-parah banget, kemarin aku baca tulisan-tulisannya mas Roby di sosiologi.blogspot.com, ternyata teori 6 degree separation yang menerangkan hubungan antar manusia yang dipisahkan oleh 6 derajat, adalah hasil penelitian orang math dan fisika. Jadi kalo aku nulis tentang sosiologi, ada kaitannya ama math juga(?).

Walah... logikanya makin kacau...

Monday, April 25, 2005

Guru

Apa yang pertama kali kau bayangkan ketika mendengar kata guru? Sosok serius berkacamata, dengan kata-kata tenang, atau kau malah akan membayangkan seseorang dengan sepeda onta, versi zaman kompeni? Bayangan yang tidak terlalu salah, meski banyak hal yang sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sepeda onta, kini sudah berganti dengan motor bebek, namun kesahajaan seorang pendidik, dari masa ke masa tampaknya tak jauh berubah. Setidaknya itulah kesan yang aku tangkap ketika, aku, Rini dan Arum berkunjung ke rumah salah seorang guru kami di kawasan Batan.

Di dinding rumah tampak empat buah lukisan. Aku mengenali salah satunya, karena dilukis oleh teman seangkatanku, tiga yang lain berasal dari adik-adik kelasku. Di sekolah kami, setiap akhir tahun ada pameran lukisan yang menjadi bagian dari perayaan kenaikan kelas. Dan setiap tahun, guruku itu pasti membeli salah satu lukisan murid. Tak ada yang istimewa mungkin, namun melihat apresiasinya yang begitu besar, kau bisa membayangkan betapa status guru sudah terinternalisasi demikian dalam pada dirinya.

Tak ada yang berubah dari sosok beliau ketika kami pertama kali melihatnya. Ramah, hangat serta bersahaja. Saat kami memasuki rumah beliau, tampak Razen sedang menatap layar kaca. Dari dalam kamar terdengar suara perempuan, "Kak, tamunya diajak masuk." Tak lama kemudian lengkaplah personil rumah itu di ruang tamu. Guru kami, istri beliau, Razen, Fayed, dan Dehan. Tampak sekali keakraban dalam keluarga tersebut.

Beberapa kali obrolan kami dengan guru yang sangat akrab dengan murid-murid tersebut, terpotong oleh polah Razen dan Fayed. Tampak sekali kedua anak itu akrab dengan bapak mereka. Sementara Dehan, dengan nyaman berada dalam gendongan ibunya. Di sela-sela obrolan kami mengenang masa lalu, serta menceritakan bagaimana kondisi sekolah yang terakhir, kami juga melihat foto-foto. Tampak benar pepatah yang mengatakan bahwa satu-satunya yang kekal adalah perubahan. Bangunan fisik sekolah yang berubah, serta gaya murid yang memiliki ciri setiap generasi.

Hanya satu hal yang kurasakan sama. Sikapnya tak pernah berubah, meski kami sudah lulus empat tahun yang lalu, beliau senantiasa menjadi guru. Mungkin bukan dalam definisi formal, yaitu seseorang yang mengajar di ruang kelas, melainkan sebagai sosok yang patut digugu dan ditiru.

Terimakasihku...
Kuucapkan pada guruku yang tulus....

Saturday, April 23, 2005

Rumah Tanpa Pagar

Masih seringkah kau melihat rumah tanpa pagar? Jika tidak, maka ada baiknya kau menjelajahi daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota besar. Berkunjung ke rumah-rumah tanpa pagar. Ke tempat-tempat dimana kau menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan bertetangga. Tanpa batas pagar-pagar tinggi berjeruji, yang menjadikan para penghuninya bagai tahanan. Kalau kau merindukan rumah-rumah seperti itu, kau bisa berkunjung ke sebuah daerah yang terletak agak pelosok dari kota metropolitan. Sebuah komplek dengan pohon-pohon besar yang menghiasi jalan, orang-orang paruh baya yang berjalan di pagi hari, ataupun anak-anak yang bersepeda menjelang pukul tujuh pagi tiba.

Di pojok jalan, ada sebuah rumah istimewa. Kau mungkin akan berkata, “Ah, semua rumah sama saja.” Tapi selain karena posisinya yang menghadap langsung ke danau, sehingga kau bisa melihat air tenang sepanjang hari dan letaknya yang bersebrangan dengan masjid, rumah di pojok jalan itu juga menawarkan kehangatan. Atmosfer yang hanya dapat kau rasakan ketika sedang bersama dengan orang-orang yang kau sayangi. Selain orang-orang yang ada dalam rumah tersebut, tetangga pun saling mengenal. Seperti ketika aku sampai di rumah, tetangga sebelah mengantarkan masakan dengan resep yang baru dicobanya. Begitu pula ketika masa lebaran tiba, kunjung-mengunjungi sudah menjadi bagian dari tradisi.

Mungkin kau akan berpikir, tradisi-tradisi hanya cocok untuk dikerjakan generasi tua. Meski kadang aku malas untuk bercakap-cakap yang tak jelas juntrungannya, tapi dengan keanehan hubungan itu, dunia itu menjadi lebih hangat. Lagipula, sejak kapan kasih sayang dan hubungan antar manusia bisa diparameterisasi efektif dan efisiensi. Seperti ketika kau merawat bunga anggrek yang angkuh, keterikatanmu dengannya tercipta bukan karena keindahan kelopaknya, melainkan kerumitan untuk merawatnya. Tak masalah berapa lama anggrek itu baru mau menunjukkan keindahaannya. Meski karena alasan itu rumahku menjadi satu warna, hijau. Pohon buah-buahan di halaman yang menghadap danau, suplir di bagian depan rumah, dan anggrek-anggrek yang menolak untuk berbunga. Bisa saja kau mengganti anggrek-anggrek manja itu dengan bunga rumput yang hanya membutuhkan sepetak tanah dan air hujan, namun mungkin kau tak mengalami kelekatan dengannya.

Karena ketika kau bahagia, kau takkan bertanya mengapa, hanya diam dan merasakan segala…

Friday, April 22, 2005

Langkah

Jalan itu masih rapuh...
Kejelasan yang selama ini kurintis tampaknya tak membantu banyak. Sekali meredup, kadang terang. Buram, jelas... bergantian tak tentu. Tanpa titik tuju, jalan itu kulalui jua. Bukankah aku senatiasa tahu batasan, lalu kenapa langkah menjadi persoalan.

Malam beranjak pekat...
Lagi-lagi aku ditemani layar monitor. Tempat curhat atas segala rehat. Waktu jeda yang kini tampak menganga. Hingga luang pun tak lagi terang, ia sama kelam dengan kesempitan. Layaknya feminim dan maskulin yang menggenap padu, atau yin yang menyempurnakan yang. Dua adalah satu, menyatu. Hingga baik tak pernah ada jika tak ada buruk. Lalu apakah aku baru menjadi sesuatu/seseorang jika ada perbandingan?

Waktu terus berjalan...
Di ambang batas. Di tepi lara... Kutatap lagi segala hal yang telah kulalui. Cita-cita masa kecil, buku-buku, teman-teman... Pilihan-pilihan... kesempatan.... Banyak hal yang telah kulalui dan aku tak tahu apa yang akan kuhadapi.

Semoga Kau tak bosan dengan pintaku, dan tetap menjagaku dalam kasih-Mu....

Kebetulan

"De, nama dosen walinya siapa?"
"Tii..t"
"Lho, itu kan temen kuliah mama di Perancis dulu."

"Yut, ternyata dosen pembimbing kamu, suaminya bu .... lho."
"Lho koq kakak tau nama pembimbingku?"
"Iya, jadi ceritanya kemaren, bla..bla...."
"Aduh gawat, belangku ketauan deh."

"aku tmn kul Zaki dulu. Zaki tmn kmu. Kmu tmn baek Rini. Rini 1rumah sm aku!!"

Hua..ha... gila dunia ini kecil banget. Kenapa banyak banget yang nyambung yak... Gara2 dosen pembimbingku kenalannya kak rezha, pas liburan di rumah jadi rajin deh. Abis... mau ditaro dimana mukaku kalo ampe bikin malu. Punish-reward ngga berhasil, hubungan sosial masih berlaku...

Kebetulan(1)

Bermain dalam imaji: semu, liar.... Pilihan-pilihan membentang, bersaing dengan kebetulan. Humoris, cara dunia menampilkan dirinya. Tertawa lepas, kemudian diam. Merenungi, membaca, bahkan dibaca. Teks yang membuka diri sejati... membuka tabir, menyingkap hijab... Lucu, takjub... kadang bimbang. Lekat, dekat, namun juga pekat. Kebetulan bukan jawaban, hanya cahaya remang. Kau masih harus berjalan... dengan langkah yang tertatih. Meraba... jatuh, bangkit, sakit, senang...

Pelita yang menerangi pekat jiwa...

Monday, April 18, 2005

Crazy Week

Gila... minggu lalu bener2 ancur. Waktu seperti menyerap segala tenaga, energi juga semangat. Mungkin manajemen waktunya kurang baik, tapi jadinya seperti terseret dalam sebuah arus tanpa kekuatan untuk melawan. Tugas yang datang bertubi-tubi, sampai kebiasaan yang terpaksa turut koyak. Tapi untung, senantiasa ada kejutan-kejutan kecil yang senantiasa membuatku tersenyum, termasuk sms dari kang Roby belia(thanks a lot, udah membawa sedikit warna bagi Jum'at kelam kemarin).

Mulai dari hari selasa minggu kemarin, sibuk ngejar 3 deadline. Mana untuk satu tulisan, mulainya bener2 dari nol. Nyari bahan, baca, trus menghimpun ide buat ditulis. Hasilnya, mengecewakan... harus mulai manajemen mood juga kali... Tugas yang kedua, masih selamat, meski dikomentarin ama dosennya, "Wah, judulnya rada ngga nyambung."(masalah klasik, belum punya solusinya, biasanya dikasih judul ama editor:D). Nah, yang terakhir ngga tau deh. Tapi pas ngerjain lumayan enjoy, so' ngga maslaah apa pendapat orang lain. O iya, akhirnya ada juga pr yang kebablasan, abis emang ngga ngerti bahannya, jadi mau gimana lagi...

Penyiksaan blom berakhir... Hari Rabu, tugas masih numplek-plek... Rapat di Salman(yang akhirnya ngga jadi), trus ada beberapa kerjaan yang belum kebayang blas. Fiu...h... capek, pengen tidur.... Kamis, beberapa jam di depan komputer. Dari mulai jam 9 pagi, udah nongkrong di lab(jarang2 aku jadi makhluk jurusan). Pertama, baca2 dulu(maleslah kalo pagi-pagi udah disodorin masalah matematik), cari artikel tentang Kartini, lumayan nih, kalo nulis tentang tema aktual biasanya dimuat(hua..ha... rada pragmatis dikit bolehlah). Trus mulai berkutat dengan Maple... yang akhirnya banyak buntunya. Udah dapet sedikit kemajuan sih, cuma programnya ngga bisa pake for dan do, atau while. Alhasil, iterasinya dikerjain manual. Untung looping cuma ampe lima, kebayang kalo nyampe skala ratusan, bisa tidur meluk komputer deh.

Pengalaman yang lumayan berkesan, abis baru pertama kali itu aku beneran ngerjain tugas yang nyangkut ama kata bernama PROGRAM. Gila... bener-bener kacau, ampe kak Rezha aja bantuin nyari pencerahan di Matlab(thanks kak, untuk supportnya meski akhirnya ngga kebuka help-nya:( ). Kayanya minggu kemaren(dan semoga ngga perlu aku alamin lagi) bener2 kacau. Penderitaan belum berakhir... pas mau ngelanjutin kerjaan di rumah, ternyata programnya ngga bisa dibuka, gara2 masih pake maple 7. Hua... jadi aja refreshing bikin tulisan ampe jam 10 malem tentang Kartini. Tau-tau lampu mati, padahal belom di save. Hehe... udah ngga punya ruang lagi buat sedih. Udahlah... tidur aja....

Jum'at pagi...
Udah nangkring di lab dengan manis. Eh... komputer yang ada maple 9 ngga bisa dipake, gara2 ada masalah dengan login. Kucing.... Daripada bete, cek email, sekalian ngirim artikel yang udah aku edit dirumah paginya(alhamdulillah masih ada recovery-nya, meski ada bagian yang ilang). Ngga beberapa lama Titi dateng... Eh, dia berhasil masuk ke kompie yang tadi aku coba...(emang lagi apes aja kali ya loginku). Mulai deh transfer maple 9 ke maple 8. Trus kuliah... pas lagi kuliah tau-tau dapet sms, yang bilang tulisanku bakal dimuat lagi. Hipi.... SangMaha Kasih memang tau cara yang tepat untuk menghibur hamba-Nya. Padahal, saat itu kuliah lagi rada ngga asyik(soalnya dosennya bilang Rabu depan bakal ujian). Whatta nice surprise...

Perjuangan belum usai... Tugas buat senin masih numplek banget. Temen2 ngajakin untuk mabit Jum'at malem. Tapi kebetulan ibuku dateng. Jadi aku mending jadi anak rumah dulu, kapan lagi coba... Kedatangan ortu selalu menyenangkan. Sabtu pagi, aku ama mamaku jalan-jalan... trus pulang beli jajanan di pasar depan rumah. Jam9-nya aku udah harus cabut lagi ke Salman. Rencananya sih mau jadi moderator diskusi, tapi pikiranku masih kebelah-belah ama tugas kelompok. So' Salim yang ngegantiin, hehe... lumayan juga kan:D....

Sorenya.. nginep buat ngerjain tugas terapan. Malam minggu malah ngadepin Matlab. Hua... manusia mabok komputer nih. Mana kepala masih rada blank lagi. Jadi deh, kita berempat bingung berjama'ah. Ngga ada kemajuan yang berarti, selain kita sama-sama tau bahwa kita ngga bisa. Ngga lagi deh... Kesepakatan: ahad sore ngumpul lagi....

Ahad pagi...
Ritual itu rehat. Hehe... kebiasaan ahad pagi... bangun agak siang, trus pergi ke depan rumah beli Kompas. Trus selang-seling antara nonton anime, makan pagi, trus baca koran. Wah, sedap banget deh. Tapi karena kemaren nginep di tempat temen, ritual ahadku cuti dulu. Pagi-pagi aku pulang berjalan kaki, menyusuri gasibu. Seneng ngeliatin orang-orang jualan. Sekalian beli beberapa hal yang penting tapi ngga mendesak, seperti payung(udah dua kali dipinjem tapi ga balik). Lumayan dapet payung 15ribuan... Abis gitu masih kesangkut kebeberapa tempat jualan lagi. Aneh-aneh... tapi sekaligus asyik, karena pasar merupakan salah satu tempat dimana penjual dan pembeli dapat ketemu langsung. Seneng aja, ngedengerin orang teriak-teriak mempromosikan barang dagangannya. Kata-katanya lucu-lucu...

Nyampe rumah, aku cuma sempet bolak-balik PR bentar, makan, mandi, trus cabut lagi. Orang-orang rumah pada bingung... biasanya aku menyediakan ahad sebagai hari rumah, tapi kemarin, bener2 kaya orang ilang ngeluyur all the day. Abis IC ada acara ngumpul. Tadinya udah mau ngga dateng, karena badan kayanya bener2 butuh istirahat. Tapi bagaimana mungkin menolak kesempatan ama orang2 yang bener2 udah kaya bagian dari diri sendiri? Mulai dari cela2an sampai saling mengingatkan. Pokoknya bener2 kaya bagian dari jiwa. Selain itu masih ada janji juga ama bayu, untuk ketemu ama kang Amir. Ini juga udah jadi bagian dari prioritas. Jadi sambil muter otak, perjalanan bolak-balik Pasteur-Ganesha aku jalanin sampe dua kali. Gila... ngga tau nih... badannya bakal ambruk apa ngga...

Abis dari Babakan Siliwangi, aku langsung tepar. Bangun jam setengah lima sore, sambil lupa waktu dan tanggal. Dan agenda hari itu belum beres, masih harus ngelanjutin tugas kelompok yang kemarin. Hua... masih pengen istirahat. Tapi namamnya komitmen dan tanggungjawab mau diapain lagi. Akhirnya kecibar-kecibur dulu... biar agak segeran. Berangkat lagi... Dengan perasaan ngga enak, karena pergi2 melulu, ijin ke Oma. "Ma, mau pergi lagi."

Malemnya...
Masih buntu. Akhirnya, nyari kelompok lain, malem2 jam 8 ditengah hujan pula. Kaos kaki udah basah kuyup(tapi lumayan juga jadi bebas karena udah ngga perlu nyelamatin kaki), pikiran juga udah mulai ngga konek. Tapi misi sukses, dapet pencerahan dengan fotocopy ditangan.

Kacau abislah...(dan sekarang juga masih ngantuk berat. WHoa...m, pengen tidur)

Thursday, April 14, 2005

Puisi

Udah lama ngga bikin puisi. Mungkin karena waktu merenung kian sedikit, tertelan oleh program Maple yang dari tadi belum kusentuh. Ah... kini tak ada lagi pertarungan keinginan, yang ada hanyalah penggenapan kewajiban.

Pertarungan itu kian mengganas
Menghisap udara
Memeras asa
Hingga sampai kebatas lara
Tak ada waktu untuk keluh
Karena aku menolak 'tuk merapuh

Kesadaran: Kolektif vs Pribadi

Saya sering bertanya-tanya pada orang yang memilih kesadaran kolektif, "Dimana posisi mereka sebagai individu?" Kesadaran kolektif yang saya maksud, bukan berasal dari kesaran pribadi yang kemudian membentuk sebuah kesadaran bersama, melainkan sebuah tindakan yang dilakukan atas dasar sebuah kesepakatan. Artinya, tindakan yang didasari sebuah motif tak lagi ditempatkan diwilayah privat, melainkan menjadi semcam sebuah konsensus. Saya? Terus terang saya adalah penganut pencarian pribadi. Bagi saya, kesadaran yang ditanamkan dengan waktu instan atau lewat buku-buku How to tampak terlalu absurd(tanpa makna). Tapi belakangan, ketika saya mencoba untuk mencari sebuah perspektif lain, saya memperoleh jawaban yang lumayan masuk akal juga. Bahwa sekarang segala sesuatunya harus dilakukan serba cepat kalau tidak mau ketinggalan zaman. Mulai dari perkembangan pentium yang dulu memakan waktu tahunan, sekarang hanya tinggal bulanan, makanan instan, mulai dari supermi hingga nasi(masukkan air panas dalam wadah, kemudian nasi dapat langsung disantap).

Begitu pula dengan kesadaran, selain konstruksi sosial konvensional yang melibatkan peran keluarga sebagai inisiator awal hingga pemilihan lingkungan tempat tinggal, hingga konstruksi modern dengan metode training, yang memberi garansi berubah dalam hitungan hari. Bahkan ada iklan, "Belajar tassawuf 24 jam." Bayangkan bahkan tassawuf, yang konsepnya zuhud serta mementingkan proses, sampai masuk dalam perputaran zaman yang serba cepat dan instan.

Artinya, keberadaan training-training yang menawarkan segalanya dengan serba cepat, hanyalah sebuah jawaban atas perkembangan zaman. Entah, karena memang ritme kehidupan yang berjalan kian cepat, atau orang-orang memang tidak memiliki waktu lagi untuk mencari hikmah dengan cara konvensional. Pada skala individu, metode yang diterapkan disesuaikan dengan kecendrungan masing-masing, namun ketika seseorang hendak menerapkan sesuatu cara dengan paramter efektif dan efisiensi, maka bahasannya akan beralih pada metode apa yang mampu memberikan hasil optimal.

Dari kasus-kasus itu, tentu saja akan muncul data-data pencilan. Namun itu bukan berarti bahwa metode tersebut gagal. Dan bukan berarti pula orang-orang pencilan tersebut salah. Hanya perbedaan pendekatan saja. Begitu pula dalam hal kesadaran pribadi vs kolektif. Pada beberapa fenomena yang saya amati, seseorang mengambil tindakan berdasarkan apa yang menjadi konsensus. Tindakan yang sekilas tampak sebagai sebuah perilaku tanpa kesadaran tersebut, sebenarnya tak separah itu. Setelah saya amati lebih lanjut tindakan itu didasari pada sebuah kesadaran yang lebih tinggi lagi.

To be continue...

Happy Birthday

"Mas, iyut udah beli kado."
"Iya? Ada di dalam tas ya?"[sambil langsung ngoprek tas yang biasa aku pakai].
"Lho, kan belum ada serah terima. Nanti aja kalau mama ke Bandung, Iyut titipin."
"Hmm..", masang muka mikir.
"Mas..."
"Apa?"
"Iyut pinjem dulu ya?"
"Ha....[Jeda]. Tapi jangan sampai lecek ya?!"
"Asyii..k"

Hehe... jadi kebagian baca duluan. Tepat hari ini kakakku ulang tahun. Nyanyi dulu ah...
Happy birthday to you...
Happy birthday to you...

May all your wishes comes true

Tuesday, April 12, 2005

Ternyata...

Biasanya aku menggunakan search engine Google, tapi tadi pas iseng(karena mau nulis juga lagi buntu), iseng aku nyari mencari namaku di Yahoo. Ternyata hasilnya lebih banyak, aku juga nemu namaku di blog berita, pas aku ngirim pertanyaan ke eramuslim:D

Monday, April 11, 2005

Kepada Seorang Kawan

[Episode: Cinta]

Kawan, sudah cukup lama aku tidak menyuratimu. Ada begitu banyak kejadian belakangan ini, yang mau tak mau kuakui menyita sebagian perhatianku. Kau ingat cerita mengenai waktu relatif di buku Supernova? Bagiku, waktu kini terasa begitu cepat berlalu, sampai-sampai aku tidak bisa meluangkan waktu untuk diriku sendiri. Aku tahu kau tidak suka caraku mencampuradukkkan teori fisikawan favoritmu itu dengan hal-hal relatif dalam kehidupan sehari-hari. Tapi aku tidak punya cara lain untuk menggambarkannya, jadi demi aku, kuharap kau tidak langsung menekukkan mukamu ketika membaca surat ini.

Aku selalu kagum dengan keteraturan hidupmu. Sesuatu hal yang sampai sekarang belum bisa kulakukan. Aku bukannya tidak pernah mencoba, tapi dengan mudah percobaan itu gagal total karena aku tidak pernah tahan pada sebuah ritme. Kau mungkin akan mulai mereka-reka bagaimana kacaunya ritme hidupku sekarang, sebenarnya tidak juga. Aku masih setia dengan perjalanan rumah-kampus, atau buku-buku karya pengarang favoritku. Bahkan, aku baru membeli sebuah buku baru karya Gardner. Ya..ya… aku tahu, kau pasti akan berkata bahwa aku orang yang fanatik. Hanya karena aku terpesona pada kisah Hans Thomas, aku jadi semacam fans gila yang senantiasa menunggu karya baru sang idola. Tapi kau tahu, hidup ini adalah sebuah misteri. Siapa tahu bukunya kali ini akan mengajariku sesuatu tentang hidup. Bukankah dibalik sikapmu yang selalu rasional, kau juga menyimpan kegilaan-kegilaan mengenai teori-teori Schrodinger hingga Heissenberg?

Kawan, ada sesuatu yang membuatku gelisah. Aku perlu pertimbanganmu dari sudut yang logis. Apa yang kau ketahui tentang cinta? Kenapa kata itu seringkali disebut dalam lagu-lagu ataupun film-film? Semua definisi yang aku ketahui tampaknya tidak mampu menjelaskan mengapa rasa itu bisa menyebabkan seorang berbinar-binar sekaligus menitikkan air mata. Apakah cinta itu sebuah rasa yang bisa dijelaskan dengan logika dan penjelasan ilmiah, atau ketika kau bertemu dengan seseorang, kau hanya bisa merasakan bahwa ia adalah orang yang tepat?

Kawan, apakah menurutmu mungkin ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki? Kalau aku termasuk yang menjawab mungkin. Tapi menurut survey yang aku lakukan(kau lihat, aku mulai menjadi seperti kau yang menggunakan metode ilmiah untuk menjelaskan kondisi yang menimpa diriku), mayoritas menjawab tidak mungkin. Ada perbedaan mendasar yang menyebabkan keduanya tidak pernah lepas dari kecendrungan-kecendrungan untuk memiliki perasaan lebih dari seorang sahabat. Kalaupun hubungan persahabatan antara keduanya memasuki fase baru, biasanya pilihannya hanya dua, jadian atau satu pihak merasa kemurnian persahabatannya ternoda, kemudian persahabatan itu putus begitu saja. Aku tentu saja, tidak akan termakan hasil survey(kau sudah hapal kebiasaanku bukan?), bukankah selama komunikasi berjalan semuanya akan baik-baik saja? Bagaimanapun aku akan mencoba untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain.

“Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?” tanyamu suatu kali. Aku tidak tahu, kalaupun perasaan itu ada, aku takkan mengungkapkannya. Aku tak memungkiri kadang ada seseorang yang mampu membuat denyut jantungku berdebar lebih cepat. Sesekali muncul pertanyaan menggoda, apakah ia memiliki perasaan yang sama denganku, tapi kutepis pertanyaan itu jauh-jauh. Masih banyak hal yang ingin kulakukan dan kucapai saat ini. Bukankah ketertarikan merupakan sesuatu hal yang pasti akan menghinggapi anak adam, merubah hal yang biasa menjadi penuh warna hanya dengan melihatnya? Tinggal bagaimana menempatkan perasaan itu dalam wadah yang benar. Semoga saja, aku tidak termasuk golongan orang-orang yang melampaui batas.

Mungkin kau bingung membaca suratku kali ini. Aku tidak akan heran kalau kau merasa seperti itu, kuharap kata-kata dari buku Vita Brevis bisa menolongmu untuk memahami apa yang tengah aku rasakan(sekalian agar kau tidak mengataiku sebagai seorang fans fanatik buta :D), “Betapa aku merindukanmu, Floria! Andai kau ada bersama kami saat ini. aku ingin bertemu denganmu, aku ingin bertemu denganmu dan, pada saat yang sama, aku juga tidak ingin bertemu denganmu. Aku ingin, tetapi aku tidak bisa , dan aku tidak boleh, tetapi aku sangat ingin.”

Potongan diatas merupakan bagian dari surat Agustinus untuk Floria. Kau lihat, pertentangan batinnya demikian kuat ketika ia harus memutuskan jalinan cintanya dengan Floria karena memilih jalan pengendalian diri. Sungguh mengerikan membayangkan ada pertarungan yang demikian dahsyat dalam diri seseorang. Aku jadi teringat kata-kata Muthahhari, bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika kau bisa lepas dari penjara cinta diri. Kau mungkin akan berkata, cinta senantiasa bersifat timbal balik. Tapi dalam situasi seperti yang dialami Agustinus, aku tidak tahu apakah ia benar-benar memikirkan Floria atau hanya tenggelam dalam pertarungan rasio dan perasaan dirinya sendiri.

Sama halnya ketika kau menyatakan perasaanmu. Kau bilang bahwa kau bersedia melakukan apa saja asal ia bahagia, tapi ternyata pernyataanmu adalah satu-satunya hal yang membuat ia terluka. Bukan karena dirimu secara langsung, tapi karena di dalam dirinya berlangsung pertempuran, antara menjaga perasaanmu dengan mempertahankan hatinya sendiri. Aku tidak yakin penjelasan tambahanku dapat membantu, sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang tengah aku bicarakan dan lakukan. Karena itu, sebagai seseorang yang kuanggap paling mengerti diriku, kuharap kau mau menjelaskan apa itu cinta.

Semoga Sang Maha Kasih senantiasa membalas segala kebaikanmu.

Salam sayang selalu,
Kawanmu

Mau Tau Aja...

Sun Go Kong kini tengah melompat-lompat(simbol pikiran dalam Zen).

“Rasa ingin tahu perlu dibatasi ngga?” Jawaban dari pertanyaan itu aku temukan di cover belakang buku Samurai yang isinya, “Kemampuan untuk mengendalikan rasa ingin tahu kadang lebih penting daripada sebilah samurai tajam”(kurang ingat redaksional tepatnya seperti apa, soalnya kata-kata itu hanya aku baca sekilas pas liat-liat buku di Gramed). Kemudian di buku Vita Brevis aku juga menemukan bagian mengenai rasa ingin tahu. “Nilainya hanya sedikit diatas dua belas ribu dolar—untuk sesuatu yang mungkin saja tidak memiliki nilai sejarah apa pun. Namun aku begitu ingin tahu, dan aku bukanlah orang pertama yang membayar mahal untuk rasa ingin tahunya.”(Vita Brevis, Gardner:h.8)

Apakah rasa ingin tahu bagian dari hawa nafsu, sehingga untuk menghentikannya diperlukan upaya ekstra? Kalau merujuk kisah Pandora, tampaknya aku akan menjawab ya. Bayangkan saja, gara-gara rasa ingin tahu Pandora, semua kejahatan keluar dari kotak, dan hanya menyisakan sebuah kebaikan yaitu harapan. Apa jadinya kalau rasa penasaran senantiasa digenapkan dengan sebuah pencarian panjang tanpa jaminan jawaban. Mungkin hasilnya adalah manusia-manusia gelisah yang tenggelam dalam dunianya sendiri.

Pembatasan bagi rasa ingin tahu akhirnya membawaku pada sebuah pertanyaan yang lebih besar, liberal atau sosialis? Sebenarnya ini gara-gara belakangan ini aku kembali membaca-baca pemikiran orang-orang di JIL, kemudian aku bandingkan dengan teman-teman yang oleh JIL dituding sebagai kelompok militan fundamentalis(istilah yang menurutku sudah mengalami distorsi pemaknaan, sehingga umumnya dikonotasikan negatif). Terlepas dari segala tudingan yang dikenakan pada jaringan tersebut, argumen-argumen yang dikemukakan dalam diskusi di milis untuk beberapa kajian tertentu bisa diterima secara luas. Poin positif lain yang aku dapatkan dari milis itu adalah keterbukaan untuk menerima kritik dan perbedaan pendapat. Meski dari segi pewacanaan keluar cenderung untuk menampilkan kesan menentang arus dan asal beda. [Ada sebuah kata yang hilang dari paragraf ini, Islam. Cuma aku suka serem menggunakan kata itu, takutnya terlalu banyak distorsi subjektivitas sehingga memungkinkan terjadi salah penafsiran akan Islam sendiri, dan tentang pemahamanku akan Islam]

Tahun 98-an, banyak bermunculan buku-buku Islam dan Sosialisme, Islam dan Teologi Pembebasan, Kiri Islam dll. Sebenarnya wacana ini tidak benar-benar baru, kalau melihat pemikiran H.O.S Tjokroaminoto, terlihat bahwa beliau juga menganut paham tersebut(fui..h lagi-lagi menurut pendapatku). Pemikiran ini kemudian ditandingi oleh Islam Liberal(jadi selain muncul untuk menandingi islam literal, islam fundamental dll) secara ideologis, liberal berlawanan langsung dengan sosialisme(setidaknya kalau masih mau setia dengan pandangan biner, a dan bukan a). Nah, kedua kubu ini sama-sama menyatakan sebagai turunan dari islam.(Sebenarnya tidak adil juga kalau pemaknaan liberal langsung dikonotasikan ke JIL, karena ada orang-orang lain pemahaman islamnya liberal tidak tergabung dengan JIL, tapi kalau dimasukkan pembahasannya jadi kemana-mana…:( ).

Kasus yang menarik untuk disimak adalah mengenai dukungan terhadap kenaikan BBM yang mencantumkan beberapa dedengkot JIL sebagai pendukung. Salah satu argumen yang dikemukakan di milis oleh kelompok pro-kenaikan adalah pengurangan subsidi sejalan dengan ideologi liberal, yang kemudian dibantah dengan alasan, kalau seperti itu apa bedanya islam liberal dengan liberal murni. Perdebatannya kemudian menjadi cukup panjang dan melebar.

Aku tidak akan fokus ke masalah itu(fokus mengenai pemasangan iklan oleh freedom institute buat tugas kuliah kontroversi aja), tapi pertanyaan yang muncul adalah, benarkah islam cenderung pada liberal, demokrasi? Kalau pertanyaan ini aku peroleh waktu SMA pasti jawabanku tidak, soalnya saat itu aku lebih cenderung ke pemikiran sosialis. Tapi kalau dilihat dari konsep fitrah manusia, seharusnya dengan kebebasan berpikir seseorang dapat menuju pada kesejatian Islam. Seperti alasan yang dikemukakan dalam sejarah sudah berakhir(?), sejarah sudah tidak diperlukan lagi karena pertarungan pemikiran telah menelurkan kapitalisme sebagai pemenang. Berakhirnya sejarah diartikan sebagai puncak dari dialektika yang menelurkan kapitalisme sebagai ideologi sempurna hasil tesis-antitesis.

Meski ternyata pandangan itu salah dan ternyata kapitalisme belakangan dinilai bukan solusi ideal, adanya pandangan bahwa kebenaran akan selalu keluar sebagai pemenang cukup menarik. Kalau memang ya, sebagaimana argumen yang sering dikemukakan oleh teman-teman berhaluan liberal, maka demokrasi adalah sesuatu yang harus didukung, dan kebebasan informasi menjadi suatu hal yang mutlak. Tapi apa kondisi ideal senantiasa berlaku? Sebagaimana alam yang memiliki sistem keseimbangan, apakah kondisi yang ada sekarang sudah merupakan kondisi ideal?

Adam Smith pernah mengemukakan teori mengenai pasar ideal. Kondisi yang kemudian dikritisi oleh Keynes, karena menurutnya dalam The General Theory of Employment(1936), “Ekonomi pasar bebas bukanlah mekanisme yang selalu bisa memperbaiki dirinya, tetapi dalam beberapa kondisi(seperti yang umum), ekonomi pasar bebas ternyata dapat merosot tanpa kepastian.” Dari pandangannya ini kemudian muncul liberal keynesian yang melibatkan intervensi pemerintah dalam mengatur pasar, entah lewat pajak, belanja pemerintah maupun kontrol kredit.

Adanya campurtangan pemerintah, meski untuk negara yang memproklamirkan diri liberal sekalipun, mengindikasikan bahwa liberalisme murni tidak mungkin, yang mungkin hanyalah mengatasnamakan liberalisme untuk melegitimasi hal-hal yang menyangkut kepentingan publik. Contoh lain adalah affirmative action yang hadir untuk memberikan perlakuan-perlakuan khusus kepada kelompok-kelompok marjinal, seperti: buruh, perempuan, petani, nelayan. Khusus untuk masalah perempuan, affirmative action kadang memperoleh tantangan dari kaum feminis radikal yang menganggap perlakuan khusus ini sebagai salah satu bentuk ketidaksetaraan gender.

Bentuk-bentuk campurtangan, hingga pembatasan informasi menjadi suatu hal yang masuk akal bagi orang-orang sosialis--bahkan untuk beberapa kasus—juga berlaku untuk orang liberal. Alasannya kondisi yang ada belum ideal, untuk mencapai nilai-nilai dan keadaan yang diinginkan diperlukan rekayasa-rekayasa sosial yang hakekat/intinya hanya diketahui sebagian elit. Pandangan ini mengandung pro-kontra, pertama, sejauh mana elit benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat. Kedua, sistem kontrol apa yang dapat menjamin penguasa untuk tidak berlaku sewenang-wenang(sebagaimana kritik yang dilancarkan terhadap Marx, karena klas proletar pada akhirnya membentuk klas atas baru). Ketiga, rakyat senantiasa berada dalam kondisi mapan, dengan filter-filter yang dilakukan elit penguasa sehingga membentuk masyarakat yang tidak kritis dan stagnan.

Pandangan liberal versus sosialis kemudian sangat relevan ketika ditarik dalam masalah kebebasan pendapat. Salah satu indikator keberhasilan demokrasi adalah adanya kebebasan pendapat yang diwujudkan dalam pers yang independen. Hal ini tidak ditemui di negara-negara sosialis, seperti ketika terjadi penyanderaan murid-murid sekolah di Rusia, tayangan berita Rusia tetap adem-ayem, hal serupa juga dilakukan oleh media di Singapure dan Malaysia untuk menjamin stabilitas negara. Indonesia pun pada masa Soeharto menerapkan aturan yang ketat terhadap pemberitaan, yang intinya tidak boleh mengganggu kestabilan negara. Bagi yang melanggar, bisa dikenai hukuman berdasarkan UU Subversif. Meski untuk beberapa hal tertentu, pemasungan pers berarti hilangnya sebuah alat(tools) pembelajaran masyarakat dan sistem kontrol terhadap kebijakan publik, disisi lain, pembatasan itu menjaga sebuah nilai yang bagiku sangat penting: kepercayaan terhadap negara.

Naïve? Sangat mungkin. Tapi lebih jauh lagi, hal yang aku sesalkan adalah kebebasan informasi seringkali diartikan sebagai era keterbukaan. Atas nama realitas dan masyarakat yang sudah cukup dewasa, banyak tayangan yang cukup vulgar lolos sensor. Jumlah tabloid maupun majalah yang ‘menjual perempuan’ pun meningkat tajam. Masyarakat tiba-tiba kehilangan kontrol, entah apa ini yang disebut eforia atau kondisi sekarang masuk kategori sakit.

Untuk mengimbangi kebebasan informasi tersebut, yang sudah nyaris mustahil untuk dihambat, muncul budaya tandingan(counter culture). Pandangan yang digunakan bukan mengenai kegamangan seseorang ditengah massa, melainkan budaya alternatif yang sama-sama menggunakan simbol idol, perayaan serta perangkat khas budaya massa lainnya, namun dikaitkan dengan nilai tertentu. Artinya, kebutuhan manusia untuk memperoleh hiburan, teladan, lingkungan, tayangan televisi, berita, tidak dinafikan melainkan dialihkan. Hasilnya, munculah genre FLP yang memiliki basis pembaca cukup loyal, MQ, eramuslim.com, Aa’ Gym dll.

Pembahasan mengenai sosialis-kapitalis, bebas-tidak bebas menjadi cukup rumit. Karena alat kontrol pun kurang mempan. Cara yang lebih efektif ternyata dengan memunculkan sebuah sistem alternatif yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang tengah gelisah. Hal yang hanya mungkin diwujudkan pada iklim keterbukaan(baca: demokrasi). Meski kalau melihat perjalanan sejarah, semenjak NKK/BKK disahkan pada tahun 1979, banyak aktivis yang mengalihkan kegiatannya ke masjid-masjid serta organisasi keprofesian. Namun momentum perubahan diperoleh ketika iklim politik di Indonesia sudah melunak(thanks to Habibie, yang udah mencabut UU Subversif serta belasan UU lainnya).

Pandangan global diatas juga berlaku dalam skala mikro. Misalnya, sejauh apa kontrol orangtua dalam mengarahkan anak pada agama serta nilai-nilai? Apakah dengan cara yang otoriter, atau dengan pemahaman serta peneladanan? Bagaimana kalau cara kedua kurang berhasil? Hal ini bagiku menjadi cukup dilematis(hua..ha..ha.. bahasannya jadi serius gini..) karena aku sendiri lebih mementingkan segi-segi humanis, sedangkan dalam wilayah bernama agama, ada dogma-dogma yang memang tidak bisa diperdebatkan. Seperti waktu itu pernah ngobrol dengan seorang teman, menurut dia perbedaan organisasi agama dan non-agama terletak pada tujuannya. Organisasi agama memiliki tanggungjawab moral bukan hanya pada kebaikan universal, melainkan juga pada kebenaran agama yang dianut. Poin tambahan ini yang menjadi agak kompleks, karena ketika berbicara mengenai kebenaran ada banyak sekali sudut yang bisa dipakai.

Di postingan mengenai jilbab, ada komen yang menyebutkan tentang yang penting mental jilbab bukan tampilan fisik. Kalau dari segi humanis, aku setuju, tapi kalau seperti itu aku jadi kehilangan fokus yang buntutnya mengarah pada sinkretisme agama. Ada statement menarik mengenai jalan keselamatan… tapi aku sensor(hehe… lagi menganut paham pembatasan informasi untuk kebaikan, for your own sake!).

Kesimpulannya(hua..ha…ha… kaya anak TK aja pake kesimpulan segala, biar keren epilog aja deh). Epilog, masing-masing orang punya jalannya masing-masing. Hikmah ada pada teks, hujan yang memberi nafas baru bagi tanaman, pergantian siang-malam, VCD-VCD Harun Yahya, lagu-lagu Barat hingga nasyid, film, ta’lim-ta’lim, pesantren, sekolah umum, lebah, bunga, gunung, keluarga, teman. Segalanya adalah tanda(def: menunjuk pada sesuatu diluar dirinya) yang akan dikaitkan dengan petanda pada masing-masing individu(pake konsep penanda-petandanya Saussure) dan menuju pada satu titik, Dia.

Karena Sang Maha Kasih akan berlari padamu ketika engkau tertatih menuju-Nya….

Thursday, April 07, 2005

Superman

It may sound absurd...but don’t be naive
Even heroes have the right to bleed
I may be disturbed...but won’t you concede
Even heroes have the right to dream
It’s not easy to be me
(Superman, Five for Fighting)

Wednesday, April 06, 2005

Rasa

Andai aku tahu...
Mungkin hatimu dapat tetap utuh
Diam atau mundur menjauh

Pengamat

"Yut, kamu kuning," kata Yan kemarin. Kemarin ada buku tentang warna dan karakter orang. Tau ngga, pas aku baca ternyata koq banyak benernya ya. Meski aku rada males mengkasifikasi sifat atau karakter orang, termasuk diriku sendiri(soalnya kata ibuku dari hasil penelitian terbaru karakter orang sampai 10![faktorial] kombinasi) ternyata buku itu rada2 nyepet. Hua..ha... tebak karakter kuning dibilang apa aja: periang, anti-komitmen, trus turunan-turunan keduanya. Hmm... baiknya bukan sebagai pembenaran kali ya... tapi lebih bagaimana mengintrospeksi diri.

Kalau dipikir-pikir, seorang wartawan/saintis yang baik kan memang harus menjadi seorang pengamat sejati. Artinya, sebisa mungkin pengaruh subjektivitas pribadi direduksi. Kalau kata pak bhm waktu training kemarin, media berperan sebagai juri dalam sistem peradilan. Media memiliki otoritas untuk menyaring informasi apa yang layak ditampilkan kepada publik, sementara posisi hakim tetap dipegang oleh pembaca. Nah, aku juga lebih senang menjadi pengamat daripada terlibat langsung. Implementasinya ya... jadi rada-rada ancur. Udah berapa bentuk kaderisasi yang aku hindari, mulai oskm, os jur, LMD, sampai bentuk-bentuk kaderisasi yang lebih informal sampai jabatan-jabatan struktural. Hehe... istilah kerennya out of structure... Hal yang mengimbangi sisi ini hanya segi kompromistis yang aku miliki. Agar menghindari konflik, aku harus tetap melakukan tarik-ulur, antara keinginan dan kewajiban. Lagian ngga kebayang kan kalau hidup menentang struktur terus menerus.

Ilustrasinya seperti ini, ketika dunia diributkan oleh dikotomi antara blok barat dan blok timur, Indonesia dan negara-negara netral memproklamirkan diri tergabung dalam Gerakan Non-Blok. Pada akhirnya, GNB ini memiliki kebijakan regional sendiri, dan bentuk kerjasama2 antara negara anggota. Lalu apa bedanya dengan blok Barat, dan blok Timur yang juga melakukan hal serupa bagi para anggotanya. Contoh yang agak berbeda mungkin pada istilah himpunan dan non-himp. Istilah ini masih benar, karena orang-orang yang non-himp tidak membentuk sebuah organisasi formal.

Pada kasusku, ketidakteraturan yang aku alami lama-lama membentuk pada sebuah bentuk kemapanan baru, yaitu keteraturan yang tidak teratur(chaos). Kontradiksi dengan pola hidup tidak terstruktur. Hua..ha..ha... abis belajar anril(baca:unreal), pelajaran killer di math. Jadi aja pola pembuktian argumentasinya menggunakan pembuktian secara tak langsung(kalo ngga salah istilah kerennya reducto ad absordum).

Ibuku pernah mengusulkan, kalau melanjutkan ke S-2, mending milih yang lebih sosial, seperti kajian kebijakan. Isi orang-orangnya sosial ama sains, nanti kerjanya di BAPPENAS. Di Indonesia masih realtif baru, tapi kalau di luar negeri, udah banyak universitas yang menyediakan jurusan ini. Ada kenalan maya yang mengambil jurusan ini di Amrik, pas aku baca tulisannya keren banget. Hal yang kebayang dalam benakku adalah kajian kebijakan teknologi atau semacam itu deh... Intinya jadi pengamat abis...

Monday, April 04, 2005

Jadi Apa?

Kemarin dapet kunjungan dari ortu. Muncul sebuah pertanyaan, yang sampai saat ini masih sering kutunda-tunda, "Mau jadi apa?" Wah... bingung jawabnya. Selama ini segala hal yang aku lakuin ngalir aja. Bukan karena aku ingin menampik kenyataan bahwa hidup ini ngga selamanya mulus, tapi karena aku merasa kalau dipikirkan hanya akan menambah penuh isi kepala. Gara-gara selalu menghindar dari pertanyaan itu, aku juga pernah dibilang, "Yut, kamu kurang ambisius." He... bukannya ngga punya visi, secara makro aku punya sebuah visi. Tapi kalau sampai turunan dan menyangkut detil kehidupan sehari-hari kayanya belum kebayang. Mungkin gara-gara visi besarku adalah menjadi orang yang berguna. Simple kan?

O iya jadi nyambung lagi sama materi yang dikasih kang Al Sabtu kemarin(tentu saja setelah mengalami distorsi waktu, ingatan dan subjektibvitas), mengenai energi minimal. Kalau seseorang menyukai suatu bidang, maka energi yang dikeluarkan untuk mendalami bidang itu disebut energi minimal(hua..ha... pantes untuk baca buku Strauss ama Marsden berat banget dibandingkan buku2nya Paulo Coelho dan Gardner). Dalam dunia tulis menulis misalnya, untuk memperoleh tulisan yang bagus lebih baik nulisnya di fokuskan dalam satu bidang kajian, daripada lompat-lompat ngebahas masalah fisika, budaya, politik. Tulisannya malah ngga dalem.

Au..ah... pokoknya kuliah diberesin dulu...

Berubah

Kemarin di Aksara ada materi dari kang Al. Salah satu hal yang disinggung adalah tulisan perdana beliau yang ketika dibaca ulang bikin malu. Aku jadi ingat tulisan seriusku yang awal banget. Pas kemaren ngubek-ngubek kumpulan kertas zaman SMA, aku nemu tulisan. Aku baca aja, "wah... darimana nih," pikirku. Ngga taunya, ada tulisan Yuti Ariani. Oa..lah... gaya nulisku udah berubah banget, sampai ngga ngenalin tulisan sendiri. Tema-tema yang biasa diangkat juga relatif berubah. Dari beberapa tulisan yang aku liat, kebanyakan nyinggung permasalahan sosial, ekonomi, politik(tapi lebih nyrembet ke ideologi). Beda ama tema-tema yang kuangkat sekarang yang lebih ke arah filosofis dan nilai-nilai. Mungkin yang paling konkret ke masalah budaya, tapi itu juga ngga begitu dalam. Hal lain yang cukup mencolok lainnya adalah tulisan SMA mainannya data. Mulai dari ngudek-ngudek web indies yang kontra-pemerintah sampai yang data versi BPS. Kalau sekarang jangankan make data, untuk nambah wacana aja kayanya males banget. Apa mungkin ini juga dipengaruhi oleh kedekatan dengan beberapa orang? Abis, zaman SMA lagi zaman2nya rusuh, pergolakan lagi rame-ramenya, buku-buku terlarang juga mulai gampang ditemui di pasaran. Udah gitu temen diskusiku di milis juga banyak anak sosial, mulai dari yang ikut FNPBI, liberal, sampai yang moderat-moderat lucu. Sekarang sih, kalo ngga dirame-in ama buku-buku math, aku banyaknya baca buku sastra. Hehe... emang rada tema bacaannya juga rada berubah. Ngga tau dari segi kualitas, yang jelas gaya nulisku berubah banget, mulai dari yang ngalir sampai sekarang banyak garuk-garuk kepalanya. Wah... apa artinya ini?

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...