Monday, April 11, 2005

Kepada Seorang Kawan

[Episode: Cinta]

Kawan, sudah cukup lama aku tidak menyuratimu. Ada begitu banyak kejadian belakangan ini, yang mau tak mau kuakui menyita sebagian perhatianku. Kau ingat cerita mengenai waktu relatif di buku Supernova? Bagiku, waktu kini terasa begitu cepat berlalu, sampai-sampai aku tidak bisa meluangkan waktu untuk diriku sendiri. Aku tahu kau tidak suka caraku mencampuradukkkan teori fisikawan favoritmu itu dengan hal-hal relatif dalam kehidupan sehari-hari. Tapi aku tidak punya cara lain untuk menggambarkannya, jadi demi aku, kuharap kau tidak langsung menekukkan mukamu ketika membaca surat ini.

Aku selalu kagum dengan keteraturan hidupmu. Sesuatu hal yang sampai sekarang belum bisa kulakukan. Aku bukannya tidak pernah mencoba, tapi dengan mudah percobaan itu gagal total karena aku tidak pernah tahan pada sebuah ritme. Kau mungkin akan mulai mereka-reka bagaimana kacaunya ritme hidupku sekarang, sebenarnya tidak juga. Aku masih setia dengan perjalanan rumah-kampus, atau buku-buku karya pengarang favoritku. Bahkan, aku baru membeli sebuah buku baru karya Gardner. Ya..ya… aku tahu, kau pasti akan berkata bahwa aku orang yang fanatik. Hanya karena aku terpesona pada kisah Hans Thomas, aku jadi semacam fans gila yang senantiasa menunggu karya baru sang idola. Tapi kau tahu, hidup ini adalah sebuah misteri. Siapa tahu bukunya kali ini akan mengajariku sesuatu tentang hidup. Bukankah dibalik sikapmu yang selalu rasional, kau juga menyimpan kegilaan-kegilaan mengenai teori-teori Schrodinger hingga Heissenberg?

Kawan, ada sesuatu yang membuatku gelisah. Aku perlu pertimbanganmu dari sudut yang logis. Apa yang kau ketahui tentang cinta? Kenapa kata itu seringkali disebut dalam lagu-lagu ataupun film-film? Semua definisi yang aku ketahui tampaknya tidak mampu menjelaskan mengapa rasa itu bisa menyebabkan seorang berbinar-binar sekaligus menitikkan air mata. Apakah cinta itu sebuah rasa yang bisa dijelaskan dengan logika dan penjelasan ilmiah, atau ketika kau bertemu dengan seseorang, kau hanya bisa merasakan bahwa ia adalah orang yang tepat?

Kawan, apakah menurutmu mungkin ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki? Kalau aku termasuk yang menjawab mungkin. Tapi menurut survey yang aku lakukan(kau lihat, aku mulai menjadi seperti kau yang menggunakan metode ilmiah untuk menjelaskan kondisi yang menimpa diriku), mayoritas menjawab tidak mungkin. Ada perbedaan mendasar yang menyebabkan keduanya tidak pernah lepas dari kecendrungan-kecendrungan untuk memiliki perasaan lebih dari seorang sahabat. Kalaupun hubungan persahabatan antara keduanya memasuki fase baru, biasanya pilihannya hanya dua, jadian atau satu pihak merasa kemurnian persahabatannya ternoda, kemudian persahabatan itu putus begitu saja. Aku tentu saja, tidak akan termakan hasil survey(kau sudah hapal kebiasaanku bukan?), bukankah selama komunikasi berjalan semuanya akan baik-baik saja? Bagaimanapun aku akan mencoba untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain.

“Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?” tanyamu suatu kali. Aku tidak tahu, kalaupun perasaan itu ada, aku takkan mengungkapkannya. Aku tak memungkiri kadang ada seseorang yang mampu membuat denyut jantungku berdebar lebih cepat. Sesekali muncul pertanyaan menggoda, apakah ia memiliki perasaan yang sama denganku, tapi kutepis pertanyaan itu jauh-jauh. Masih banyak hal yang ingin kulakukan dan kucapai saat ini. Bukankah ketertarikan merupakan sesuatu hal yang pasti akan menghinggapi anak adam, merubah hal yang biasa menjadi penuh warna hanya dengan melihatnya? Tinggal bagaimana menempatkan perasaan itu dalam wadah yang benar. Semoga saja, aku tidak termasuk golongan orang-orang yang melampaui batas.

Mungkin kau bingung membaca suratku kali ini. Aku tidak akan heran kalau kau merasa seperti itu, kuharap kata-kata dari buku Vita Brevis bisa menolongmu untuk memahami apa yang tengah aku rasakan(sekalian agar kau tidak mengataiku sebagai seorang fans fanatik buta :D), “Betapa aku merindukanmu, Floria! Andai kau ada bersama kami saat ini. aku ingin bertemu denganmu, aku ingin bertemu denganmu dan, pada saat yang sama, aku juga tidak ingin bertemu denganmu. Aku ingin, tetapi aku tidak bisa , dan aku tidak boleh, tetapi aku sangat ingin.”

Potongan diatas merupakan bagian dari surat Agustinus untuk Floria. Kau lihat, pertentangan batinnya demikian kuat ketika ia harus memutuskan jalinan cintanya dengan Floria karena memilih jalan pengendalian diri. Sungguh mengerikan membayangkan ada pertarungan yang demikian dahsyat dalam diri seseorang. Aku jadi teringat kata-kata Muthahhari, bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika kau bisa lepas dari penjara cinta diri. Kau mungkin akan berkata, cinta senantiasa bersifat timbal balik. Tapi dalam situasi seperti yang dialami Agustinus, aku tidak tahu apakah ia benar-benar memikirkan Floria atau hanya tenggelam dalam pertarungan rasio dan perasaan dirinya sendiri.

Sama halnya ketika kau menyatakan perasaanmu. Kau bilang bahwa kau bersedia melakukan apa saja asal ia bahagia, tapi ternyata pernyataanmu adalah satu-satunya hal yang membuat ia terluka. Bukan karena dirimu secara langsung, tapi karena di dalam dirinya berlangsung pertempuran, antara menjaga perasaanmu dengan mempertahankan hatinya sendiri. Aku tidak yakin penjelasan tambahanku dapat membantu, sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang tengah aku bicarakan dan lakukan. Karena itu, sebagai seseorang yang kuanggap paling mengerti diriku, kuharap kau mau menjelaskan apa itu cinta.

Semoga Sang Maha Kasih senantiasa membalas segala kebaikanmu.

Salam sayang selalu,
Kawanmu

No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...