Sun Go Kong kini tengah melompat-lompat(simbol pikiran dalam Zen).
“Rasa ingin tahu perlu dibatasi ngga?” Jawaban dari pertanyaan itu aku temukan di cover belakang buku Samurai yang isinya, “Kemampuan untuk mengendalikan rasa ingin tahu kadang lebih penting daripada sebilah samurai tajam”(kurang ingat redaksional tepatnya seperti apa, soalnya kata-kata itu hanya aku baca sekilas pas liat-liat buku di Gramed). Kemudian di buku Vita Brevis aku juga menemukan bagian mengenai rasa ingin tahu. “Nilainya hanya sedikit diatas dua belas ribu dolar—untuk sesuatu yang mungkin saja tidak memiliki nilai sejarah apa pun. Namun aku begitu ingin tahu, dan aku bukanlah orang pertama yang membayar mahal untuk rasa ingin tahunya.”(Vita Brevis, Gardner:h.8)
Apakah rasa ingin tahu bagian dari hawa nafsu, sehingga untuk menghentikannya diperlukan upaya ekstra? Kalau merujuk kisah Pandora, tampaknya aku akan menjawab ya. Bayangkan saja, gara-gara rasa ingin tahu Pandora, semua kejahatan keluar dari kotak, dan hanya menyisakan sebuah kebaikan yaitu harapan. Apa jadinya kalau rasa penasaran senantiasa digenapkan dengan sebuah pencarian panjang tanpa jaminan jawaban. Mungkin hasilnya adalah manusia-manusia gelisah yang tenggelam dalam dunianya sendiri.
Pembatasan bagi rasa ingin tahu akhirnya membawaku pada sebuah pertanyaan yang lebih besar, liberal atau sosialis? Sebenarnya ini gara-gara belakangan ini aku kembali membaca-baca pemikiran orang-orang di JIL, kemudian aku bandingkan dengan teman-teman yang oleh JIL dituding sebagai kelompok militan fundamentalis(istilah yang menurutku sudah mengalami distorsi pemaknaan, sehingga umumnya dikonotasikan negatif). Terlepas dari segala tudingan yang dikenakan pada jaringan tersebut, argumen-argumen yang dikemukakan dalam diskusi di milis untuk beberapa kajian tertentu bisa diterima secara luas. Poin positif lain yang aku dapatkan dari milis itu adalah keterbukaan untuk menerima kritik dan perbedaan pendapat. Meski dari segi pewacanaan keluar cenderung untuk menampilkan kesan menentang arus dan asal beda. [
Tahun 98-an, banyak bermunculan buku-buku Islam dan Sosialisme, Islam dan Teologi Pembebasan, Kiri Islam dll. Sebenarnya wacana ini tidak benar-benar baru, kalau melihat pemikiran H.O.S Tjokroaminoto, terlihat bahwa beliau juga menganut paham tersebut(fui..h lagi-lagi menurut pendapatku). Pemikiran ini kemudian ditandingi oleh Islam Liberal(jadi selain muncul untuk menandingi islam literal, islam fundamental dll) secara ideologis, liberal berlawanan langsung dengan sosialisme(setidaknya kalau masih mau setia dengan pandangan biner, a dan bukan a). Nah, kedua kubu ini sama-sama menyatakan sebagai turunan dari islam.(Sebenarnya tidak adil juga kalau pemaknaan liberal langsung dikonotasikan ke JIL, karena ada orang-orang lain pemahaman islamnya liberal tidak tergabung dengan JIL, tapi kalau dimasukkan pembahasannya jadi kemana-mana…:( ).
Kasus yang menarik untuk disimak adalah mengenai dukungan terhadap kenaikan BBM yang mencantumkan beberapa dedengkot JIL sebagai pendukung. Salah satu argumen yang dikemukakan di milis oleh kelompok pro-kenaikan adalah pengurangan subsidi sejalan dengan ideologi liberal, yang kemudian dibantah dengan alasan, kalau seperti itu apa bedanya islam liberal dengan liberal murni. Perdebatannya kemudian menjadi cukup panjang dan melebar.
Aku tidak akan fokus ke masalah itu(fokus mengenai pemasangan iklan oleh freedom institute buat tugas kuliah kontroversi aja), tapi pertanyaan yang muncul adalah, benarkah islam cenderung pada liberal, demokrasi? Kalau pertanyaan ini aku peroleh waktu SMA pasti jawabanku tidak, soalnya saat itu aku lebih cenderung ke pemikiran sosialis. Tapi kalau dilihat dari konsep fitrah manusia, seharusnya dengan kebebasan berpikir seseorang dapat menuju pada kesejatian Islam. Seperti alasan yang dikemukakan dalam sejarah sudah berakhir(?), sejarah sudah tidak diperlukan lagi karena pertarungan pemikiran telah menelurkan kapitalisme sebagai pemenang. Berakhirnya sejarah diartikan sebagai puncak dari dialektika yang menelurkan kapitalisme sebagai ideologi sempurna hasil tesis-antitesis.
Meski ternyata pandangan itu salah dan ternyata kapitalisme belakangan dinilai bukan solusi ideal, adanya pandangan bahwa kebenaran akan selalu keluar sebagai pemenang cukup menarik. Kalau memang ya, sebagaimana argumen yang sering dikemukakan oleh teman-teman berhaluan liberal, maka demokrasi adalah sesuatu yang harus didukung, dan kebebasan informasi menjadi suatu hal yang mutlak. Tapi apa kondisi ideal senantiasa berlaku? Sebagaimana alam yang memiliki sistem keseimbangan, apakah kondisi yang ada sekarang sudah merupakan kondisi ideal?
Adam Smith pernah mengemukakan teori mengenai pasar ideal. Kondisi yang kemudian dikritisi oleh Keynes, karena menurutnya dalam The General Theory of Employment(1936), “Ekonomi pasar bebas bukanlah mekanisme yang selalu bisa memperbaiki dirinya, tetapi dalam beberapa kondisi(seperti yang umum), ekonomi pasar bebas ternyata dapat merosot tanpa kepastian.” Dari pandangannya ini kemudian muncul liberal keynesian yang melibatkan intervensi pemerintah dalam mengatur pasar, entah lewat pajak, belanja pemerintah maupun kontrol kredit.
Adanya campurtangan pemerintah, meski untuk negara yang memproklamirkan diri liberal sekalipun, mengindikasikan bahwa liberalisme murni tidak mungkin, yang mungkin hanyalah mengatasnamakan liberalisme untuk melegitimasi hal-hal yang menyangkut kepentingan publik. Contoh lain adalah affirmative action yang hadir untuk memberikan perlakuan-perlakuan khusus kepada kelompok-kelompok marjinal, seperti: buruh, perempuan, petani, nelayan. Khusus untuk masalah perempuan, affirmative action kadang memperoleh tantangan dari kaum feminis radikal yang menganggap perlakuan khusus ini sebagai salah satu bentuk ketidaksetaraan gender.
Bentuk-bentuk campurtangan, hingga pembatasan informasi menjadi suatu hal yang masuk akal bagi orang-orang sosialis--bahkan untuk beberapa kasus—juga berlaku untuk orang liberal. Alasannya kondisi yang ada belum ideal, untuk mencapai nilai-nilai dan keadaan yang diinginkan diperlukan rekayasa-rekayasa sosial yang hakekat/intinya hanya diketahui sebagian elit. Pandangan ini mengandung pro-kontra, pertama, sejauh mana elit benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat. Kedua, sistem kontrol apa yang dapat menjamin penguasa untuk tidak berlaku sewenang-wenang(sebagaimana kritik yang dilancarkan terhadap Marx, karena klas proletar pada akhirnya membentuk klas atas baru). Ketiga, rakyat senantiasa berada dalam kondisi mapan, dengan filter-filter yang dilakukan elit penguasa sehingga membentuk masyarakat yang tidak kritis dan stagnan.
Pandangan liberal versus sosialis kemudian sangat relevan ketika ditarik dalam masalah kebebasan pendapat. Salah satu indikator keberhasilan demokrasi adalah adanya kebebasan pendapat yang diwujudkan dalam pers yang independen. Hal ini tidak ditemui di negara-negara sosialis, seperti ketika terjadi penyanderaan murid-murid sekolah di Rusia, tayangan berita Rusia tetap adem-ayem, hal serupa juga dilakukan oleh media di Singapure dan
Naïve? Sangat mungkin. Tapi lebih jauh lagi, hal yang aku sesalkan adalah kebebasan informasi seringkali diartikan sebagai era keterbukaan. Atas nama realitas dan masyarakat yang sudah cukup dewasa, banyak tayangan yang cukup vulgar lolos sensor. Jumlah tabloid maupun majalah yang ‘menjual perempuan’ pun meningkat tajam. Masyarakat tiba-tiba kehilangan kontrol, entah apa ini yang disebut eforia atau kondisi sekarang masuk kategori sakit.
Untuk mengimbangi kebebasan informasi tersebut, yang sudah nyaris mustahil untuk dihambat, muncul budaya tandingan(counter culture). Pandangan yang digunakan bukan mengenai kegamangan seseorang ditengah
Pembahasan mengenai sosialis-kapitalis, bebas-tidak bebas menjadi cukup rumit. Karena alat kontrol pun kurang mempan. Cara yang lebih efektif ternyata dengan memunculkan sebuah sistem alternatif yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang tengah gelisah. Hal yang hanya mungkin diwujudkan pada iklim keterbukaan(baca: demokrasi). Meski kalau melihat perjalanan sejarah, semenjak NKK/BKK disahkan pada tahun 1979, banyak aktivis yang mengalihkan kegiatannya ke masjid-masjid serta organisasi keprofesian. Namun momentum perubahan diperoleh ketika iklim politik di
Pandangan global diatas juga berlaku dalam skala mikro. Misalnya, sejauh apa kontrol orangtua dalam mengarahkan anak pada agama serta nilai-nilai? Apakah dengan cara yang otoriter, atau dengan pemahaman serta peneladanan? Bagaimana kalau cara kedua kurang berhasil? Hal ini bagiku menjadi cukup dilematis(hua..ha..ha.. bahasannya jadi serius gini..) karena aku sendiri lebih mementingkan segi-segi humanis, sedangkan dalam wilayah bernama agama, ada dogma-dogma yang memang tidak bisa diperdebatkan. Seperti waktu itu pernah ngobrol dengan seorang teman, menurut dia perbedaan organisasi agama dan non-agama terletak pada tujuannya. Organisasi agama memiliki tanggungjawab moral bukan hanya pada kebaikan universal, melainkan juga pada kebenaran agama yang dianut. Poin tambahan ini yang menjadi agak kompleks, karena ketika berbicara mengenai kebenaran ada banyak sekali sudut yang bisa dipakai.
Di postingan mengenai jilbab, ada komen yang menyebutkan tentang yang penting mental jilbab bukan tampilan fisik. Kalau dari segi humanis, aku setuju, tapi kalau seperti itu aku jadi kehilangan fokus yang buntutnya mengarah pada sinkretisme agama.
Kesimpulannya(hua..ha…ha… kaya anak TK aja pake kesimpulan segala, biar keren epilog aja deh). Epilog, masing-masing orang punya jalannya masing-masing. Hikmah ada pada teks, hujan yang memberi nafas baru bagi tanaman, pergantian siang-malam, VCD-VCD Harun Yahya, lagu-lagu Barat hingga nasyid, film, ta’lim-ta’lim, pesantren, sekolah umum, lebah, bunga, gunung, keluarga, teman. Segalanya adalah tanda(def: menunjuk pada sesuatu diluar dirinya) yang akan dikaitkan dengan petanda pada masing-masing individu(pake konsep penanda-petandanya Saussure) dan menuju pada satu titik, Dia.
Karena Sang Maha Kasih akan berlari padamu ketika engkau tertatih menuju-Nya….
No comments:
Post a Comment