Friday, July 29, 2005

Cerita

“Ha..ah, jadi ada ceritanya?”
“Iya, matematik bukan sekadar ‘kerja kotor’ menurunkan persamaan. Kalau cuma itu, Maple juga bisa.”
“Ooo...”

Makin lama Ooo..-nya jadi makin panjang dan lama... Huehehe.. inilah contoh anak tingkat akhir yang baru mau serius di jurusan, ancur berat plus mirip balita yang baru belajar nama benda-benda. Makhluk-makhluknya sih udah familier, cacing integral, do(untuk turunan parsial), aturan rantai, kurva karakteristik, tapi pas ditanya kenapa ada makhluk-makhluk itu dalam persamaan yang digunakan, alasan yang paling dulu terlintas di kepala adalah, “Lah, kan emang gitu.”

Hua... ngga elit banget. Padahal kalau mau jadi ilmuwan/matematikawan kan harus skeptik. Kritis, penuh curiga sampai bisa membuktikan sendiri. Hal itu berarti aku ngga boleh mengumpulkan berbagai referensi dan berargumen, ini dari buku ini-itu-anu-dkk. Harus bisa nurunin sendiri dan ngerti darimana datengnya. Aduh, cerita matematiknya ngga keren... Seharusnya aku bisa menerangkan non-linier partial differential equation, khususnya bagian shock wave, eh aku malah cerita sampingan-sampingan ngga penting.

Ok, mulai dari persamaan: Ut + a(u)Ux=0 (ket: aku gedein u-nya, seharusnya t dan x pake subscript yang melambangkan turunan parsial dari u). Nah, kurva karakteristik dari persamaan diatas bisa dilihat dari bagian depan yang ada sebelum Ut dan Ux. Untuk persamaan diatas, kurva karakteristiknya diselidiki dari a(u). Gara-gara a(u) yang mengandung variabel x(t),t permasalahannya menjadi agak rumit. Informasi yang diketahui cuma: dx/dt=a(u).

Sedangkan yang ingin diketahui adalah, seperti apakah kurva karakteristiknya, bagaimana perilaku nilai-nilai yang ada di sepanjang kurva karakteristik(karena fungsinya melibatkan x(t) yang merupakan fungsi si kurva karakteristiknya). Dari informasi awal, akan diperiksa makhluk yang tersembunyi di a(u) dengan cara menyelidiki perilaku si u(x(t),t). Aduh, ternyata belepotan kalau diketik, hasil akhirnya langsung aja deh: d u(x(t),t)/dt= 0. Ini artinya, nilai u konstan di sepanjang kurva karakteristik. Trus fakta cihuiii yang tersembunyi dari penemuan baru itu adalah karena u(x(t),t)-nya konstan, maka a(u) juga konstan, sehingga dx/dt = k. Integral kiri dan kanan memberikan solusi: x= kt + xo, yang merupakan persamaan garis. Dengan demikian diperoleh gambaran bahwa kurva karakteristiknya berupa garis lurus dan nilai u sepanjang garis karakteristik konstan.

Dengan mengetahui informasi nilai u sepanjang garis karakteristik sama, maka bisa dituliskan: dx/dt = a(u(x,t)) = a(u(xo,0)). Ditambah informasi kondisi awal u(xo,0), nilai u(x,t)-nya bisa dicari.

Hehehe.. udah ah. Nantikan seri TA selanjutnya....

Wednesday, July 27, 2005

Gie

Akhirnya jadi juga nonton film Gie di bioskop. Senin lalu kehabisan tiket, trus diseling jalan-jalan dulu ke Carita, ditambah komentar-komentar, “Ih, rugi2 mending nunggu VCD-nya” dan, “Ya ampun Yut, yang nonton tuh anak2 SMU yang jerit-jerit pas Nicholas Saputra muncul.” Tapi suara-suara itu tak menyurutkan langkahku. Mungkin karena ketika membaca buku CSD(Catatan Seorang Demonstran) dengan cover masih merah-putih-hitam, aku tenggelam dalam kesepian seorang aktivis bernama Soe Hoek Gie, yang mencoba memahami dunia namun tak pernah terpahami.

Banyak kata-kata yang melekat dalam benakku terutama karena aktivis sekaliber Gie sangat manusiawi. Pergelutannya mencari kebenaran, menegakkan apa yang diyakininya dan menjadi seseorang yang kesepian. Bukan karena tak punya kawan, melainkan pergulatan pikiran di dalam dirinya sendiri yang membuat ia senantiasa berjarak dengan yang lain. Perenungannya abadi, tak hanya karena bertukar pikiran dengan insan pers sekelas PK Ojong, tapi juga persentuhannya dengan rakyat jelata.

Aku cukup menikmati adegan-adegan awal. Meski agak terganggu dengan suara musik yang mengalahkan dialog maupun suara narator, tapi semangat zamannya cukup terasa. Alur itu cukup terusik ketika pemeran Gie beranjak dewasa dan diperankan oleh Nicholas Saputra. Imaji yang telah terpatri dalam benakku buyar seketika. Potongan demi potongan yang telah susah payah dibangun, berganti menjadi sosok artis, dan jelas tidak sejalan dengan bayanganku akan Gie.

Meme asosiasi dan meme pembeda bekerja terlalu baik, sehingga aku tidak berhasil men-set otakku untuk menganggapnya sebagai Gie. Belum lagi seruan-seruan yang muncul di dalam bioskop ketika ada adegan Gie dengan seorang gadis. Padahal seingatku dalam buku CSD perkenalan Gie dengan beberapa perempuan semakin memperjelas konflik batin yang ada dalam dirinya. Halangan dari orangtua sang pacar, konflik yang dialami sang gadis dan Gie yang menyerahkan semua keputusan pada sang gadis. Jauh berbeda dengan yang kusaksikan dalam film Gie, dimana adegan kissing tampak dipaksakan, atau dengan sinis kukatakan sebagai sarana promosi gratis, karena adegan itu pasti akan memunculkan kontroversi.

Biasanya aku cukup toleran. Apalagi sosok Gie cukup sulit dijual. Dari liputan mengenai pembuatan Gie yang aku baca di Intisari ada banyak sponsor yang mengundurkan diri setelah membaca materi film. Aku bisa bilang, CSD idealis banget, jadi cukup wajar kalau industri film yang harus memperhatikan uang kembali(sebesar 7 miliar rupiah) melakukan kompromi dengan pasar. Tapi khusus untuk Gie, rasanya berat melihat ia dikomersilkan begitu rupa.

Mungkin keputusanku untuk menonton Gie salah. Selain karena imajiku tentang dirinya sedikit rusak, aku jadi teringat masa-masa SMU-ku. Saat dimana aku idealis dan sangat gelisah. Pikiran-pikiran yang seiring berjalannya waktu berhasil kukendalikan dan kususun agar tak mebuatku mati langkah. Tapi kini setelah menonton film itu aku jadi teringat satu sosok dari dua orang yang sangat berpengaruh terhadap pemikiranku. Kecintannya pada alam, kegelisahannya, bacaan kekiri-kirian serta pengaruhnya padaku.

Aku tak mau menjadi sosok yang gelisah, khususnya untuk saat ini. Tapi dihadapkan langsung pada realita dan keadaan nyata, mau tak mau ada sebagian dari diriku yang (kukira berhasil kukubur) kembali hadir. Sama seperti membaca karya-karya Pram ataupun Umar Khayam. Mengingatkanku pada realitas negeri ini, sebuah kondisi bertolak belakang dengan buku-buku masa kecilku yang diisi oleh pengarang Barat. Membaca kondisi negeri sama juga masuk dalam sebuah lorong berjudul gelisah.

Mau peduli juga tanggung karena aku tak cukup punya suara, tapi tenggelam dalam mesin mekanistik sekolah-kuliah-kerja juga tak nyaman. Semua tampak serba salah. Padahal kalau becermin pada negara-negara yang berhasil lepas dari keterpurukkan kuncinya terletak pada pendidikan. Ironisnya di Indon, permasalahan pendidikan tak pernah usai. Mulai dari metode-metode yang bergonta-ganti sehingga membingungkan sampai biaya pendidikan yang bisa bikin gigit jari. Bagaimana seorang kepala keluarga bisa kerja dengan tenang kalau gajinya tak mampu mengantarkan putra/i-nya ke sekolah yang bagus?

Akibatnya mahasiswa yang seharusnya bisa menjadi generasi penerus yang mumpuni di bidang teknologi malah masuk dalam politik praksis. Bibit-bibit yang telah disubsidi negara dengan uang rakyat malah lebih banyak yang menyimpang dari bidangnya. Padahal dari prestasi di Olimpiade Fisika, Indonesia memperoleh hasil yang membanggakan.

Aku harus benar-benar berhenti nih, setidaknya untuk beberapa bulan kedepan. Tapi rasanya koq susah banget ya?

Monday, July 25, 2005

Agama

24-Jul-05 08:17
From: Mama
De’ beli kompas minggu deh, banyak tulisan bgs
To: Mama
Pasti ttg agama ya?yt udah beli mom
08:19
From: Mama
He he, iya, kok tahu yg ma2 maksud

Dari sekian klasifikasi, santri-abangan hingga fundamentalis-liberal, saya tak berhasil memposisikan diri. Pun jika dikaji dengan pendekatan ormas seperti NU, Muhammadiyah maupun Persis. Kalaupun ada kata yang cukup mencerminkan warna keberagamaan saya, saya memilih moderat dengan segala penafsiran dan pengertiannya. Kadang saya memposisikan sebagai seorang naturalis, namun disaat lain saya menutup segala pikiran saya dan melakukan kegiatan yang acap disebut dogmatis.

Entahlah, kadang saya suka bingung. Antara universalitas, logika, hingga keterbatasan manusia. Apa yang disebut dengan kebenaran? Apakah manusia memiliki hak untuk menyatakan sesuatu itu benar atau salah? Jawaban atas pertanyaan terakhir bagi saya adalah tidak. Tapi entah kenapa, belakangan ini kian banyak orang yang mengklaim kebenaran. Bukankah mengambil hak prerogatif Allah sama saja dengan syirik? Lalu kenapa masih ada yang suka sombong dengan keberimanannya, mengaku paling benar dan mengklaim yang lain salah?

Disisi lain, kalau setiap orang tenggelam dalam kebenarannya masing-masing, bagaimana keyakinan itu dapat diperoleh? Apa yang menyebabkan seseorang yakin, dan kemudian memanifestasikan keyakinannya itu dalam bentuk tindakan? Seperti perintah untuk berperang yang turun melalui tiga tahap, bagaimana dengan kondisi saat ini, saat banyak negara yang berkobar atas nama Tuhan. Bukankah kecendrungan manusia adalah pada perdamaian?

Lalu kalau semua agama cenderung pada perdamaian--sebagaimana yang didoktrinkan dalam buku PPKn masa SMA dimana terdapat kutipan-kutipan dari berbagai kitab yang menyebutkan benang merah semua agama adalah kebaikan dan cinta damai—mengapa peperangan menjadi bagian dari sejarah manusia? Terus menerus tanpa henti, hanya berganti rupa. Lewat bom atom yang bisa digerakkan dari jarak ribuan kilometer, atau perang terselubung berupa pemikiran.

Kenapa semuanya senang pada konflik? Meski ada teori yang menyebutkan manusia tak pernah bisa mengenyahkan insting hewani sepenuhnya. Kalaupun dalam tampilan luar terlihat wajar, ia membutuhkan pelampiasan. Hal inilah yang mengakibatkan game-game perang-perangan maupun duel menjadi game paling laku sepanjang massa. Demikian pula dengan adu tinju, gulat, maupun wrestling di TV. Taruhan yang memnyertai pertandingan itu, jeritan-jeritan penuh semangat seolah merayakan sisi hewaniah manusia yang tak berhasil dijinakkan.

Apakah agama itu? Ditilik dari a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau, seharusnya agama merupakan petunjuk jalan yang menghantarkan manusia pada keteraturan. Tapi keteraturan macam apa, hukum-hukum yang bagaimana? Dan kenapa selalu atas nama agama? Apakah hanya kedok budaya dengan tabu-nya(pake pendekatan psikologis), atau ketika seseorang telah memutuskan beragama, maka ia telah menyatukan jiwa dan raganya kepada keyakinannya itu?

Lalu kenapa masih ada korupsi, pencurian, ketimpangan, dan segala tetek bengek lainnya? Apakah semua hal itu tak ada kaitannya dengan gaya hidup? Apakah agama hanya mengurusi masalah-masalah besar seperti perdamaian di muka bumi, isu terorisme hingga memicu diadakannya dialog interfaith yang kedua? Semuanya tampak non sense. Saat membicarakan masalah-masalah besar, semua orang tampak peduli dan alim-alim, tapi begitu dihadapkan dengan kehidupan sehari-hari tak tampak jejak agama. Agama lenyap dengan segala kemegahannya. Timpang, tak utuh, cacat.

Apa yang salah? Semua pemeluk agama pasti akan membela agamanya mati-matian, hingga titik darah penghabisan kalau perlu. Agama menjadi sumber kebenaran dan juga sumber harapan. Karena itu pula psikologi materialisme menuduh agama hanyalah bentuk pelarian manusia akan sosok ‘ayah-ibu.’ Atau mengutip kata-kata Marx yang terkenal: agama adalah candu. Meski kalau melihat dari kacamata Jung(yang terdistorsi lagi oleh kacamata yang saya gunakan), agama merupakan kebutuhan dasar manusia. Jadi ‘aku’ dalam diri tiap manusia pada dasarnya bisa membantu alam sadar manusia untuk mengenali eksistensinya(lagi baca buku Zen & Psikoanalisis, tapi logikanya masih belepotan didalam kepala).

Dengan begitu agama yang kalau diartikan secara umum merupakan keyakinan seseorang yang berasal dari kitab suci(dalam pelajaran-pelajaran zaman baheula, agama dibedakan dengan kepercayaan, yang sumbernya tidak berasal dari kitab suci) merupakan jalan hidup, way of life seseorang. Didalamnya terdapat masalah-masalah profan, transenden, hingga yang skala mikro. Hua..ah alur berpikirnya kacau banget.

Agama mengantarkan seseorang pada keselamatan(p => q)
Seseorang tidak selamat (~q)
Kesimpulannya: tidak beragama(~p)
(ket: p => q ekivalen dengan ~q => ~p)

Nah, kalau sekarang kondisi yang kita hadapi kacau balau, kemungkinannya ada dua. Saya sebagai pengamat yang bermaksud objektif tapi ngga mungkin(saya kontra dengan pemisahan objektivitas dan afek versi Descartes), yang salah dalam memberikan penilaian(saya melihatnya sebagai kekacauan, padahal kondisi sebenarnya baik-baik saja) atau kondisi sekarang adalah kondisi tidak beragama(meski kadarnya mungkin bisa berbeda-beda bagi tiap orang)?

Saya cenderung pada pilihan kedua. Tapi lagi-lagi pilihan saya ini dipengaruhi asumsi awal bahwa kondisi yang saya lihat adalah benar. Sama ketika teman saya marah-marah pada diskusi dengan sebuah golongan. “Masa Yut, mereka bilang kaya gini: Semua manusia pasti pernah berbuat salah, Nabi adalah seorang manusia, kesimpulannya: Nabi pasti pernah berbuat salah.” Terlepas dari perdebatan yang panjang lebar mengenai kema’suman seorang Nabi, premis diatas juga tak lepas dari asumsi dasar: semua manusia pasti pernah berbuat salah. Padahal pernyataan itu harus dibuktikan terlebih dahulu dengan cara mengambil manusia sebarang, kemudian menggunakan metode induksi. Tentu saja hal itu sangat rumit. Sebaliknya untuk membuktikan pernyataan tersebut salah cukup mengambil satu contoh penyangkal. Membuktikan suatu pernyataan benar jauh lebih sulit dibandingkan membuktikannya salah. (Udah, ah, keterangan lebih lanjut mending ikut kuliah anril aja).

Intinya, manusia itu sebenarnya subjektif(huehehe... jadi ngikutin Wittgenstein dan Kiekergard deh), jadi untuk bertahan di dunia yang fana ini kita harus menemukan eksistensi dalam diri masing-masing. Seperti peran analisis dalam psikoanalisis dan master dalam Zen, manusia harus berhasil mendamaikan alam bawah sadarnya dengan sadar, atau dalam bahasa Zen menembus batasan ‘aku’ dalam dirinya, jalan dari perbudakan menuju pembebasan diri. Kalau psikoanalisis melakukannya dengan sosok analisis, maka Zen menggunakan metode meditasi, koan dll. Saya lebih cenderung pada cara Zen, yang sejalan dengan apa yang saya yakini. Agama yang dalam hal ini didefinisikan bersumber pada sebuah kitab, merupakan petunjuk jalan bagi manusia untuk menemukan eksistensi dirinya sebagai seorang abd’ dan menuju Yang Esa.

Ke Laut

Jatuh...
Dalam dekapan angin
Usapan ombak
Perenungan alam raya

Akhirnya saya kembali ke laut. Bertemu dengan ombak yang bergulung-gulung, karang, kepiting, dan juga kerang-kerang yang terserak di pantai. Menatap laut yang begitu luas membuat saya merasa kecil, belum lagi ombak yang tidak henti bermain-main di tepi pantai. Seperti sebuah tarian ritmik yang begitu teratur sekaligus dahsyat. Hal itu saya rasakan ketika nyemplung, pada mulanya ombak hanya bermain-main melewati badan, tapi tahu-tahu ada ombak besar yang membuat saya kuyup.

Melihat laut membuat saya banyak berpikir. Ditengah pekik anak-anak MA01 yang meluapkan kegembiraan, pikiran saya melayang kemana-mana. Mulai dari bahan TA saya yang berhubungan dengan wave, hingga perpaduan kekuatan dan kelembutan yang menyatu dalam sebuah tarian alam. Tarian yang membuat sekelompok anak dari Bandung mampu menjerit-jerit gembira, menggambil puluhan gambar untuk mengabadikan momen indah ini.

Mengapa sesuatu hal yang berjalan demikian rutin bisa menyebabkan seseorang gembira? Laut selalu ada di luar sana. Ia tetap berombak, dikelilingi pasir, dan asin. Tapi tetap saja segala hal berbau laut bisa menimbulkan kejutan-kejutan. Entah karena ombak yang tiba-tiba membesar, atau kepiting yang tiba-tiba lari karena pertapaannya terganggu oleh beberapa tangan iseng, atau semua tak ada hubungannya dengan laut. Segala hal terasa istimewa karena dilakukan bersama-sama dan ditambah kenyataan bahwa ini mungkin pengalaman terakhir anak-anak MA01. Laut hanya sebuah tempat dimana kami semua memutuskan untuk melepas tawa, kehadirannya menjadi unik karena ia dipilih untuk menjadi bagian dari saat-saat bersejarah itu.

Entahlah saya tidak begitu yakin. Sejujurnya hari-hari libur memberikan saya banyak waktu untuk merenung, apalagi dengan pergi ke tempat-tempat yang beda. Pikiran-pikiran mendera tanpa bisa saya cegah. Mengadakan kudeta, ide-ide serta kemungkinan-kemungkin yang tak pernah saya duga sebelumnya. Kadang ada hal-hal yang saya anggap tidak akan berubah, tapi diwaktu lain pijakan-pijakan itu seolah runtuh, menyisakan sebuah kegamangan yang dalam. Dan saat memandangi laut yang terlihat tidak bertepi, pikiran-pikiran saya mengikuti polah ombak yang berkejar-kejaran tanpa pola sederhana, rumit, tak jelas hingga saya sendiri pun tidak memahaminya. Segala hal rasanya ingin saya pikirkan ulang, lagi dan lagi. Tentang jalan hidup, masa lalu yang mempengaruhi masa depan, segalanya. Hua..ah laut membuat saya mellow...

Suasana baru sajakah yang mempengaruhi saya? Tapi tampaknya anak-anak laut pun berpikiran sama dengan saya. Saat jalan-jalan ke tempat sepi, tampak tiga orang sedang menatap laut. Pandangan matanya lurus, dengan mulut yang seolah tekunci rapat. Di samping mereka tampak alat pancing sederhana yang terbuat dari bambu tipis seperti lidi yang dililitkan benang kaca dan kail diujungnya. Saat saya bertanya-tanya pada mereka, mata mereka tetap lekat, hanya kebisuan saja yang berhasil pecah. Tentang tempat tinggal yang berjarak setengah jam perjalanan kaki, tentang lauk yang mereka peroleh di laut, dan juga kegiatan lainnya yang hanya menganggur.

Ingin rasanya saya bertanya apa yang ada dalam pikiran mereka saat memandang laut. Bukankah mereka tiap hari berkawan dengan air yang asin itu, tapi kenapa mereka masih tampak terpesona? Atau laut telah mengeluarkan mantranya yang terkenal: cinta. Mantra yang membuat nelayan setia mengarungi laut ketika bulan sedang bagus, dan meski harus menghadapi kenaikan BBM dan tengkulak, rutinitas itu tetap dilakukannya tiap hari. Begitu pula dengan anak-anak laut yang tetap kembali ke laut meski hanya untuk mencari lauk teman nasi, sambil menatap ombak yang bergulung-gulung. Apakah mereka melihat mimpi? Seperti teman-teman dengan segudang rencana pasca-wisuda, apakah anak-anak laut itu juga memikirkan kehidupan yang sama sekali berbeda dengan orangtua mereka?

Saya jadi berpikir ulang mengenai hierarki kebutuhan Maslow, yang berturut-turut ditempati oleh: kebutuhan fisik, aman, sosial, pengakuan dan aktualisasi diri. Dengan melihat perenungan mereka, saya menyimpulkan mereka tengah berada dalam level aktualisasi diri, yaitu tahap perenungan. Tentu saja pengamatan sekilas ini masih sangat bisa diperdebatkan, tapi keadaan kaum tak berpunya di desa dan kota sangat berbeda. Anak-anak di daerah pinggiran, meski mapan dengan keadaan seadanya itu masih memiliki waktu untuk merenung.

Dengan menggunakan pendekatan psikologi transpersonal, saya melihat perenungan anak-anak desa ketika memandang laut ataupun sawah-sawah hijau yang menghampar sejauh mata memandang menyadarkan kekerdilan manusia. Kebutuhan akan keberadaan Sang Maha yang mengatur semesta raya mutlak adanya.Hal inilah yang membuat anak-anak desa lebih murni. Beda dengan daerah perkotaan dimana kehidupannya sudah sedemikian mekanistik, sehingga tak ada lagi waktu yang tersisa untuk berkontemplasi. Secara fisik hal ini bisa dibandingkan dengan pemanfaatan waktu luang. Anak-anak kota biasa bercengkrama di pinggir lampu merah, sedangkan anak-anak desa masih sering duduk dalam keheningan dan menatap alam raya, meski disamping kiri-kanan mereka ada teman-teman yang lain.

Apakah saya masuk kategori anak kota? Ah, meski saya suka membaca segala teori dan segala bentuk klasifikasi, cinta saya tetap berlabuh pada kesederhanaan. Pada tawa manusia yang tak tersekat klas, usia dan waktu. Pada setiap tanda yang tersebar tak hanya di alam, tapi juga polah manusia.

Bukankah semua menuju pada Yang Esa?

Friday, July 22, 2005

Kota Kenangan

Pernahkah kau pergi ke kota kenangan? Sebuah tempat dimana semuanya tak berubah, sama setepat-tepatnya sejak kau tinggalkan. Waktu seolah tak berfungsi dengan baik, usiamu, keadaan segalanya. Dan sebuah rahasia besar: tak ada kesedihan. Saat kau menyusuri jalan-jalan menuju kota tersebut, kau merasakan kehangatan. Rasa yang membuatmu merasa nyaman untuk terus melangkah, setapak demi setapak. Kau tentu pernah merasakan kegamangan saat semua yang kau jalani tampak berubah. Lingkungan, teman-teman, gaya hidup, kadang sadar tapi lebih sering lagi terseret arus. Hingga kau kehilangan siapa dirimu yang sesungguhnya.

Kau ingin bilang berhenti, sekadar untuk memastikan bahwa dirimu masih ada. Bahwa kau masih bisa memegang kontrol atas dirimu, tapi kadang hal itu tidak terjadi. Kau membutuhkan waktu lebih untuk menyusuri segala hal yang telah kau lalui, dan meski hal ini terdengar sangat kuno, kau merindukan kebiasaan-kebiasaan yang membuatmu merasa nyaman. Senyum yang selalu ada, teman yang bersedia membagi jam tidurnya hanya untuk mendengar kisah-kisahmu, bahkan hal-hal konyol yang kalau dipikir-pikir tak ada manfaatnya.

Kalau kau berhasil sampai ke kota kenangan, kau akan merasa nyaman. Segala beban yang sempat menghantui benakmu perlahan akan sirna. Meski kau tahu perubahan adalah suatu hal yang niscaya, tapi membayangkan segalanya tak lagi sama, cukup mengerikan. Pulang ke rumah, menemui segalanya berbeda seperti masuk ke dalam mimpi buruk. Karena bagimu keluarga adalah segala-galanya. Manusia-manusia yang terbentuk oleh kasih dan turut berkembang bersamamu. Meski raut wajah didalamnya kini sudah penuh kerut, atau ditambah kehadiran tangis bayi, kehangatannya tetap sama.

Seandainya kau bisa membuat kota kenanganmu terus berkembang, kau akan bahagia. Tapi rasanya itu tidak mungkin. Pahit penting untukmu, agar kau bisa merasakan apa yang namanya bahagia. Seperti halnya dirimu yang menjadi unik karena kehadiran orang lain yang memiliki dirinya masing-masing. Kau perlu pahit agar kebahagianmu kian sempurna. Kau tak bisa menghindar terus menerus, yang bisa kau lakukan hanyalah mengukir perasaan-perasaan hangatmu dalam sebuah tempat, dengan jalan-jalan yang kau kenal dengan baik, sehingga saat kau merasa begitu hancur dan sendirian, kau tahu jalan menuju tempatmu yang akrab. Tempat yang memberimu kekuatan untuk bangkit kembali.

Sudahkah kau menemukannya? Kota kenanganmu yang kau bangun bata demi bata, dengan air sungai yang mengalir, kicau burung yang riang, sinar matahari yang tersangkut pohon-pohon tua berusia puluhan tahun. Atau kau lebih memilih berada di tepi pantai bersama orang-orang yang paling kau sayangi, berkejar-kejaran dengan ombak, bermain istana pasir dan merasakan begitu indahnya alam ini? Ah, tapi kalau bisa memiliki keduanya aku yakin kau tak mau memilih. Karena kesendirian kau perlukan untuk merenungkan saat-saat kebersamaan. Keduanya kau butuhkan untuk membangun kota kenanganmu secara utuh.

Friday, July 15, 2005

Kehidupan

Image hosted by Photobucket.com

Saat kehidupan digugat...
Lewat kepolosan tawa anak-anak
Binar mata impian
Gedung-gedung yang memakan ruang
Layang-layang yang tersangkut tiang
Sekolah-sekolah dengan parkir lapang
Kolong jembatan yang penuh guratan
Anak tani dengan pupuk buatan
Manusia yang lalu-lalang
Adakah tersisa ilalang?
Tempat melabuhkan segala harapan

Tanda

Siang tenggelam dalam malam
Cahaya tertelan kegelapan
Berkawan jangkrik, layar monitor dan kadang kelap-kelip ym
Fana, maya...
Masihkah ada ruang bagi tanda?

Sajadah

Kuhampirkan resah pada sajadah
Kala bulan belum rendah
Menerangi cahaya hati yang merebah
Kutitipkan salam pada Pemberi Hikmah

Malam

Menyatukan segala indra untuk memahami segala yang telah terjadi
Tersadar, sudah lama aku tak menyebut-Mu
Entah apa yang kulalui
Terpesonakah aku pada ciptaan-Mu?
Ingin rasanya aku berkata, masih seperti dulu
Saat Kau menjadi teman bicaraku
Saat aku cemburu pada hamba-hamba-Mu
yang tampak begitu menyatu ketika mengadu pada-Mu
Aku rindu...
pada segala keintiman yang tak terlukiskan
pada malam-malam dimana Kau menelan segala keresahan
Saat hijab terasingkan
Saat Kau menjadi satu-satunya tujuan
Masih adakah sejengkal ruang?

Serius

Gw: "Gila lo Yut, ngga serius. Masa lo mainnya ke web-web Mediacare, Pantau, dkk. Kalau kaya gitu caranya lo ngga bakal bisa serius."

Saya: "Ngga tau nih. Apalagi ngeliat foto Ikram di blog-nya pantau. Penjelasan fotonnya student journalist in bandung lagi. Mupeng deh."

Gw: "Ayolah bertahan. Enam bulan lagi... masa ngga bisa sih. Abis itu terserah lo mau jadi apa."

Saya: "Iya, saya tahu. Apalagi tadi waktu melihat dosen yang namanya tercantum di jurnal-jurnal math internasional, kayanya hidupnya fokus banget. Begitu juga dengan teman-teman yang udah masuk ke jalur profesi. Sedangkan saya masih terombang-ambing..."

Gw: "Hei, lo koq jadi pesimis gitu sih? Kemana postive thingking lo yang biasanya?"

Saya: "Entahlah, belakangan ini saya banyak merenung Ti."

Gw: "Oh, ayolah cheer up. 'Ga segitu buruknya koq, lagian lo kan bisa ngerjain tugas-tugas yang diberikan."

Saya: "Saya cuma bingung. Dosen wali saja sampai pernah bilang bahwa saya ini punya kemampuan. Tapi saya sendiri ngga tau mau diarahin kemana semua ini. Semuanya tampak sebagai bifurkasi-bifurkasi yang mengarah pada kekacauan. Dan yang membuat saya takut, saya menikmati kekacauan itu, setiap detil kejutan-kejutannya, ketidakpastiannya membuat saya jatuh cinta."

Gw: "Tetapkan target kalo gitu."

Saya: "Koq, peran kita jadi kebalik sih. Seharusnya kan kamu yang bagian otak kanan, dan saya yang bagian analitisnya."

Gw: "Ha..ha.... gw lagi bosen, Yut."

Thursday, July 14, 2005

Kepedulian sebagai Gaya Hidup

Rumahku yang di serpong sekarang dominan gelap. Hanya satu lampu yang menyala. Televisi di pagi-pagi buta juga cuma dihiasi semut bergumul. Tapi entah di tempat-tempat lain, di hotel-hotel berbintang yang menyajikan artis band dengan sound system hingga ribuan watt, atau klab malam dengan lampu disko dan musik-musiknya yang memekakan telinga. Aku tidak tahu seberapa berhasil imbauan itu.

Mungkin cara yang paling berhasil dalam melakukan perubahan adalah melalui gaya hidup. Konser Make Poverty History, atau penjualan gelang-gelang bertuliskan Poverty, dkk di sport station atau outlet-outlet sepatu import berhasil mengajak orang-orang merogoh kantongnya dalam-dalam. Cara lain lewat reality show di televisi yang mengangkat kehidupan orang tak mampu: Uang Kaget, Tolong!, Rejeki Nomplok, Pulang Kampung, Bedah Rumah dll, kalau dari segi perolehan rating, masih relatif rendah dibanding kontes pencarian idol. Namun adanya tayangan seperti itu setidaknya berhasil membuka mata masyarakat banyak. Dan kehadiran acara sejenis juga mengindikasikan bahwa tayangan tersebut punya segmen tertentu.

Peranan media menjadi alat vital. Kalau aku lihat belakangan ini, komunikasi memang menjadi bidang yang berkembang pesat. Termasuk kepedulian SBY pada informasi langsung melalui nomor 9499 dan kehadiran juru bicara presiden yang berada di luar kabinet. Meski begitu peranan para elit biasanya tidak terlalu efisien dalam mempengaruhi budaya masyarakat. Peran aktor/artis jauh lebih besar, karena itu pula duta PBB biasanya ditempati oleh aktor.

Kedekatan menjadi faktor utama, dan tak bisa dipungkiri artis yang wara-wiri di layar kaca jauh lebih dekat dengan pemirsa dibanding tokoh-tokoh nasional/internasional. Kekuatan ini pula yang ditunjukkan dengan konser Live-8 kemarin. bahkan negara sekaliber AS pun sampai mau meningkatkan bantuan kepada negara-negara Afrika hingga dua kali lipat.

Peranan massa menjadi penting, dan yang harus dicatat, keadaan ini terjadi secara terencana. Sebelum pagelaran musik itu digelar, kampanye-kampanye terus digulirkan, pewacanaan dan permainan politik untuk mencari dukungan dari simpul massa. Penyanyi dalam hal ini berperan sebagai simpul yang dapat menarik lebih banyak massa. Pertanyaannya tinggal sejauh apa masssa yang tergerak menghadiri acara musik itu tergerak?

Sebagai catatan tambahan, di Edinburgh(02/07) terkumpul 225.000 orang dan turut ambil bagian dalam the world's largest human white band around the city centre. Bagiku itulah kekuatan mimpi dari segelintir orang yang berubah jadi raksasa.

Converting dreams into action...

Ke Kebun Binatang

The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated
--Gandhi

Dan disinilah saya bersama Ales, Liza, Yan dan Zaki(urut abjad). Di depan gerbang yang sudah nyaris tertutup, awan mendung, loket kosong dan dua petugas yang menjaga pintu masuk. Jadi-tidak, jadi-tidak… Jam menunjukkan pukul 16.20, petugas yang menjual loket pun sudah pulang, tapi menurut penjaga, kami bisa masuk dan keluar sekitar setengah enam lewat jalan bawah. Dekat pintu masuk keadaan cukup ramai, berbagai mobil, motor serta ibu yang membawa putra/i mereka tampak ramai meninggalkan kebun binatang Bandung Samsung.

Akhirnya dengan membayar Rp.30.000,- kepada penjaga kami berlima masuk ke kebun binatang. Di dalam hanya tampak segelintir orang. Bahkan seorang ibu sambil lalu mengatakan sudah mau tutup baru masuk. Tapi bagi saya sendiri keadaan itu cukup menyenangkan, sepi dan mendung. Ditambah pohon-pohon besar yang terletak di sisi kiri dan kanan jalan. Suasananya nyaman untuk melakukan jalan-jalan sore.

Saat pertama kali masuk, kami disambut oleh kandang burung yang besar. Tapi saya tidak begitu tertarik dengan burung, ular, kura-kura. Hewan-hewan yang saya sukai adalah mamalia, karena saya merasa merekalah yang paling manusiawi. Lihat saja tingkah kucing, dengan mudah kita bisa bersimpati. Jadi karena sudah sampai ke kebun binatang, saya mencari kucing versi besar.

Kandang pertama daerah kucing-kucing besar diisi seekor harimau. Saya jadi teringat harimau di cerita The Life of Pi, tapi harimau yang saya lihat tampak tidak bertenaga. Ditambah kenyataan bahwa ia hanya seorang diri di kandang yang berukuran sekitar 2 meter persegi itu. Tidak terbayang bagaimana kehidupannya, mungkin karena sendirian itupula saat saya mendekat ia langsung bereaksi(semoga dia berpikir saya ini temannya). Di kandang selanjutnya tampak singa yang tengah gelisah. Mondar-mandir di bagian depan kandang, sambil sesekali mengeluarkan geraman. Suaranya terdengar dalam, dan menggetarkan hati(pakai bahasanya Yan).

Di dekat sebuah kolam, tampak kuda nil. Entah kenapa, hewan-hewan yang kami amati suka mendekat. Begitu pula kuda nil yang punggungnya tampak ditumbuhi lumut tersebut. Ketika kami melihat-lihat di pinggir pagar pembatas, kuda itu berenang mendekat dan berhenti beberapa saat. Selanjutnya ia kembali ke tepi yang lain dan tampak merenung dengan menopangkan dagunya ke pinggir kolam dan badan yang terendam di air. Sesudah itu ia menguap lebar, memperlihatkan mulut lebarnya dan giginya yang jarang.

Pengalaman yang paling berkesan buat saya adalah ketika bertemu pak jerapah(jadi ingat cerita-cerita fabel masa kecil, pak beruang, pak jerapah, bung kelinci dll). Badan bintik-bintik, kaki jenjang dan leher yang panjang. Hanya saja leher itu tak cukup panjang untuk menggapai daun-daun yang tumbuh di pohon yang menaungi kandangnya. Akibatnya jerapah tanggung itu hanya bisa mengandalkan daun-daun hijau yang jatuh ke tanah. Saat Yan menyodorkan daun berwarna hijau, jerapah itu merendahkan kepalanya dan memakan daun yang disodorkan oleh Yan. Begitu pula ketika kami semua bergantian mencoba, jerapah itu tanpa takut-takut memakan daun-daun yang kami sodorkan. Bahkan karena awalnya saya takut tergigit, jerapah tersebut cukup lama menyorongkan kepalanya, hingga sebelum daun ditangan saya terambil, saya bisa merasakan lidahnya.

Entah bagaimana kabar pak jerapah sekarang? Koq saya jadi sedih ya… ditambah kondisi gajah yang kedua kakinya dirantai hingga ruang geraknya nyaris tak ada. Ketika kami mendekat hanya belalainya saja yang aktif bergerak-gerak. Sambil beberapa kali mencoba membelit tangan kami yang menyentuh belalainya.

Saat kami sampai ke daerah beruang, hujan mulai turun. Sambil berjalan dibawah naungan payung(3-1,2-1) kami melihat binatang-binatang berkaki empat. Lama, kuda poni, kancil, rusa, tampak sedang berteduh. Jumlah mereka banyak, setidaknya walaupun kehidupan kebun binatang menyebalkan, mereka bisa berbagi satu sama lain. Tidak seperti harimau, panther, kuda nil, dan jerapah. Sendiri, diamati, dan hidup hari demi hari tanpa henti…

Tuesday, July 12, 2005

Idealisme

Kemarin seorang teman nge-sms dari pulau seberang. Ia tengah mengejar mimpinya untuk memajukan tanah leluhurnya. Cita-citanya begitu mulia: mendirikan sekolah. Silaturahim dari rumah ke rumah, menempa ilmu, menjalin rasa, dan menyampaikan cita-cita. Meski masih ada beberapa keberatan dari orang-orang terdekat, saya bisa melihat kebulatan tekad. Pertama kali mengenalnya, ia tak terlihat istimewa. Senang main, dan dengan becanda saya sering menyebutnya slenge'an. Tapi kini ia tampak jauh lebih dewasa, lebih matang, dan siap untuk menantang dunia demi mewujudkan apa yang diyakininya.

Saya sendiri tidak begitu yakin apa yang hendak saya tuju. Beberapa tawaran yang saya peroleh, sama sekali tidak ada kaitannya dengan kuliah. Tapi saya mencoba melihatnya dengan cara positif, saya kuliah untuk bermetamorfosis, evolusi kesadaran yang mampu menjadikan saya lebih baik. Saya bertanya-tanya apa arti menjadi mahasiswa, dan di penghujung tahun keempat, saya belum juga menemukan jawabannya.

Tadi pagi sebelum ke kampus, saya mampir ke BCA Banda untuk memeriksa saldo. Pak penjaga parkir langsung menyapa, "Mba, ikutan tuh, lagi ada aksi." Sambil mengikuti tangan bapak itu, saya melihat sekelompok mahasiswa dengan jas almamater berwarna hijau tua sedang melakukan orasi. Salah satu dari mereka membawa bendera almamater, dan teman-temannya yang lain membawa kain putih panjang. Mungkin karena penampilan saya, dengan jins, kemeja kotak-kotak dan sepatu kanvas, bapak itu langsung menduga saya seorang mahasiswa.

"Memang ada apa, pak?"
"Presiden SBY datang. Lihat tuh sampai ada tendanya segala, tadi malam mereka nginap di tenda. Ikutan mba, kalau sedikit mana diperhatikan," ujar bapaknya lagi. Saya tertegun mendengar ucapan-ucapan bapak penjaga itu. Kadang saya merasa, saya ini orang yang sok tau, padahal apa yang saya lihat hanyalah bias dari kenyataan. Orang-orang seperti pak parkir itulah yang tahu dan merasakan kondisi sebenarnya, dan pandangan bapak itu terhadap mahasiswa adalah orang yang idealis.

Saya tidak tahu harus senang atau tidak. Bagi saya jauh diatas idealisme mahasiswa, keluaran dari universitas seharusnya mampu memajukan bangsa sesuai dengan ilmu yang telah diperolehnya di perguruan tinggi. Apalagi untuk PTN yang telah banyak memakan uang rakyat. Jujur saja, sayapun termasuk oknum yang bersalah dalam hal ini, karena saya lebih banyak main-main diluar.

Monday, July 11, 2005

Catastrophe

Gara-gara lagi senang dengan chaos, segala hal dimataku tampak sebagai kekacauan. Bahkan bahan TA-ku tampak sebagai lautan kekacauan. Karena aku berkutat dengan masalah non-linier jadi memang ada beberapa hal yang pendekatannya ngga bisa menggunakan hukum konservatif. Bukan berarti hukum konservatif pada masalah linier jadi ngga berlaku lagi, tapi ada aturan tambahan yang berlaku hanya sampai mencapai gradient catastrophe. Gradient catastrophe adalah keadaan roboh u(x,t) yang disebabkan ada lebih dari satu karakteristik yang berpotongan(padahal kalau di persamaan linier hanya ada satu karakteristik yang berpotongan) di (x,t). Akibatnya, solusi bagi hukum konservatif yang mengasumsikan u memiliki turunan pertama tidak berlaku.

Benar ngga ya? Hehe... lagi nyoba menyiapkan presentasi nih. Tapi karena alur berpikirku biasa lompat-lompat aku jadi ngga begitu yakin harus mulai darimana. Dari penjelasan yang aku peroleh dari dosen, saat seminar I, aku harus mampu menjelaskan untuk segmen orang awamnya math. Nah, untuk menghindari kerumitan-kerumitan menulis, persamaan-persamaannya aku hilangkan dulu, lagipula dari resensi buku Kompas hari Minggu, penulisan rumus-rumus bisa bikin pembaca kabur duluan. Karena itu aku mencoba menjelaskan tanpa menggunakan persamaan matematis.

Shock wave didefiniskan sebagai hasil solusi diskontinu dari hukum konservatif. Karena hukum konservatif pada awalnya mensyaratkan persamaan kontinu, maka hukum konservatif awal dipartisi menjadi dua bagian, region negatif(R-) dan region postif(R+). R- mengindikasikan daerah sebelah kiri Xs(posisi saat kurvanya patah/shock path), dan R+ merupakan daerah disebelah kanan kurva.

Dengan menerapkan hukum konservatif dan dimisalkan limit a menuju Xs- dan b menuju Xs+ diperoleh kondisi Rankine-Hugoniot jump condition. Sayangnya dengan mencari solusi yang memenuhi R-H jump condition masalahnya belum beres. Solusi yang dihasilkan ternyata ada banyak, padahal realitas fisis hanya memberikan tepat satu solusi, karena itu diberi kondisi tambahan yang disebut sebagai kriteria entropi. Dengan kriteria ini diperoleh solusi yang mendekati kondisi riil di lapangan.

Kenapa shock wave bisa terjadi? Dalam gambar hal ini dijelaskan dengan menggambarkan kurva di bawah kecepatannya lebih lambat dibandingkan yang atas, sehingga pada waktu tertentu terjadi patahan. Sedangkan dari sudut matematis, hal ini bisa dijelaskan dengan menjabarkan persamaan non-linier yang dimilikinya. Asyik juga kalau ada gambar-gambar, tapi aku males masukin gambar ke blog karena masuknya harus lewat photobucket.

Hmm... sekarang pindah ke bagian persamaan-persamaan. Jadi tugasku selama liburan ini adalah menjelaskan mengenai PDE dan ujungnya adalah shock wave. Karena definisi PDE-nya udah pernah aku singgung, sekarang aku akan langsung masuk ke persamaan-persamaan yang ada. Sebenarnya ini bagian awal, dan shock wave yang aku coba jabarkan dengan bahasa manusia, bagian akhir, namun karena aku lagi senang bermain kejut-kejutan, jadi aku singgung maslah shock wave dulu.

Sekalian intermezo dulu deh, ketika aku bilang TA-ku tentang shock wave, teman-temanku langsung mengasosiasikannya dengan alat kejut jantung. Ada lagi yang bertanya, memangnya gelombang bisa dikejutkan? Kalau dipikir-pikir gambar shock wave memang mirip gelombang yang dikejutkan. Dari bentuk gelombang normal(seperti fungsi sin) sampai kondisi break, tampak gelombang tersebut meninggi seperti orang yang loncat karena terkejut.

Persamaan transport... ternyata rumit untuk menjelaskannya di blog karena ngga ada gambar dan math-type.

Perempuan

Kemarin aku lagi semangat untuk menulis cerita remaja. Gara-garanya ada beberapa hal dalam benak yang kalau kupikir-pikir lebih baik dikeluarkan dalam bentuk cerita. Personifikasi diriku menjadi lebih bebas, karena bisa berubah dalam tokoh-tokoh yang kutulis, persis seperti dalang. Untuk mendukung rencanaku itu, kemarin aku minjem buku teenlit.

Yang pertama kali terbayang ketika membaca teenlit adalah: perempuan bodoh, perempuan culas dan laki-laki cakep dengan otak kosong. Hehe.. kadang-kadang aku suka sadis dalam menilai sesuatu. Tapi melihat beberapa cerita remaja yang diangkat ke layar lebar, aku jadi memiliki pandangan cukup negatif terhadap genre yang satu itu. Apalagi untuk teenlit-teenlit yang diterjemahkan dari luar, fiu..h kehidupannya udah bebas banget. Beda ama lini remaja yang dikeluarkan ama Kaifa, cerita-cerita seperti Ella Enchante, Perjalanan Dua Purnama dan seri-seri sejenis mememiliki muatan-muatan moral yang baik.

Aku bukannya sok idealis. Pengalaman SMP-ku juga ngga jauh dari kekonyolan-kekonyolan gara-gara lawan jenis. Seperti satu sosok yang entah kenapa sampai sekarang masih kuingat jelas. Ia berperawakan tinggi, rambut cepak, kulit kecoklatan dengan gaya jalan yang khas. Masa-masa SMP ada dua jenis manusia populer: anak OSIS dan anak band. Nah, orang yang kukagumi itu termasuk golongan pertama, ditambah fakta dia juga anak paskib.

Tentu saja aku tidak berani mengakui perasaanku secara terus terang. Tapi diantara teman-teman main bareng, semuanya sudah tahu kalau aku punya perasaan padanya. Jadi kalau ada berita-berita tentang dia, atau kalau dia lewat, pasti akan ada suara, “ehm..ehm..” yang kemudian disusul sikut-sikutan sambil ketawa-tawa. Teman-teman main bareng yang anggotanya perempuan semua memang sangat biasa dalam kehidupan SMP. Teman-teman itu pula yang menjadi penasehat untuk segala hal yang berbau kaum adam.

Kalau kukenang saat-saat itu rasanya lucu juga. Bahkan aku sempat menjadi secret admirer, ngirim kartu lebaran tanpa nama, atau menelpon ke rumahnya dan berharap dia yang mengangkat. Ketika memencet nomornya saja perasaanku udah ngga karuan, biasanya aksi iseng berakhir dengan menyerahkan gagang teleponnya ke temanku, sambil memasang kuping dekat-dekat untuk mendengar suaranya. Hanya dengan mendengar suaranya saja mukaku bisa merah, dan merasa senang tidak karuan. Aku bisa bilang, saat itu aku dan teman-teman menjadi sangat cerdas untuk mencari berbagai cara agar dapat bertemu dengan orang yang kukagumi.

Tak hanya suara, sore-sore pun kami suka naik sepda keliling kompleks sambil melewati rumahnya. Kalau beruntung, aku bisa melihatnya sedang menyapu halaman. Meski kalau itu terjadi biasanya kami langsung mengayuh sepeda kami sekuat tenaga. Kemudian jalan-jalan ke tepi danau sambil bercerita tentang masa depan. Saat itu pembicaraan kami, terasa sangat keren. Membayangkan keadaan kami beberapa tahun mendatang, dan terkadang terbawa suasana melow, memikirkan bahwa mungkin sebentar lagi kami harus berpisah.

Untuk masalah perempuan yang otaknya rada ngga beres kalau bertemu orang yang dikagumi mungkin aku masih bisa mengerti. Tapi aku paling ngga suka ngeliatin cerita-cerita perempuan culas. Memangnya sebuah cerita hanya bisa mencapai klimaks kalau ada satu orang yang baik seperti bidadari dan yang satunya lagi jahat minta ampun? Bagiku masa-masa remaja memiliki problematikanya tersendiri tanpa harus ditambah kehadiran orang-orang berhati culas. Masalah orangtua, nilai, melanjutkan sekolah, cemburu, salah paham sudah cukup banyak tanpa perlu ditambahi orang yang jahatnya sudah sampai level tidak masuk akal.

Namun pikiran-pikiran burukku mengenai teenlit berakhir ketika aku membaca Kana di Negeri Kiwi. Awalnya aku udah sempat malas melihat tulisan Juara 1 Lomba Novel Teenlit Writer 2005 yang tertera disampul. Dalam benakku sudah terbayang gaya-gaya kaum borjuis-kapitalis, idealisme pasar tanpa nilai, industri hiburan yang hanya menampilkan satu wajah. Tapi karena aku memang berniat menjadi observer, maka sebagai masukan aku pinjam juga buku itu.

Seiring dalam larutnya aku dalam halaman-halaman yang disajikan, pandanganku berubah seratus persen. Buku teenlit yang satu itu menawarkan nilai-nilai, serta konflik tanpa kehadiran perempuan culas. Karena penasaran, aku langsung membaca biodata penulis. Pengarang-pengarang favorit penulis, menjawab keherananku. Arundhati Roy, Chitra Banarjee, Jhumpa Lahiri merupakan penulis-penulis India yang sangat kental menyuarakan masalah-masalah perempuan. Bagiku mereka bertiga adalah penulis-penulis yang berhasil menghadirkan Barat-Timur dengan cantik, lengkap dengan konflik-konflik akibat perbenturan budaya.

Hasilnya buku teenlit Kana di Negeri Kiwi, juga sarat dengan nilai-nilai perempuan untuk menghargai dirinya sendiri, kasus pelecehan dan juga persahabatan antar perempuan. Dalam sebuah jurnal perempuan, aku pernah membaca sebuah aksi solidaritas perempuan berhasil menggabungkan berbagai elemen dari latarbelakang yang berbeda. Solidaritas terbentuk karena permasalahan-permasalahan yang sama. Kekerasan dalam rumah tangga, tingginya angka pelecehan mulai yang dari fisik sampai mental, tayangan televisi yang menempatkan perempuan sebagai objek dlsb.

Apa mungkin perang timbul karena kesalahpahaman ya? Meski aku berusaha sebisa mungkin untuk menilai sesuatu dari berbagai sudut, kadang aku tidak menahan diri untuk menghakimi sesuatu tanpa mengenalnya lebih dalam. Seperti saat aku menilai buruk teenlit. Begitu juga dalam masalah perempuan, orang-orang sering menilai negatif kata ‘feminis’ padahal dalam bentuknya paling murni, feminis berarti semangat untuk mengkritisi gender(pembagian peran antara perempuan dan laki-laki). Praksisnya adalah untuk meminimalisasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, entah dengan melakukan advokasi, menggolkan UU, kesempatan untuk bersuara di depan publik. Hal ini kadang dianggap sebagai upaya untuk mengingkari kodrat, tapi aku pikir tidak seperti itu. Semuanya sebenarnya bisa sejalan.

Gerakan yang berbau perempuan bagiku muncul karena kebutuhan. Hanya saja ketika ia sudah sampai pada tataran publik banyak yang salah sangka. Ada pihak-pihak yang merasa terancam dengan kemapanannya selama ini, padahal masih banyak daerah-daerah yang benar-benar memarjinalkan perempuan. Posisi yang terpinggirkan inilah yang hendak diperjuangkan, dan bukan prinsip/kondisi ideal yang telah ada.

Kehadiran penulis-penulis perempuan India misalnya, mampu membuka mata kita mengenai keadaan perempuan di negara Shakh Rukh Khan tersebut. Kondisi yang cukup membuat miris, karena perempuan diperlakukan seperti barang. Kasus-kasus penganiayaan dalam rumah tangga juga merupakan tema yang cukup klasik di beberapa buku yang aku jumpai(ditulis oleh ketiga pengarang yang telah aku sebutkan diatas). Di Indonesia, hal tersebut juga bukan sesuatu yang asing, hanya saja kita telah terbiasa untuk mendengar hal-hal manis, sehingga ketika ada orang yang hendak mengungkapkan fakta-fakta tersebut, tentu akan ada banyak pihak yang merasa terusik.

Salah satu film Amerika yang sangat tidak meng-Hollywood adalah The Stepford Wifes(bener ngga ya, nulisnya?). Dalam film itu perjuangan istri untuk memperjuangkan hak-haknya dengan menolak penyeragaman lewat chip, juga dibantu oleh sang suami. Hal yang menarik dari film tersebut bagiku adalah perjuangan perempuan untuk dihargai, tidak hanya menjadi ranah perempuan, melainkan juga laki-laki. Perjuangan perempuan menuntut hak, bukan hanya masalah perempuan melainkan masalah kemanusiaan secara keseluruhan. Karena hal itu pula, muncul istilah feminist laki-laki, karena sebenarnya perjuangan perempuan memperoleh hak-haknya adalah perjuangan kemanusiaan yang tidak bisa dikotak-kotakkan.

Saturday, July 09, 2005

Kepada Seorang Kawan

[Episode: Sayang]

Kawan, salahkah jika aku membelanya? Kuharap kau tak langsung marah padaku. Tapi mengetahui perasaannya yang mendalam padamu, aku jadi bersimpati padanya. Aku mencoba melihatnya dari sudutmu, dan meski aku merasa mengerti pendekatan yang kau gunakan, aku tetap merasa sedih. Kau mungkin mengira, aku sudah berhenti memahamimu, aku menyesal jika kau sampai berpikiran seperti itu, namun mengetahui dia memiliki perhatian dan rasa sayang yang besar padamu membuatku ingin kalian berdua bisa bahagia.

Aku tahu, aku masih terjebak pada bentuk kaku, bahagia artinya bersama. Padahal kau sering bilang padaku, rupa cinta tak hanya satu. Bagaimana jika kebersamaan hanya membuat luka, padahal ketika kau sudah menyayangi seseorang, jauh diatas kebahagianmu, kau ingin melihat orang yang kau sayangi gembira. Pikiran-pikiran yang beradu menyebabkan kau berada pada sebuah dilema, antara dirimu sebelum menemukan dirinya, dan dirimu yang baru.

Kalau aku bilang perubahan itu memang menakutkan, akankah kau marah padaku? Aku tak menampik kenyataan pikiranmu sangat revolusioner. Kalau ada orang yang sangat terbuka pada perubahan, aku akan mengatakan kaulah orangnya. Tapi bagaimana jika perubahan itu terjadi pada dirimu sendiri? Kau yang biasa mandiri dan berpikir bebas, kini bergantung pada seseorang, pada sms-smsnya, telepon, dan pertemuan sesekali waktu. Dirimu terasa tak utuh tanpa kehadirannya.

Kau mungkin ingat konsep kesetimbangan? Setiap kali sebuah sistem diusik, ia akan memberikan reaksi yang setara. Untuk kasusmu, aku pikir kesetimbangan itu tak pernah tercapai. Ada terlalu banyak batasan yang menyebabkan keterpaduan tak pernah tercapai. Aku takut kalian berdua tak pernah sampai pada taraf untuk saling memahami, hanya sebatas kagum dan tak memberi ruang untuk saling berbagi. Padahal ketika seseorang sudah memutuskan untuk membuka hatinya, dirinya sama dengan keseluruhan, dan keseluruhan adalah dirinya.

Seperti ketika aku meminta ibuku memberi inspirasi ketika aku hendak membuat sebuah cerita. Jawaban ibuku cukup mengejutkan, ide-ide cerita anak memenuhi benaknya ketika aku masih kecil. Kau tahu artinya? Ketika kau menyayangi seseorang, dirimu turut berubah bersamanya, kau bukan lagi manusia bebas sebagaimana adanya, kau ber-evolusi menjadi manusia yang sepenuhnya baru, manusia yang bergantung pada orang-orang yang kau sayangi.

Tentu saja ini mengerikan. Bahkan pikiranmu pun turut berubah tanpa kau sadari, dan ini semua disebabkan orang lain. Orang yang pikiran dan perilakunya tidak bisa kau kendalikan sepenuhnya. Aku sering berpikir kenapa ada orang yang mau mengambil resiko sebesar ini? Membuka hatinya, dan membiarkan pikirannya terpengaruh dengan begitu mudah? Tapi semenjak mengenalmu, aku mengerti mengapa manusia mau mengambil resiko sebesar itu. Kebahagian yang kuperoleh setelah mengenalmu mampu mengalahkan pahit-getir yang menyebabkan persahabatan kita kian erat.

Kawan, kuharap kau tak marah padaku, karena kau tahu? Rasa sayang bisa melemahkan, seperti yang kulakukan saat ini. Aku tak mau mengirimkan surat ini langsung padamu. Sebagai seorang kawan, aku akan berdiri dibelakangmu dan mempercayai segala keputusan yang kau buat. Mungkin aku memang bukan seorang kawan yang baik, seharusnya aku berani menghadapi konflik kalau aku merasa pilihanmu salah. Tapi seperti yang kubilang, rasa sayang bisa membuat otak tak jernih, sehingga saat kau bilang kau telah memutuskan jalanmu, bagiku pilihannya hanyalah mendukungmu sepenuhnya.

Aku senantiasa mengharap yang terbaik untukmu. Aku mempercayaimu sepenuhnya, hingga aku tak mau kau bimbang karena pendapatku. Namun disisi lain, aku tak bisa menahan diriku untuk mengungkapkan pendapatku. Kau lihat, aku yang dari tadi cerita panjang lebar mengenai perubahan masih belum bisa mengenyahkan ego-ku sepenuhnya. Aku masih berkutat dengan pikiranku, idealku hingga mengesampingkan kebimbangan-kebimbangan yang telah kau tempuh, dan beratnya beban yang kau tanggung hingga sampai pada keputusan ini. Biarlah dunia maya yang menentukan surat ini sampai padamu atau hanya terperangkap dalam sebuah blog.

Kuharap aku tak membuatmu kian terluka...

Salam sayang selalu,
Kawanmu

Thursday, July 07, 2005

Komitmen

X: “Hal apa yang paling kamu takuti?”
Y: “Komitmen”

Percakapan itu sudah terjadi beberapa tahun lalu. Tapi muncul kembali dalam ingatan gara-gara percakapan kemarin. Sambil menunggu teman meminjam buku di Comic corner, aku dan dua orang teman(pembicaraannya rada-rada ehm-ehm.. jadi anonim aja deh) ngobrol ngga jelas. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah sebuah agenda yang tertera di brosur Common room: Change Yourself. Kira-kira kegiatan Change Yourself ngapain ya? Teman yang kutanyai menjawab mungkin mirip-mirip dengan SIAWARE, semacam kegiatan manajemen perubahan diri gitu deh...

Dari beberapa kali ikut beberapa macam training pengembangan diri, aku termasuk orang yang skeptis. Abis perasaan materinya itu-itu aja, ya... bikin tujuan dalam skala waktu tertentu, menuliskan kata-kata yang dapat membangkitkan motivasi dlsb-dlsb. Buku-buku pengembangan diri juga udah aku baca, meski itu baru aku lakukan belakangan ini. Mulai dari yang kaku dan konvensional banget sampai yang menggunakan hipnosis. Minggu lalu aku sempat mencoba meditasi sambil mendengarkan musik dengan ketukan kurang dari 60 per menit, sambil melakukan visualisasi-visualisasi. Asyik juga sih, sambil main-main dengan alat ukur denyut jantung yang ada di rumah, aku berhasil menurunkan denyut jantungku, tapi ngga tau pengaruh lainnya apa.

Cara lain, jalan-jalan ke Badui, ke mall bareng teman, museum dan acara-acara lainnya, tapi ngga berhasil juga. Trus beralih ke buku-buku otobiografi/biografi yang bisa membangkitkan motivasi tapi efeknya juga ngga lama. Kenapa ya, aku susah banget untuk fokus pada satu hal. Cepet banget bosen, dan sangat senang dengan hal-hal baru. Ketika aku bertanya bagaimana caranya agar hidupku lebih teratur, dan mampu untuk berkomitmen kepada dua orang temanku, jawaban mereka sama: nikah.

Hua..ha... becanda aja. “Serius dong,” ujarku sambil ketawa-tawa. Eee.., mereka malah ngasih argumen tambahan untuk mendukung jawaban itu. Salah satu alasan temanku adalah untuk berubah secara cukup drastis diperlukan sebuah titik nadir. Aku berpikir satu-satunya yang bisa membuatku berubah banget adalah kalau aku kehilangan orang-orang yang aku sayangi, jadi kayanya mending ngga aja deh. Cara lainnya ya.. balik ke jawaban tadi.

Bukannya ngga setuju, tapi aku termasuk orang yang percaya bahwa perubahan itu bertahap. Jadi untuk membuat seorang berani berkomitmen ngga bisa sertamerta ditodong ke komitmen tingkat tinggi seperti itu. Meski aku sendiri ngga tahu caranya gimana. Dari analisis-analisis yang dilakukan ibuku, ada beberapa kemungkinan: anak bungsu, dan cara berpikir demokratis. Di rumahku nyaris segala sesuatunya dilakukan dengan berdiskusi, jadi kalau alasan yang aku kemukakan bagus keinginanku bisa tembus. Teori anak bungsu lumayan menyebalkan.

Apa yang salah menjadi anak bungsu? Masalahnya kan, anak bungsu pasti ada di keluarga dengan jumlah anak lebih dari satu, dan status itu seharusnya ngga mengindikasikan perlakuan khusus. Cuma karena ibuku mengemukakan dugaannya itu, aku jadi curiga dengan lembaran identitas. Anak ke-.. dari jumlah saudara... Jangan-jangan yang anak bungsu ditandai khusus karena dicurigai memiliki karakter tertentu. Ngga lucu kan? Udah gitu ibuku mulai memberi sederet contoh kehidupan anak bungsu yang sikapnya mirip-mirip denganku. Masa iya sih? Lagian kalau dalam kehidupan sehari-hari kan biasanya hanya orang-orang yang cukup dekat aja yang tau kalau seseorang itu bungsu apa ngga, jadi seharusnya lingkungan tidak akan membentuk karakter khusus bagi setiap anak terakhir dalam keluarga.

Anyway, itu sebuah kemungkinan yang akan aku pikirkan meski tetap aja tidak merubah statusku sebagai anak paling kecil. Hmm... masih berpikir caranya gimana. Sebenarnya sih pengalaman merupakan guru paling baik. Kaya melatih kemandirian dengan hidup berasrama, mungkin belajar berkomitmen juga bisa dilakukan dengan mengalami langsung. Sebenarnya ngga mungkin kan mahasiswa sepertiku menjadi sebuah variabel bebas dimana-mana. Kalau tanggungjawabnya di bidang yang aku sukai, memang jadi ngga terasa. Tapi untuk hal seperti kuliah misalnya, aduh... bener-bener ucing-ucingan. Kalau ngga kepepet banget, aku jarang banget buka-buka buku. Kalaupun buka buku biasanya tentang math yang sama sekali ngga nyambung dengan bahan kuliah, just for fun.

Kata ibuku lagi, ini tandanya belum dewasa. Seperti anak kecil yang ngga punya beban tanggungjawab. Kalau dipikir-pikir, iya juga sih. Caya..cayoo... (nyemangatin diri sendiri:D)

Membaca Rasa

Beberapa hari belakangan Aksara mengadakan parade jalan-jalan. Minggu, jalan-jalan keliling kampus, Selasa jalan-jalan di BIP sekalian nunggu film Batman Begins, dan Rabu ke tobucil dan Aula Barat ngeliatin karya TPB anak SR. Kurang tepat juga kalau dibilang Aksara, soalnya yang ikut Cuma empat-enam orang, tapi kegiatannya khas Aksara banget: spontan dan lucu.

Aku lagi mikir kenapa jalan-jalan keliling kampus bisa menyenangkan. Tempatnya biasa banget, gimana ngga wong nyaris setiap hari masih harus ke kampus, teman-temannya juga sering banget ketemu di Salman, tapi tetap aja ada hal-hal yang bisa membuatku terheran-heran dan tertawa. Seperti ketika kami naik ke gedung PAU lantai 8. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 ketika kami naik menggunakan lift sempit berkapasitas 10 orang. Diisi kami berenam saja sudah cukup sesak, gimana kalau ditambah 4 orang lagi. Daripada bingung-bingung membayangkan, kami berbaris dengan rapih di lift temaram tersebut sambil memikirkan proporsi orang yang bisa mengisi ruang kosong yang tersisa. Kayanya rada maksa juga kalau diisi sampai kapasitas maksimum.

Lift berhenti dengan gaya unik, jegrek... Mirip naik roller coaster ketika hendak jalan, mengejutkan. Untungnya tidak terjadi apa-apa, setelah berhenti liftnya terbuka normal. Suasana lantai 8 cukup sepi, kami hanya berpapasan dengan satu orang yang hendak turun kebawah. Dari lantai tersebut kami bisa melihat pemandangan gunung Tangkuban Perahu, dan dari sisi lainnya kami bisa mengamati mentari yang memancarkan cahaya merah jingga. Bentuknya masih bulat, tapi posisinya sudah mau tenggelam. Sayang, pintu menuju keluar terkunci, jadi kami hanya bisa mengamati dari balik kaca.

Saat sedang melihat-lihat di depan sekre radio 8EH, tiba-tiba Yan, Ales, Arief, dan Sra berlari-lari. “Apaan nih?” pikirku heran. Sambil ikutan lari-lari, aku mulai mikir yang aneh-aneh, apalagi ITB punya banyak cerita spooky-spooky. Tapi yang bikin aku curiga, mereka lari sambil cengar-cengir, sambil sesekali bersembunyi dibalik tiang layaknya sedang melakukan pengintaian ala detektif. “Ssst...,” kata salah seorang mereka. “Hmm, kayanya ada petugas deh,” mencoba mencari jawaban yang lebih masuk akal. Sesampainya kami di dekat lift, kami bersembunyi di balik tembok. Akhirnya aku tahu kalau mereka semua mau ngerjain Salim yang tertinggal di belakang.

Keadaan yang cukup sepi membuat suara cekikikan kami terdengar cukup jelas, tak beberapa lama kami pun ketahuan. Yah, sebenarnya sih karena kami memang tidak benar-benar bersembunyi. Kegiatan-kegiatan yang kalau dipikir-pikir konyol, tapi menyenangkan. Kayanya semua orang punya sisi kekanak-kanakan yang tersembunyi deh. Bayangin aja 5 orang mahasiswa dengan tas di punggung, lari-lari di gedung yang udah nyaris kosong, sore-sore hari Minggu pula. Rada-rada ajaib bukan?

Ternyata mencari kegiatan menyenangkan tidak begitu sulit. Cukup berkumpul dengan orang-orang dekat, tidak peduli kegiatannya konyol atau keren rasanya tetap sama. Hal yang juga aku peroleh ketika jalan-jalan ke BIP, bagiku selain filmnya yang memang keren, kebersamaan seusai film selesai sama menyenangkannya. Komentar-komentar nyleneh gara-gara waktu mau turun dengan eskalator ada bau tidak sedap, lontaran-lontaran yang mampu memancing tawa, semuanya memberi kesan menyenangkan bagiku.

Mungkin karena waktu SMA aku tinggal di asrama. Segala hal dilakukan secara bersama-sama. Tak ada ruang bagi kesedihan yang berlarut-larut, tersapu tawa kawan yang menghibur silih berganti. Kebersamaan yang menurutku menghilangkan ego seseorang. Kebahagian berarti kebersamaan, lebur, menyatu. Bahkan aku juga belajar bagaimana kebahagiaan bisa menular. Hanya dengan melihat teman senang, perasaan kita turut nyaman. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa teman, hii...

Chaos

[Lucu juga cerita sampai ke buku Chaos for Beginners. Nyari di pameran, ngga dapat, trus nulis di blog. Dapat umpan balik(feedback) dari Ales, yang bilang kalau dia ternyata punya. Akhirnya dapet juga. Pameran buku-> nulis di blog ->umpan balik dari Ales(susah bikin diagram non-liniernya) -> buku Chaos. Dengan kata lain, pameran buku -> Chaos for Beginners].

Kayanya aku terpengaruh konser Megalitikum-Kuantum kemarin deh. Bukan dari konsernya secara langsung, tapi dari spirit yang dibawa. Apalagi, judulnya aja Megalitikum(budaya batu besar, kalo ngga salah), dengan kuantum(yang sering dikaitkan sebagai dasar fisika modern). Hal yang menarik bagiku adalah, karena konser itu hendak mengusung sebuah universalitas. Bahkan dari ulasan-ulasan pra-konser, disebutkan bahwa musik ritmik Indonesia pernah direkam oleh NASA sebagai alat komunikasi dengan alam semesta(terlepas ada atau ngganya alien ;D).

Bisa jadi ini hanya sebuah semangat untuk menghubungkan kekayaan musik daerah-daerah di Indonesia dari masa lampau dengan era sekarang, biar keren dikasih nama Megalitikum-Kuantum. Satu hal yang mengindikasikan kecendrungan ke arah sana adalah kehadiran Agnes Monica yang tampil lepas dari balutan musik kelompok ‘Megalitikum’, berbeda dengan KD, Iyeth, Maya yang tampak padu dengan musik-musik khas daerah. Tapi terlepas dari penerjemahan konsep ke praksis, dari konsep yang aku baca dari penggagas acara, konser Megalitikum-Kuantum hendak menyuguhkan sebuah kepaduan yang kental dengan nuansa chaos.

Ilya Prigogine mengungkapkan bahwa keteraturan justru muncul dari ketidakteraturan; kehidupan muncul dari entropi. Keteraturan yang muncul dari ketidakteraturan, aku terjemahkan mirip dengan chaos dalam fisika modern, yaitu ketidakteraturan yang tidak teratur. Konsep yang belakangan ini menarik minatku ini memang sedikit membingungkan, jadi aku juga tidak begitu yakin dengan apa yang aku tulis, tapi ketidakteraturan yang teratur ini bisa dijelaskan dengan definisi fraktal. Fraktal yang berasal dari kata ‘fractus’ adalah bentuk-bentuk geometri yang bertentangan dengan geometri euclid. Pertama, mereka tidak teratur di semua permukaannya. Yang kedua, mereka memiliki derajat ketidakteraturan yang sama pada semua skala. Sebuah objek fraktal tampak sama ketika diamati dari jauh, atau dari dekat-ia menyamai dirinya sendiri(self-similar).[Sardar dan Abrams, Chaos for Beginners]

Dalam konser Megalitikum-Kuantum, semangat ini dibawa dengan memperlihatkan bahwa dalam kekayaan musik Indonesia yang beragam terdapat sebuah keteraturan yang dapat dilihat jika kita berada dalam level yang lebih tinggi, menyeluruh, holistik. Sebenarnya sains itu lucu, ia selalu merasa terancam kalau merasa tidak dapat menjamin sebuah masa depan yang serba pasti(deterministik). Setelah mengetahui penemuan-penemuan modern tidak cocok dengan hukum-hukum klasik, dibuatlah pendekatan-pendekatan baru yang memungkinkan manusia untuk memprediksi apa yang terjadi selanjutnya. Proses ini terjadi secara terus menerus. Mungkin ini mirip dengan sistem dinamis(/k), sebuah pembelajaran tiada henti. Umpan balik yang terjadi secara terus menerus sehingga sebuah sistem tidak akan pernah menjadi sederhana.

Setahuku, chaos mengalami perkembangan cukup pesat dari fenomena cuaca. Gara-gara keterbatasan alat yang hanya bisa menerjemahkan keadaan di alam sampai digit tertentu, ramalan cuaca bisa berubah salah sepenuhnya. Hal ini diakibatkan, terjadi akumulasi kesalahan yang juga mengalami bifurkasi-bifurkasi. Contoh yang cukup dikenal adalah ‘Butterfly Effect’(1972) yang mengatakan kepakan sayap kupu-kupu di Brasil bisa menghasilkan badai Tornado di Texas.

Dalam fenomena sosial hal ini bisa dilihat keadaan ekonomi Indonesia. Periode 1997-1998, Indonesia mengalami guncangan hebat. Dollar yang selama tahun-tahun sebelumnya, adem-ayem di kisaran Rp. 2000,- melonjak drastis hingga angka Rp.18.000,- keadaan yang tidak terduga sebelumnya. Namun hal ini sebenarnya sudah dapat diduga ketika Soros mulai bermain-main dengan mata uang. Sebenarnya ceritanya ngga sedramatis itu sih, para pemain valas sebenarnya sudah bisa memprediksi hal tersebut. Hanya saja tindakan Soros yang mendadak membeli mata uang dollar tidak diduga oleh pemain yang lain, sehingga mengakibatkan kekacauan.

Ada benang merah dari fenomena-fenomena yang terjadi saat ini: dominannya pengaruh suatu hal dengan hal lain; jaringan; keterhubungan satu sama lain. Chaos misalnya, merupakan sebuah pola yang teramati ketika melibatkan unsur-unsur lain, pemanasan global, kemiskinan, kesejahteraan dll. Seperti semangat yang diusung oleh pemusik-pemusik dunia dalam ajang Live-8: Make Poverty History. Mereka mengajukan agar hutang negara-negara dihapuskan oleh negara-negara kaya(baca:G-8). Uang hanya sebuah konsep untuk menindas dan mengikat, tidak sepantasnya orang yang bisa makan layak masih menghisap kaum papa. Contoh lain adalah dengan menjual gelang-gelang karet yang menyatakan kepedulian dan sumbangan bagi orang-orang tidak mampu. Semuanya menunjukkan bahwa setiap orang memiliki pengaruh terhadap orang lain.

‘Butterfly Effect’ tidak hanya ada dalam konteks alam melainkan juga sosial. Kondisi ini sangat relevan jika kita merenungkan bahwa alam adalah petunjuk bagi orang-orang yang mau berpikir. Sebuah kebaikan bisa menghasilkan kebaikan-kebaikan lain(seperti dalam kisah Pay It Forward) yang berdampak besar.

Keteraturan-chaos-kompleksitas. Kompleksitas merupakan tebing yang memisahkan chaos dan keteraturan. Contoh kasus: sistem korup. Dari sistem itu kemudian muncul orang-orang yang tidak menyukai korupsi, sehingga sistem tersebut akan terusik. Sistem yang kental dengan korupsi tersebut kemudian akan melakukan umpan balik yang bisa mungkin dekat dengan konsep dialektika sehingga memunculkan sebuah tatanan yang berbeda. Pertanyaannnya kemudian, kalau Prigogine mengatakan keteraturan muncul dari ketidakteraturan, maka apa yang terjadi sesudah keteraturan?

Merujuk pada konsep self-similar, kecendrungan yang ada adalah keteraturan. Sehingga setiap kali terjadi gangguan, sebuah sistem akan mengorganisasikan dirinya kembali pada keteraturan. Di alam, self-similar ini tampak pada formasi V pada burung yang tengah bermigrasi. Formasi V mungkin sudah cukup dikenal, tapi yang menarik adalah ketika seekor burung sakit, dan memisahkan diri dari formasi karena tidak mampu mengimbangi dan akan merusak sistem yang ada, maka dua burung lain akan ikut mundur dan mengawal burung yang sakit tersebut sehingga membentuk formasi V yang baru.

Sambungin sedikit ama pengetahuan yang aku dapat dari buku Guattari dan Deleuze, cara kerja seni pun seperti sebuah sistem non-linier. Tak ada yang namanya kanvas kosong, maupun lembaran bersih, karena kreativitas muncul dari peniruan dan ide-ide warisan yang memperoleh chaos. Pengaruh chaos akan menyebabkan sebuah sistem terguncang. Sistem yang tidak stabil ini akan mengaktifkan mekanisme kontrol yang ditempati oleh kritikus. Tentu saja, selalu ada yang pro maupun kontra, maka timbulah bifurkasi-bifurkasi yang akan menyebabkan kompleksitas dan sebuah keadaan yang tak terduga sebelumnya.

Hehe.. tulisannya makin lama makin ngga karuan. Namun satu hal yang aku tarik dari apa yang aku peroleh selama ini, manusia telah jatuh cinta pada ramalan. Meski orang-orang sekarang bilang sudah bukan zamannya lagi determinisik, tetap saja manusia mencari pola-pola baru yang mampu menjelaskan fenomena alam semesta. Sains menjadi alat untuk menjamin masa depan seperti yang dicita-citakan, bahkan orang yang tidak percaya sains pun memiliki ‘orang-orang pintar’ yang dianggap mampu mengisi kekosongan itu.

Masa depan yang sesuai imaji tiap benak
Aku jadi berpikir, seperti apakah aku kelak

Fiu..h

Baca buku What is Philosophy? bukannya dapat pencerahan tentang math, malah masuk ke era kegelapan. Bayangin, referensinya aja dari textbook serius, La philosophie de l’algebre, Ouvre mathematique de Leibniz ... ini sih sama aja kaya belajar pelajaran aljabar di bangku kuliah. Malah lebih parah, karena selain menggunakan definisi limit, infinite, chaos, diferensial, konsep-konsep ini juga dihubungkan ke tataran yang lebih filososfis. Sebelum masuk ke pembahasan ini, aku mengawali dengan buku Paradigma Holistik. Dari sana aku dapat gambaran mengenai pandangan dunia modern ala Newton-Descartes, dan pandangan baru organisme-holistiknya Shadra dan Whitehead. Secara semangat, kayanya aku lumayan ngerti. Terutama karena teori-teori semisal: relativitas, nexus disajikan dengan sederhana. Tapi begitu masuk ke buku kedua, gila.. sampai terbengong-bengong. Matematika abis, maksudnya banyak yang bilang math itu merupakan ilmu mengenai cara berpikir, tapi buku itu benar-benar menggunakan konsep baku math dalam memperkuat argumen.

Ada bagian yang menarik dari buku itu, “Bukan secara kebetulan, melainkan secara esensial dan niscaya, jika logika itu adalah reduksionis: mengikuti rute yang tanda-tandanya dibuatkan Frege dan Russell, logika berkeinginan untuk merubah konsep menjadi fungsi.”[Deleuze dan Guattari, What is Philosophy?terj., h. 195] Kata-kata diatas sedikit banyak menjelaskan kesalahan pendekatan yang aku gunakan selama ini. Memahami konsep sama sekali tidak menjamin aku dapat mengerjakan logika matematikanya secara utuh. Misalkan, aku tahu sebuah konsep mengenai nilai maximum dalam mengerjakan masalah difusi. Nilai maximum diperoleh diwaktu awal, yang seiring dengan berjalannya waktu, nilai maximum akan menurun, dan nilai minimum akan bertambah. Secara logis(kata logis aku bedakan dengan logika. Logis untuk pemahaman secara langsung/masuk akal, logika berkaitan dengan disiplin ilmu math), jelas sebuah batang yang dikenakan suhu tertentu akan mencapai nilai maksimum pada keadaan awal(t=0), namun dalam logika matematika, penjelasan itu sangat tidak cukup. Bahkan dalam konstruksi bilangan, aku benar-benar harus menyusun bilangan bulat dari angka 0 dan 1.

Dalam transfer ilmu ada yang disebut dengan tacit knowledge. Tacit adalah pemahaman yang ditangkap ketika seseorang belajar. Biasanya dalam teks tidak semua hal dijelaskan secara detil, ada pemahaman-pemahaman yang diperoleh ketika mengerjakan soal. Pemahaman dari pengalaman, ataupun melalui pembimbing merupakan hal-hal yang tidak diperoleh dari teks. Senada, konsep yang direduksi dalam sejumlah persamaan matematis, harus diperoleh melalui pengalaman atau bimbingan sehingga apa ditangkap oleh pembaca sama dengan konsep yang dimaksudkan oleh perumus persamaan itu. Transfer ini aku tangkap sebagai upaya untuk menghindari pandangan math yang reduksionis.

Karena aku lagi berkutat dengan partial differential equations(PDE), aku pakai contoh soal diferesial aja. Di bab 2.1 ada soal mengenai perubahan variabel agar bentuknya memenuhi persamaan gelombang umum. Persamaan awalnya adalah spherical wave, untuk mengerjakan soal itu tinggal menggunakan turunan trus substitusi. Beres deh, tapi kalau aku ditanya untuk apa, ya... aku agak bingung juga. Jawaban paling sederhana, untuk menemukan solusi yang diminta. Tapi hubungannya dengan benda-benda fisis, masih rada blank. Seperti bagian awal penjelasan mengenai PDE, PDE didefinisikan sebagai identifikasi hubungan antara variabel bebas, variebel tak bebas u, dan turunan dari u (ex: PDE:u(x,y), variabel bebas:x,y, v.tak bebas:u). Benar-benar penjelasan persamaan kan? Bukan konsep, apalagi penjelasan fisis.

Kalau menggunakan pendekatan Galileo kayanya cukup nyambung. “Filsafat ditulis dalam buku besar ini, alam raya, yang terhampar di hadapan kita. Tetapi, buku itu tidak dapat dipahami jika kita tidak mempelajari bahasa dan huruf yang dipakainya terlebih dahulu. Buku itu ditulis dalam bahasa matematika, dan huruf-hurufnya adalah segitiga, lingkaran, dan bentuk-bentuk geometris lainnya.”[Galileo, Il Sagiatore, kata-kata ini aku culik dari buku Paradigma Holistik, h.38]. Matematika adalah bahasa, ngga lebih dan kurang. Makanya ketika dalam pelajaran geometri sebuah garis tidak hanya terdiri dari sebuah garis lurus(y=mx+c) tapi bisa juga bengkok-bengkok, ngga ada yang protes. Patokan dalam matematika hanya satu, definisi. Gara-gara definisi ini, banyak hal yang ngga terbayangkan sebelumnya bermunculan.

Antara asyik, dan serem. Memasuki hutan belantara logika dan definisi. Entah apa lagi yang akan aku temukan....

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...