Kemarin aku lagi semangat untuk menulis cerita remaja. Gara-garanya ada beberapa hal dalam benak yang kalau kupikir-pikir lebih baik dikeluarkan dalam bentuk cerita. Personifikasi diriku menjadi lebih bebas, karena bisa berubah dalam tokoh-tokoh yang kutulis, persis seperti dalang. Untuk mendukung rencanaku itu, kemarin aku minjem buku teenlit.
Yang pertama kali terbayang ketika membaca teenlit adalah: perempuan bodoh, perempuan culas dan laki-laki cakep dengan otak kosong. Hehe.. kadang-kadang aku suka sadis dalam menilai sesuatu. Tapi melihat beberapa cerita remaja yang diangkat ke layar lebar, aku jadi memiliki pandangan cukup negatif terhadap genre yang satu itu. Apalagi untuk teenlit-teenlit yang diterjemahkan dari luar, fiu..h kehidupannya udah bebas banget. Beda ama lini remaja yang dikeluarkan ama Kaifa, cerita-cerita seperti Ella Enchante, Perjalanan Dua Purnama dan seri-seri sejenis mememiliki muatan-muatan moral yang baik.
Aku bukannya sok idealis. Pengalaman SMP-ku juga ngga jauh dari kekonyolan-kekonyolan gara-gara lawan jenis. Seperti satu sosok yang entah kenapa sampai sekarang masih kuingat jelas. Ia berperawakan tinggi, rambut cepak, kulit kecoklatan dengan gaya jalan yang khas. Masa-masa SMP ada dua jenis manusia populer: anak OSIS dan anak band. Nah, orang yang kukagumi itu termasuk golongan pertama, ditambah fakta dia juga anak paskib.
Tentu saja aku tidak berani mengakui perasaanku secara terus terang. Tapi diantara teman-teman main bareng, semuanya sudah tahu kalau aku punya perasaan padanya. Jadi kalau ada berita-berita tentang dia, atau kalau dia lewat, pasti akan ada suara, “ehm..ehm..” yang kemudian disusul sikut-sikutan sambil ketawa-tawa. Teman-teman main bareng yang anggotanya perempuan semua memang sangat biasa dalam kehidupan SMP. Teman-teman itu pula yang menjadi penasehat untuk segala hal yang berbau kaum adam.
Kalau kukenang saat-saat itu rasanya lucu juga. Bahkan aku sempat menjadi secret admirer, ngirim kartu lebaran tanpa nama, atau menelpon ke rumahnya dan berharap dia yang mengangkat. Ketika memencet nomornya saja perasaanku udah ngga karuan, biasanya aksi iseng berakhir dengan menyerahkan gagang teleponnya ke temanku, sambil memasang kuping dekat-dekat untuk mendengar suaranya. Hanya dengan mendengar suaranya saja mukaku bisa merah, dan merasa senang tidak karuan. Aku bisa bilang, saat itu aku dan teman-teman menjadi sangat cerdas untuk mencari berbagai cara agar dapat bertemu dengan orang yang kukagumi.
Tak hanya suara, sore-sore pun kami suka naik sepda keliling kompleks sambil melewati rumahnya. Kalau beruntung, aku bisa melihatnya sedang menyapu halaman. Meski kalau itu terjadi biasanya kami langsung mengayuh sepeda kami sekuat tenaga. Kemudian jalan-jalan ke tepi danau sambil bercerita tentang masa depan. Saat itu pembicaraan kami, terasa sangat keren. Membayangkan keadaan kami beberapa tahun mendatang, dan terkadang terbawa suasana melow, memikirkan bahwa mungkin sebentar lagi kami harus berpisah.
Untuk masalah perempuan yang otaknya rada ngga beres kalau bertemu orang yang dikagumi mungkin aku masih bisa mengerti. Tapi aku paling ngga suka ngeliatin cerita-cerita perempuan culas. Memangnya sebuah cerita hanya bisa mencapai klimaks kalau ada satu orang yang baik seperti bidadari dan yang satunya lagi jahat minta ampun? Bagiku masa-masa remaja memiliki problematikanya tersendiri tanpa harus ditambah kehadiran orang-orang berhati culas. Masalah orangtua, nilai, melanjutkan sekolah, cemburu, salah paham sudah cukup banyak tanpa perlu ditambahi orang yang jahatnya sudah sampai level tidak masuk akal.
Namun pikiran-pikiran burukku mengenai teenlit berakhir ketika aku membaca Kana di Negeri Kiwi. Awalnya aku udah sempat malas melihat tulisan Juara 1 Lomba Novel Teenlit Writer 2005 yang tertera disampul. Dalam benakku sudah terbayang gaya-gaya kaum borjuis-kapitalis, idealisme pasar tanpa nilai, industri hiburan yang hanya menampilkan satu wajah. Tapi karena aku memang berniat menjadi observer, maka sebagai masukan aku pinjam juga buku itu.
Seiring dalam larutnya aku dalam halaman-halaman yang disajikan, pandanganku berubah seratus persen. Buku teenlit yang satu itu menawarkan nilai-nilai, serta konflik tanpa kehadiran perempuan culas. Karena penasaran, aku langsung membaca biodata penulis. Pengarang-pengarang favorit penulis, menjawab keherananku. Arundhati Roy, Chitra Banarjee, Jhumpa Lahiri merupakan penulis-penulis India yang sangat kental menyuarakan masalah-masalah perempuan. Bagiku mereka bertiga adalah penulis-penulis yang berhasil menghadirkan Barat-Timur dengan cantik, lengkap dengan konflik-konflik akibat perbenturan budaya.
Hasilnya buku teenlit Kana di Negeri Kiwi, juga sarat dengan nilai-nilai perempuan untuk menghargai dirinya sendiri, kasus pelecehan dan juga persahabatan antar perempuan. Dalam sebuah jurnal perempuan, aku pernah membaca sebuah aksi solidaritas perempuan berhasil menggabungkan berbagai elemen dari latarbelakang yang berbeda. Solidaritas terbentuk karena permasalahan-permasalahan yang sama. Kekerasan dalam rumah tangga, tingginya angka pelecehan mulai yang dari fisik sampai mental, tayangan televisi yang menempatkan perempuan sebagai objek dlsb.
Apa mungkin perang timbul karena kesalahpahaman ya? Meski aku berusaha sebisa mungkin untuk menilai sesuatu dari berbagai sudut, kadang aku tidak menahan diri untuk menghakimi sesuatu tanpa mengenalnya lebih dalam. Seperti saat aku menilai buruk teenlit. Begitu juga dalam masalah perempuan, orang-orang sering menilai negatif kata ‘feminis’ padahal dalam bentuknya paling murni, feminis berarti semangat untuk mengkritisi gender(pembagian peran antara perempuan dan laki-laki). Praksisnya adalah untuk meminimalisasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, entah dengan melakukan advokasi, menggolkan UU, kesempatan untuk bersuara di depan publik. Hal ini kadang dianggap sebagai upaya untuk mengingkari kodrat, tapi aku pikir tidak seperti itu. Semuanya sebenarnya bisa sejalan.
Gerakan yang berbau perempuan bagiku muncul karena kebutuhan. Hanya saja ketika ia sudah sampai pada tataran publik banyak yang salah sangka. Ada pihak-pihak yang merasa terancam dengan kemapanannya selama ini, padahal masih banyak daerah-daerah yang benar-benar memarjinalkan perempuan. Posisi yang terpinggirkan inilah yang hendak diperjuangkan, dan bukan prinsip/kondisi ideal yang telah ada.
Kehadiran penulis-penulis perempuan India misalnya, mampu membuka mata kita mengenai keadaan perempuan di negara Shakh Rukh Khan tersebut. Kondisi yang cukup membuat miris, karena perempuan diperlakukan seperti barang. Kasus-kasus penganiayaan dalam rumah tangga juga merupakan tema yang cukup klasik di beberapa buku yang aku jumpai(ditulis oleh ketiga pengarang yang telah aku sebutkan diatas). Di Indonesia, hal tersebut juga bukan sesuatu yang asing, hanya saja kita telah terbiasa untuk mendengar hal-hal manis, sehingga ketika ada orang yang hendak mengungkapkan fakta-fakta tersebut, tentu akan ada banyak pihak yang merasa terusik.
Salah satu film Amerika yang sangat tidak meng-Hollywood adalah The Stepford Wifes(bener ngga ya, nulisnya?). Dalam film itu perjuangan istri untuk memperjuangkan hak-haknya dengan menolak penyeragaman lewat chip, juga dibantu oleh sang suami. Hal yang menarik dari film tersebut bagiku adalah perjuangan perempuan untuk dihargai, tidak hanya menjadi ranah perempuan, melainkan juga laki-laki. Perjuangan perempuan menuntut hak, bukan hanya masalah perempuan melainkan masalah kemanusiaan secara keseluruhan. Karena hal itu pula, muncul istilah feminist laki-laki, karena sebenarnya perjuangan perempuan memperoleh hak-haknya adalah perjuangan kemanusiaan yang tidak bisa dikotak-kotakkan.
No comments:
Post a Comment