Wednesday, July 27, 2005

Gie

Akhirnya jadi juga nonton film Gie di bioskop. Senin lalu kehabisan tiket, trus diseling jalan-jalan dulu ke Carita, ditambah komentar-komentar, “Ih, rugi2 mending nunggu VCD-nya” dan, “Ya ampun Yut, yang nonton tuh anak2 SMU yang jerit-jerit pas Nicholas Saputra muncul.” Tapi suara-suara itu tak menyurutkan langkahku. Mungkin karena ketika membaca buku CSD(Catatan Seorang Demonstran) dengan cover masih merah-putih-hitam, aku tenggelam dalam kesepian seorang aktivis bernama Soe Hoek Gie, yang mencoba memahami dunia namun tak pernah terpahami.

Banyak kata-kata yang melekat dalam benakku terutama karena aktivis sekaliber Gie sangat manusiawi. Pergelutannya mencari kebenaran, menegakkan apa yang diyakininya dan menjadi seseorang yang kesepian. Bukan karena tak punya kawan, melainkan pergulatan pikiran di dalam dirinya sendiri yang membuat ia senantiasa berjarak dengan yang lain. Perenungannya abadi, tak hanya karena bertukar pikiran dengan insan pers sekelas PK Ojong, tapi juga persentuhannya dengan rakyat jelata.

Aku cukup menikmati adegan-adegan awal. Meski agak terganggu dengan suara musik yang mengalahkan dialog maupun suara narator, tapi semangat zamannya cukup terasa. Alur itu cukup terusik ketika pemeran Gie beranjak dewasa dan diperankan oleh Nicholas Saputra. Imaji yang telah terpatri dalam benakku buyar seketika. Potongan demi potongan yang telah susah payah dibangun, berganti menjadi sosok artis, dan jelas tidak sejalan dengan bayanganku akan Gie.

Meme asosiasi dan meme pembeda bekerja terlalu baik, sehingga aku tidak berhasil men-set otakku untuk menganggapnya sebagai Gie. Belum lagi seruan-seruan yang muncul di dalam bioskop ketika ada adegan Gie dengan seorang gadis. Padahal seingatku dalam buku CSD perkenalan Gie dengan beberapa perempuan semakin memperjelas konflik batin yang ada dalam dirinya. Halangan dari orangtua sang pacar, konflik yang dialami sang gadis dan Gie yang menyerahkan semua keputusan pada sang gadis. Jauh berbeda dengan yang kusaksikan dalam film Gie, dimana adegan kissing tampak dipaksakan, atau dengan sinis kukatakan sebagai sarana promosi gratis, karena adegan itu pasti akan memunculkan kontroversi.

Biasanya aku cukup toleran. Apalagi sosok Gie cukup sulit dijual. Dari liputan mengenai pembuatan Gie yang aku baca di Intisari ada banyak sponsor yang mengundurkan diri setelah membaca materi film. Aku bisa bilang, CSD idealis banget, jadi cukup wajar kalau industri film yang harus memperhatikan uang kembali(sebesar 7 miliar rupiah) melakukan kompromi dengan pasar. Tapi khusus untuk Gie, rasanya berat melihat ia dikomersilkan begitu rupa.

Mungkin keputusanku untuk menonton Gie salah. Selain karena imajiku tentang dirinya sedikit rusak, aku jadi teringat masa-masa SMU-ku. Saat dimana aku idealis dan sangat gelisah. Pikiran-pikiran yang seiring berjalannya waktu berhasil kukendalikan dan kususun agar tak mebuatku mati langkah. Tapi kini setelah menonton film itu aku jadi teringat satu sosok dari dua orang yang sangat berpengaruh terhadap pemikiranku. Kecintannya pada alam, kegelisahannya, bacaan kekiri-kirian serta pengaruhnya padaku.

Aku tak mau menjadi sosok yang gelisah, khususnya untuk saat ini. Tapi dihadapkan langsung pada realita dan keadaan nyata, mau tak mau ada sebagian dari diriku yang (kukira berhasil kukubur) kembali hadir. Sama seperti membaca karya-karya Pram ataupun Umar Khayam. Mengingatkanku pada realitas negeri ini, sebuah kondisi bertolak belakang dengan buku-buku masa kecilku yang diisi oleh pengarang Barat. Membaca kondisi negeri sama juga masuk dalam sebuah lorong berjudul gelisah.

Mau peduli juga tanggung karena aku tak cukup punya suara, tapi tenggelam dalam mesin mekanistik sekolah-kuliah-kerja juga tak nyaman. Semua tampak serba salah. Padahal kalau becermin pada negara-negara yang berhasil lepas dari keterpurukkan kuncinya terletak pada pendidikan. Ironisnya di Indon, permasalahan pendidikan tak pernah usai. Mulai dari metode-metode yang bergonta-ganti sehingga membingungkan sampai biaya pendidikan yang bisa bikin gigit jari. Bagaimana seorang kepala keluarga bisa kerja dengan tenang kalau gajinya tak mampu mengantarkan putra/i-nya ke sekolah yang bagus?

Akibatnya mahasiswa yang seharusnya bisa menjadi generasi penerus yang mumpuni di bidang teknologi malah masuk dalam politik praksis. Bibit-bibit yang telah disubsidi negara dengan uang rakyat malah lebih banyak yang menyimpang dari bidangnya. Padahal dari prestasi di Olimpiade Fisika, Indonesia memperoleh hasil yang membanggakan.

Aku harus benar-benar berhenti nih, setidaknya untuk beberapa bulan kedepan. Tapi rasanya koq susah banget ya?

No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...