Monday, July 25, 2005

Ke Laut

Jatuh...
Dalam dekapan angin
Usapan ombak
Perenungan alam raya

Akhirnya saya kembali ke laut. Bertemu dengan ombak yang bergulung-gulung, karang, kepiting, dan juga kerang-kerang yang terserak di pantai. Menatap laut yang begitu luas membuat saya merasa kecil, belum lagi ombak yang tidak henti bermain-main di tepi pantai. Seperti sebuah tarian ritmik yang begitu teratur sekaligus dahsyat. Hal itu saya rasakan ketika nyemplung, pada mulanya ombak hanya bermain-main melewati badan, tapi tahu-tahu ada ombak besar yang membuat saya kuyup.

Melihat laut membuat saya banyak berpikir. Ditengah pekik anak-anak MA01 yang meluapkan kegembiraan, pikiran saya melayang kemana-mana. Mulai dari bahan TA saya yang berhubungan dengan wave, hingga perpaduan kekuatan dan kelembutan yang menyatu dalam sebuah tarian alam. Tarian yang membuat sekelompok anak dari Bandung mampu menjerit-jerit gembira, menggambil puluhan gambar untuk mengabadikan momen indah ini.

Mengapa sesuatu hal yang berjalan demikian rutin bisa menyebabkan seseorang gembira? Laut selalu ada di luar sana. Ia tetap berombak, dikelilingi pasir, dan asin. Tapi tetap saja segala hal berbau laut bisa menimbulkan kejutan-kejutan. Entah karena ombak yang tiba-tiba membesar, atau kepiting yang tiba-tiba lari karena pertapaannya terganggu oleh beberapa tangan iseng, atau semua tak ada hubungannya dengan laut. Segala hal terasa istimewa karena dilakukan bersama-sama dan ditambah kenyataan bahwa ini mungkin pengalaman terakhir anak-anak MA01. Laut hanya sebuah tempat dimana kami semua memutuskan untuk melepas tawa, kehadirannya menjadi unik karena ia dipilih untuk menjadi bagian dari saat-saat bersejarah itu.

Entahlah saya tidak begitu yakin. Sejujurnya hari-hari libur memberikan saya banyak waktu untuk merenung, apalagi dengan pergi ke tempat-tempat yang beda. Pikiran-pikiran mendera tanpa bisa saya cegah. Mengadakan kudeta, ide-ide serta kemungkinan-kemungkin yang tak pernah saya duga sebelumnya. Kadang ada hal-hal yang saya anggap tidak akan berubah, tapi diwaktu lain pijakan-pijakan itu seolah runtuh, menyisakan sebuah kegamangan yang dalam. Dan saat memandangi laut yang terlihat tidak bertepi, pikiran-pikiran saya mengikuti polah ombak yang berkejar-kejaran tanpa pola sederhana, rumit, tak jelas hingga saya sendiri pun tidak memahaminya. Segala hal rasanya ingin saya pikirkan ulang, lagi dan lagi. Tentang jalan hidup, masa lalu yang mempengaruhi masa depan, segalanya. Hua..ah laut membuat saya mellow...

Suasana baru sajakah yang mempengaruhi saya? Tapi tampaknya anak-anak laut pun berpikiran sama dengan saya. Saat jalan-jalan ke tempat sepi, tampak tiga orang sedang menatap laut. Pandangan matanya lurus, dengan mulut yang seolah tekunci rapat. Di samping mereka tampak alat pancing sederhana yang terbuat dari bambu tipis seperti lidi yang dililitkan benang kaca dan kail diujungnya. Saat saya bertanya-tanya pada mereka, mata mereka tetap lekat, hanya kebisuan saja yang berhasil pecah. Tentang tempat tinggal yang berjarak setengah jam perjalanan kaki, tentang lauk yang mereka peroleh di laut, dan juga kegiatan lainnya yang hanya menganggur.

Ingin rasanya saya bertanya apa yang ada dalam pikiran mereka saat memandang laut. Bukankah mereka tiap hari berkawan dengan air yang asin itu, tapi kenapa mereka masih tampak terpesona? Atau laut telah mengeluarkan mantranya yang terkenal: cinta. Mantra yang membuat nelayan setia mengarungi laut ketika bulan sedang bagus, dan meski harus menghadapi kenaikan BBM dan tengkulak, rutinitas itu tetap dilakukannya tiap hari. Begitu pula dengan anak-anak laut yang tetap kembali ke laut meski hanya untuk mencari lauk teman nasi, sambil menatap ombak yang bergulung-gulung. Apakah mereka melihat mimpi? Seperti teman-teman dengan segudang rencana pasca-wisuda, apakah anak-anak laut itu juga memikirkan kehidupan yang sama sekali berbeda dengan orangtua mereka?

Saya jadi berpikir ulang mengenai hierarki kebutuhan Maslow, yang berturut-turut ditempati oleh: kebutuhan fisik, aman, sosial, pengakuan dan aktualisasi diri. Dengan melihat perenungan mereka, saya menyimpulkan mereka tengah berada dalam level aktualisasi diri, yaitu tahap perenungan. Tentu saja pengamatan sekilas ini masih sangat bisa diperdebatkan, tapi keadaan kaum tak berpunya di desa dan kota sangat berbeda. Anak-anak di daerah pinggiran, meski mapan dengan keadaan seadanya itu masih memiliki waktu untuk merenung.

Dengan menggunakan pendekatan psikologi transpersonal, saya melihat perenungan anak-anak desa ketika memandang laut ataupun sawah-sawah hijau yang menghampar sejauh mata memandang menyadarkan kekerdilan manusia. Kebutuhan akan keberadaan Sang Maha yang mengatur semesta raya mutlak adanya.Hal inilah yang membuat anak-anak desa lebih murni. Beda dengan daerah perkotaan dimana kehidupannya sudah sedemikian mekanistik, sehingga tak ada lagi waktu yang tersisa untuk berkontemplasi. Secara fisik hal ini bisa dibandingkan dengan pemanfaatan waktu luang. Anak-anak kota biasa bercengkrama di pinggir lampu merah, sedangkan anak-anak desa masih sering duduk dalam keheningan dan menatap alam raya, meski disamping kiri-kanan mereka ada teman-teman yang lain.

Apakah saya masuk kategori anak kota? Ah, meski saya suka membaca segala teori dan segala bentuk klasifikasi, cinta saya tetap berlabuh pada kesederhanaan. Pada tawa manusia yang tak tersekat klas, usia dan waktu. Pada setiap tanda yang tersebar tak hanya di alam, tapi juga polah manusia.

Bukankah semua menuju pada Yang Esa?

No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...