Thursday, July 07, 2005

Komitmen

X: “Hal apa yang paling kamu takuti?”
Y: “Komitmen”

Percakapan itu sudah terjadi beberapa tahun lalu. Tapi muncul kembali dalam ingatan gara-gara percakapan kemarin. Sambil menunggu teman meminjam buku di Comic corner, aku dan dua orang teman(pembicaraannya rada-rada ehm-ehm.. jadi anonim aja deh) ngobrol ngga jelas. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah sebuah agenda yang tertera di brosur Common room: Change Yourself. Kira-kira kegiatan Change Yourself ngapain ya? Teman yang kutanyai menjawab mungkin mirip-mirip dengan SIAWARE, semacam kegiatan manajemen perubahan diri gitu deh...

Dari beberapa kali ikut beberapa macam training pengembangan diri, aku termasuk orang yang skeptis. Abis perasaan materinya itu-itu aja, ya... bikin tujuan dalam skala waktu tertentu, menuliskan kata-kata yang dapat membangkitkan motivasi dlsb-dlsb. Buku-buku pengembangan diri juga udah aku baca, meski itu baru aku lakukan belakangan ini. Mulai dari yang kaku dan konvensional banget sampai yang menggunakan hipnosis. Minggu lalu aku sempat mencoba meditasi sambil mendengarkan musik dengan ketukan kurang dari 60 per menit, sambil melakukan visualisasi-visualisasi. Asyik juga sih, sambil main-main dengan alat ukur denyut jantung yang ada di rumah, aku berhasil menurunkan denyut jantungku, tapi ngga tau pengaruh lainnya apa.

Cara lain, jalan-jalan ke Badui, ke mall bareng teman, museum dan acara-acara lainnya, tapi ngga berhasil juga. Trus beralih ke buku-buku otobiografi/biografi yang bisa membangkitkan motivasi tapi efeknya juga ngga lama. Kenapa ya, aku susah banget untuk fokus pada satu hal. Cepet banget bosen, dan sangat senang dengan hal-hal baru. Ketika aku bertanya bagaimana caranya agar hidupku lebih teratur, dan mampu untuk berkomitmen kepada dua orang temanku, jawaban mereka sama: nikah.

Hua..ha... becanda aja. “Serius dong,” ujarku sambil ketawa-tawa. Eee.., mereka malah ngasih argumen tambahan untuk mendukung jawaban itu. Salah satu alasan temanku adalah untuk berubah secara cukup drastis diperlukan sebuah titik nadir. Aku berpikir satu-satunya yang bisa membuatku berubah banget adalah kalau aku kehilangan orang-orang yang aku sayangi, jadi kayanya mending ngga aja deh. Cara lainnya ya.. balik ke jawaban tadi.

Bukannya ngga setuju, tapi aku termasuk orang yang percaya bahwa perubahan itu bertahap. Jadi untuk membuat seorang berani berkomitmen ngga bisa sertamerta ditodong ke komitmen tingkat tinggi seperti itu. Meski aku sendiri ngga tahu caranya gimana. Dari analisis-analisis yang dilakukan ibuku, ada beberapa kemungkinan: anak bungsu, dan cara berpikir demokratis. Di rumahku nyaris segala sesuatunya dilakukan dengan berdiskusi, jadi kalau alasan yang aku kemukakan bagus keinginanku bisa tembus. Teori anak bungsu lumayan menyebalkan.

Apa yang salah menjadi anak bungsu? Masalahnya kan, anak bungsu pasti ada di keluarga dengan jumlah anak lebih dari satu, dan status itu seharusnya ngga mengindikasikan perlakuan khusus. Cuma karena ibuku mengemukakan dugaannya itu, aku jadi curiga dengan lembaran identitas. Anak ke-.. dari jumlah saudara... Jangan-jangan yang anak bungsu ditandai khusus karena dicurigai memiliki karakter tertentu. Ngga lucu kan? Udah gitu ibuku mulai memberi sederet contoh kehidupan anak bungsu yang sikapnya mirip-mirip denganku. Masa iya sih? Lagian kalau dalam kehidupan sehari-hari kan biasanya hanya orang-orang yang cukup dekat aja yang tau kalau seseorang itu bungsu apa ngga, jadi seharusnya lingkungan tidak akan membentuk karakter khusus bagi setiap anak terakhir dalam keluarga.

Anyway, itu sebuah kemungkinan yang akan aku pikirkan meski tetap aja tidak merubah statusku sebagai anak paling kecil. Hmm... masih berpikir caranya gimana. Sebenarnya sih pengalaman merupakan guru paling baik. Kaya melatih kemandirian dengan hidup berasrama, mungkin belajar berkomitmen juga bisa dilakukan dengan mengalami langsung. Sebenarnya ngga mungkin kan mahasiswa sepertiku menjadi sebuah variabel bebas dimana-mana. Kalau tanggungjawabnya di bidang yang aku sukai, memang jadi ngga terasa. Tapi untuk hal seperti kuliah misalnya, aduh... bener-bener ucing-ucingan. Kalau ngga kepepet banget, aku jarang banget buka-buka buku. Kalaupun buka buku biasanya tentang math yang sama sekali ngga nyambung dengan bahan kuliah, just for fun.

Kata ibuku lagi, ini tandanya belum dewasa. Seperti anak kecil yang ngga punya beban tanggungjawab. Kalau dipikir-pikir, iya juga sih. Caya..cayoo... (nyemangatin diri sendiri:D)

3 comments:

Anonymous said...

menikah?
wow, menikahi yuti enak gak ya?
[istilahnya kayaknya kasar banget]
math gitu lho...

iya ti...
menikah aja...
teman mu udah betul,
setidaknya, pilihan menikah tidak bisa salah, yang bisa cuma betul, asal dilakukan dengan cara yang betul pula...[lho...]

dei

Akhsayanty said...

anak bungsu takut berkomitmen?

he he he... gak nyindir yut... bener dah kita harus cari anak tengah!

eh, kok gw gak nyambung yak...

Cheshire cat said...

Waduh... bukannya kasih alternatif lain, malah makin ikut ngomporin. Lagian pilihan itu belum ada dalam daftar hehehe...

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...