- I hate when you keep silent
- I hate when you’re not around
- I hate when you mention some name
- I hate your distraction when I want to be alone
- I hate the way you make me addicted
- I hate the way you make my life dependent
- I hate the way you make me feel up and down
- I hate the way you flirting me
- I hate the way you make me missing you
- I hate the way you make my life uncomplete
Monday, December 26, 2005
10 Things I Hate About You
Thursday, December 22, 2005
Surat Untuk Bunda
Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah,
dan pergilah ke mana hati membawamu...
(nasehat Olga, sang nenek pada cucunya dalam Pergilah Ke Mana Hati Membawamu, Susanna Tamaro)
Bunda, sekarang nanda sedang menyusuri jalan yang penuh persimpangan. Lika-liku yang kadang membuat gamang dan tak tenang. Kejadian-kejadian penuh kejutan, baik pahit maupun menyenangkan. Nanda tidak tahu harus senang atau takut, di satu sisi nanda senang bisa menjelajahi tiap semesta rasa dengan kebebasan yang bunda berikan, namun nanda juga takut menjalani ini semua. Segalanya berubah serba cepat, dan tak terduga.
Saat nanda masih belia, dunia tampak sangat sederhana. Nanda tidak perlu repot memikirkan baju apa yang harus nanda pakai karena bunda telah menyediakannya. Begitu pula pilihan-pilihan yang bunda lakukan agar nanda memperoleh yang terbaik: makan sayur, gosok gigi sebelum tidur, hingga dongeng-dongeng yang setia menemani malam-malam nanda. Bunda tahu, sayur hijau itu rasanya tidak enak, nanda sampai selalu mencari akal agar dapat menghindari makanan itu. Apalagi gosok gigi sebelum tidur, saat mata sudah berat. Akhirnya bunda yang menggosok gigi nanda dengan susah payah karena nanda setengah terlelap
Sekarang nanda sudah terbiasa makan sayur hijau, dan sikat gigi sendiri. Nanda juga mulai mengerti alasan-alasan atas larangan bunda yang tidak menyenangkan ketika nanda masih belia. Tapi dunia luas tak sepenuhnya sama seperti yang bunda gambarkan pada nanda. Nasehat bunda tentang baik dan buruk adakalanya sama sekali tidak membantu nanda. Bunda ingat tidak, ketika nanda pulang larut malam sesudah jalan-jalan dari taman hiburan. Bunda gelisah dan berkata-kata dengan nada gusar, karena nanda sama sekali tidak memberi kabar. Padahal saat itu nanda juga tidak bermaksud tiba di rumah ketika bintang sudah menunjukkan kerlipnya. Nanda hanya mengikuti keinginan teman-teman, karena tidak mungkin kalau nanda pulang sendirian.
Nanda tahu, nanda membuat bunda cemas. Kalau ini membuat bunda merasa lebih baik, selama perjalanan pulang, nanda terus digelayuti perasaan bersalah. Perasaan yang coba nanda tutupi dihadapan bunda, karena nanda merasa sudah cukup dewasa. Nanda merasa sudah saatnya untuk menentukan pilihan bagi jalan hidup nanda sendiri. Namun nanda sadar tidak sepantasnya nanda membiarkan bunda dan ayah menunggu dalam ketidakpastian, dan membiarkan segala pikiran buruk melintas di benak. Meski upacara penyambutan berlangsung suram, bunda langsung bisa mengalihkan suasana, terutama karena saat itu nanda belum makan malam.
Nanda tidak pernah mengerti bagaimana bunda melakukan itu semua. Senyum 24 jam yang mengalahkan restoran siap saji yang buka siang malam. Nanda bukannya tidak pernah melihat bunda bersedih, saat nanda sakit, nanda lihat tatapan bunda meredup sepert bunga yang menguncup. Tapi nanda selalu bisa merasakan pancaran kasih dari bunda, bahasa tanpa kata yang bisa membuat nanda merasa aman. Ditambah kesabaran bunda menghadapi segala polah nanda, nasehat tiada henti, serta kelapangan hati untuk senantiasa memaafkan. Nanda sadar kalau pilihan nanda tak selalu baik, namun meski dari awal bunda sudah mengingatkan, bunda senantiasa menjadi pendukung nanda yang utama.
Bunda, kenapa bunda mau menanggung nanda dalam kandungan selama sembilan bulan lebih? Nanda kan berat bunda? Berangkat sekolah sambil membawa buku-buku tebal saja, nanda kadang merasa cukup kelelahan. Namun bunda melakukannya dalam kurun waktu yang sangat lama, tanpa jeda pula. Ajaibnya, bunda menyukai keadaan itu. Bahkan bunda bercerita gerakan kaki nanda yang menendang-nendang dan menyebabkan perut bunda bergerak-gerak membuat bunda bahagia. Bunda kan tidak tahu, nanti nanda akan jadi anak yang seperti apa, bagaimana kalau nanti nanda membuat bunda menangis?
Nanda tidak tahu harus berbuat apa untuk membalas semua kebaikan bunda. Tiap kali nanda menanyakan pertanyaan itu, bunda hanya menjawab, “Keberhasilan nanda merupakan hadiah terindah bagi bunda.” Keberhasilan seperti apa bunda? Apakah bunda ingin nanda menjadi insinyur, atau kerja di perusahan yang mapan? Namun jawaban bunda dari dulu tetap sama, “Bunda ingin nanda jadi anak yang shaleh dan berguna buat orang lain.”
Jawaban sederhana yang membuat nanda harus berpikir keras untuk mulai menentukan pilihan bagi diri sendiri. Nanda sering bertanya-tanya, bagaimana bunda bisa melewati semua pilihan yang ada dalam kehidupan ini, dan jawabannya, “Berdoalah. Kemudian, biarkan hati memberi ketetapan atas jalan yang nanda pilih.” Bunda, bunda... malaikat yang Tuhan kirimkan untuk nanda, terimakasih atas segalanya.
Salam sayang,
Ananda
Yuti Ariani
NB: kemarin aku dapat ucapan terimakasih dari seseorang yang membaca tulisanku ini. Katanya, jadi terinspirasi, hmm... trully her words means a lot, especially if it can make her mother happy. Happy mothers day...
Tuesday, December 20, 2005
A Little Bit
“The Four Colour Problem has been solved by K. Appel, W. Haken and J. Koch. But what about other mathematicians who have been working on the problem? I imagine one of them outgribing in despair, crying ‘What shall I do now?’ (The Petersan Graph, Holton & Sheehan, p. 154)
Minggu-minggu UAS yang memberiku cukup waktu untuk membaca berbagai kegilaan-kegilaan yang ada di matematika. Mulai dari ketakutan akan adanya akhir dari matematika, sampai cerita kematian Archimedes, Hypatia, Galois, Descartes yang tidak biasa. Dari sejarah hidup yang kubaca, kehidupannya ngga ada yang normal, bahkan waktu baca buku A Man Who Only Know Numbers, Erdos dikisahkan memanggil anak kecil dengan sebutan, ‘Epsilon.’
Benang merah yang kutangkap dari kisah para matematikawan besar tersebut adalah ketertarikannya pada berbagai macam bidang yang tidak terbatas pada math. Bukan hanya merambah fisika, yang masih kerabat dekat, namun juga masalah hukum, dan seni. Aku jadi membandingkannya dengan keadaan meja belajarku yang sekarang dipenuhi berbagai jenis buku, mulai aljabar, graf, politik, hingga buku cerita Tantangan Naga.
Rutinitas akhir semester, berbagai tugas, ujian numpuk jadi satu. Buku politik untuk mengerjakan tugas hukum perburuhan, buku cerita untuk mengimbangi isi otakku, dan buku-buku matematika untuk hiburan. Parahnya, ketertarikanku akan masalah ekonomi-politik agak berkurang belakangan ini. Gara-garanya aku melihat segalanya serba tidak teratur. Tema yang masih menarik adalah budaya, termasuk tulisan Mathematic of Love-nya Gottman yang memodelkan hubungan yang langgeng dalam persamaan diferensial. Tapi aku baru baca artikelnya doang, belum liat persamaannya secara langsung. Jadi dari model yang dibuat itu, bisa dilihat seseorang itu cocok apa ngga, dan hubungannya bakalan langgeng apa ngga.
O iya, harusnya aku ngerjain TA-ku, tapi karena alasan teknis akhirnya rada2 deadlock. Hmm... biar ngga blank-blank banget, aku akan menjelaskan beberapa konsep yang digunakan untuk bahan TA 2-ku. Karena aku bermain di wilayah analisis numerik, jadi aku terlibat dengan tema-tema keterhinggaan, terukur(measurable), syarat nilai batas, konsep penjumlahan(menggunakan konsep integral Lebesque), konvergensi(khususnya teorema Bolzano-Weierstrass yang menyatakan barisan terbatas dari bilangan riil memiliki sub-barisan yang konvergen), dan beberapa teorema lainnya.
Setelah kemarin tenggelam dalam buku Smoller, sekarang buku acuanku Theory of Functions of Real Variable-nya Natanson. Penampilan bukunya rada ngga menyenangkan, pertama karena umurnya yang udah rada tua(tahun 1961). Kedua, karena buku tersebut merupakan buku terjemahan dari bahasa Rusia ke Inggris, sehingga notasi-notasinya banyak yang belum aku kenal. Untungnya, buku itu dilengkapi index, jadi dengan mudah aku bisa menemukan apa yang kucari.
Seharusnya ceritanya happy end: akhirnya Yuti berhasil mengisi bolong-bolong yang ditinggalkan buku Smoller, tapi ternyata ngga semudah itu. Dari bab yang kuperlukan, dibutuhkan informasi dari bab-bab sebelumnya. Dan aku mulai curiga, buku ini bukan untuk S1, makhluknya banyak yang aneh dan belum dikenal. Sekarang aku lagi membaca-baca masalah keterukuran(measurable), dan kayanya aku lagi senang dengan perspektif historis.
Di buku Natanson, ukuran(measure) dinyatakan sebagai perumuman konsep dari panjang selang, luas bidang, volume dan lain sebagainya. Pembahasannya menggunakan notasi sigma, yaitu dengan menjumlahkan selang-selang dengan ukuran delta yang merupakan sub-selang dari sebuah selang tertentu. Setelah mempelajari himpunan terukur, aku mempelajari fungsi yang terukur. Poin yang penting dari sini adalah jika barisan fungsi terukur f1(x),f2(x),...(*) terdefinisi dan terhingga hampir seluruhnya(definisi hampir seluruhnya: dibagian yang tak hingga, ukurannya nol), maka barisan (*) konvergen terukur ke fungsi f(x).
Setelah bermain-main dengan penjumlahan manual per bagian, sekarang akan dikenalkan konsep penjumlahan yang lebih canggih: integral. Notasi cacing integral dipopulerkan penggunaannya oleh Leibniz. Hmm... oke deh bukan cacing, tapi berasal dari huruf S yang ditarik-tarik sehingga jadi mirip cacing, dari kata summa atau summatio(Latin), yang artinya jumlah atau penjumlahan. Sebagaimana kaidah-kaidah matematika yang senantiasa memiliki invers(caiyo yut sekalian review alin, sifat-sifat sub-ruang), integral juga memiliki invers, yakni diferensial. Hasil pendiferensialan disebut turunan. Turunan merupakan laju perubahan terhadap acuan tertentu, seperti sekian kilometer per jam mengacu pada perubahan tempat(delta x). Integral terhadap turunan tersebut adalah jumlah kilometer yang ditempuh.
Integral yang biasa digunakan adalah integral Riemann yang fungsinya dipetakan ke sumbu-x. Namun integral Riemann ini bisa bermasalah, contohnya ketika menghadapi fungsi Dirichlet, yang terdefinisi di selang [0,1] dengan sifat sebagai berikut: bernilai 1 jika rasional dan bernilai 0 jika irasional. Dengan mengambil suatu selang yang sangat kecil(lebih kecil dari epsilon), kita akan senantiasa menemukan nilai bawah dan nilai atas yang berbeda, yaitu 1 dan 0. Dengan demikian, integral Riemann tidak berlaku.
Untuk menutupi kekurangan ini Lebesque memperluas konsep integral untuk kelas fungsi yang lebih luas, yaitu dengan membagi selangnya di sumbu y dengan memasukkan semua nilai dari fungsi f(x). Jika kita konstruksi tiap selang dari himpunan e_k(selang-selang berukuran kecil), maka kita peroleh setiap x merupakan elemen dari e_k, meski nilai tiap x bisa berbeda jauh satu sama lain. Keberhasilan konsep integral Lebesque dapat dilihat dengan membandingkan nilai atas, dan nilai bawah(nilai y saat k, dengan nilai y saat k+1), yang hasilnya ternyata sama. Hipi...
Dengan demikian kita peroleh fakta bahwa tiap fungsi terukur terbatas dapat diintegralkan dengan menggunakan konsep Lebesque(in the Lebesque sense, maaf mesin terjemahannya kacau:D).
Coming up next....
The spaces L and l
Helly’s theorem(and a little bit about Cantor set)
Friday, December 16, 2005
Untitled
[15/12/05 10:35]
Beberapa jam menjelang ujian akhir ks diskrit...
Bingung juga mau belajar apa, tema besarnya tentang Cycle Double Cover Conjecture. Asyiknya belajar graf, mirip mecahin teka-teki. Banyak gambarnya lagi, misalkan untuk graf planar kubik, terlihat bahwa masing-masing edge-nya berada di dua face, dengan masing-masing face-nya diwakili oleh sebuah cycle. Jadi kita selalu bisa memperoleh cycle double cover. Trus untuk graf yang Hamiltonian, kita senantiasa bisa menuliskan edge-edgenya dalam kombinasi x, y, z dimana masing-masing edge yang bertetangga tidak memiliki nama yang sama. Pengembangannya ke Indonesian graph, dimana masing-masing pulau digambarkan sebagai graf yang chord-nya dilewati dua kali dan cycle-nya dilewati hanya sekali. Hehe.. kalo dituliskan kaya gini kebayang ngga ya? Soalnya sekarang kepalaku mulai terbiasa dengan visualisasi-visualisasi abstrak...
Menarik juga main-main kaya gini, dan nyambung dengan ide membuat tulisan matematika populer. Alasan pertama, aku salut banget dengan gebrakan yang dilakukan oleh Yohanes Surya dalam bidang fisika. Target Nobel 2020, pembuatan buku komik Archie dan M...(?), komunitas, kerjasama, mencari bibit ke daerah-daerah, serta peningkatan frekuensi tulisan fisika populer di media massa. Okelah math memang ngga ada Nobel-nya, tapi kan masih ada Field. Sedikit pembenaran, fisika banyak nyerempet masalah filosofis dengan teori-teori yang berkaitan dengan permulaan alam semesta, tapi math juga ngga kalah koq dengan adanya teorema Godel dan pemikiran-pemikiran klasik Descartes. Jadi kurang apalagi ya?
Dari beberapa pengalaman di kereta maupun kenalan dengan orang ngga di kenal. “Udah kuliah ya?” “Iya,” jawabku. “Kuliah dimana?” “Di Bandung.” “Jurusan apa?” “Ehm, matematika.” “Wah pinter dong. Lulusannya nanti jadi dosen atau guru ya?” Menjawab sambil sedikit defensif, “Ngga koq, kebanyakan lulusannya kerja di perbankan.” “Ooo..”, yang panjang. Pengalaman lain di kampus, “Wah, koq jalannya lemes banget,” ujar seorang bapak-bapak dengan rambut memutih dan membawa tas hitam yang disampirkan ke pundak. “Memangnya jalan yang semangat seperti apa, Pak?” balasku karena merasa jalanku biasa aja. “Mahasiswa harus semangat, masa jalannya lemes. Harus banyak senyum juga.” Karena keadaannya udah ganjil, sekalian aja aku nyengir sambil mengangkat jari telunjukku dekat muka, “Ini senyum, Pak.” “Tadi kan ngga. Jurusan elektro ya?” “Ngga Pak, jurusan matematika.” “O.. pantes.” “Haa... pantes kenapa Pak?” “Pantes jalannya lemes, pusing kebanyakan ngeliatin angka.” Waduw...
Pengalaman paling gress, kemarin siang. Karena udah telat kuliah pilihan, dan ternyata kelas kosong, aku pergi ke sostek. Masuk lewat belakang sambil clingak-clinguk, tau-tau disapa, “Wah mau nyari Noordin Top ya?” “Eh, ngga pak, mau nyari dosen.” “Wah, Noordin Top-nya udah ngga ada.” “Ngga nyari Noordin koq pak, kalo Noordinnya ada kan keliatan ada bekas bom,” sekalian aja aku ikutin flow-nya. “Wah, Noordin sih ngga pernah ngeledakin bom, dia malah nyari orang.” “Wah, kalo gitu saya udah telat ya, Pak?” “Darimana?” “Dari seberang, Pak.” “Orang Sumatra ya?” “Eh, maksudnya sebrang sana, dari GKU,” ujarku sambil nunjuk gedung GKU. “Angkatan 2004 ya?” “Ngga pak, angkatan 2001.” “Wah, kamu awet muda ya?” Aku diem aja sambil cengar-cengir plus melanjutkan clingak-clinguk nyari dosen. Akhirnya aku melihat pak Tedy, “Pak, ke dalam dulu.” “O iya.”
Beres nyerahin tugas, tandatangan, dan tugas buat minggu depan, aku diajak ngobrol lagi. Akhirnya ngomongin masalah pemodelan matematika. Tentang akurasi, hipotesis awal, dan cerita bapak tentang pengalamannya ke daerah-daerah. “Wah, sebenarnya saya mau ngajak kamu ikutan proyek, tapi takut, soalnya kamu perempuan.” Bapaknya cerita tentang pengalamannya ke daerah Kalimantan, dimana orang-orang baru beraktivitas setelah usai menunaikan shalat dhuha, atau masjid-masjid di Lombok yang harus lebih megah dari rumah-rumah di sekelilingnya. Obrolan berlanjut ke masalah anomali dan parameter-parameter yang digunakan. Nyasar ke masalah faktor imajiner(bukan dalam artian akar negatif). “Satu ditambah satu kan dua,” ujarku. “Iya, tapi bagaimana kalau datanya dimasukkan dan output-nya belum keluar tiba-tiba komputernya rusak?” Wah, aku koq jadi keinget ama nasib kucing Schrodinger...
Dari beberapa pengalaman itu, aku jadi beranjak ke alasan kedua kenapa aku ingin membuat tulisan math populer, untuk menyajikan math yang membumi. Maksudnya, sedikit banyak kesan angker di math adalah akibat stigma yang ada sebelumnya. Aku termasuk orang yang beruntung karena memperoleh guru-guru yang asyik pas di sekolah, tapi bagi anak-anak yang dapat guru-guru kaya monster kan gawat juga. Meski sampai sekarang math yang paling asyik mungkin arahnya ke teka-teki. Salah satu contohnya teka-teki Einstein, dimana ada 5 rumah bertetangga dan memiliki hewan, warna,...., ...., ... trus nanti disuruh nunjukin rumah mana punya peliharaan apa, warna apa dll(udah agak lupa). Kemarin juga sempat nyari-nyari di wikipedia tentang Game Theory yang penerapannya menghasilkan Nobel Perdamaian. Kayanya untuk langkah awal, aku mau nulis tentang itu.
Alasan ketiga, sebagai penebusan dosa sekaligus pembuktian bahwa aku anak math. Waktu ketemu kang Budhiana aku ditanya kapan nulis lagi. Aku jawab, “Wah, belum sempat lagi Kang.” “Nulis tentang matematika dong, trus nanti dikirim ke Cakrawala.” “Kayanya saya lebih jago nulis tema yang lain deh kang,” ujarku sambil nyengir. Trus waktu mau seminar, minjem alat ke kang Juandi. “Wah, koq tulisannya udah jarang nongol?” “Ehh...” speechless. “Nulis, tentang matematika dong.” “Susah kang, ngga populer.” “Kalau ditulis dengan bagus kan bisa jadi populer.” Hmm... it’s a great idea actually...
(judul awal untuk tulisan ini, math asyik. Tapi belakangan aku berpikir kata matematika aja udah bikin orang-orang mundur beberapa langkah. Seperti protes beberapa pengunjung blog ketika aku lagi seneng nulis masalah shock wave. Hmm.. gimana ya bikin tulisan math populer yang enak dibaca?)
Tuesday, December 13, 2005
Blank!!!
Tersembunyi dalam ruang-ruang yang memakan pikiran
Tak terasa aku sudah sampai dipersimpangan jalan
Berlari, atau hanya melangkah pelan?
Tuesday, December 06, 2005
Hujan
Aku? Sedikit basah, tapi senang. Pada kuyup alam, bau tanah, dan air yang berlarian di jalan...
Monday, December 05, 2005
(Pra) Seminar
Aku pernah mendengar quotes seperti itu. Yah... anggap aja kata-kata itu bebas gender, jadi berlaku juga untuk woman. Aku harus seminar.... hihi... ngga kebayang menggunakan baju rapih dan berbicara serius. Latihan seminar pertama di rumah aja dimulai dengan adegan ketawa selama beberapa menit, dan akhirnya penonton bubar. Latihan kedua di depan teman, yang berujung pada sesi tanya jawab. Enaknya tanya jawab, alurnya dipegang orang lain, jadi ngga terlalu keliatan cara berpikirku yang lompat-lompat. Latihan ketiga di depan dosen. Mana langsung pake timer lagi, kan bawaannya jadi rada serius. Asli, latihan Jum'at kemarin hasilnya kacau banget. Untung dosenku baiiiiikkkk banget jadi ngga komentar apa-apa tentang gaya ngomongku yang belepotan. Latihan ke empat di depan dosen, aku udah bawa naskah untuk dibaca, tapi tetep aja ngga beres. Hehehe... senengnya punya dosen yang baik...
Kalau ditanya, seneng ngga seminar? Jawabannya pasti engga banget. Suasana formalnya bikin serem. Tapi kayanya asyik juga dapat pengalaman baru. Pas tadi latihan di depan dosen, sampai diajarin kata terimakasihnya segala. Kayanya kalau pola pikir di otak sudah terstruktur segalanya jadi tampak seperti pola, beda banget dengan isi otakku yang belepotan.
Hmmm... H-4 nih... Rabu latihan lagi:D
Friday, November 25, 2005
Senyum
Langit masih gelap pikirku. Mata pun berat peninggalan mengerjakan tugas semalam. Namun jam dinding, seakan menatap tajam, menyuruhku untuk segera bergegas. Di luar rintik tampak menyium tanah. Menebarkan semerbak bau khas hujan. "Hei, ayo ambil handuk dan bangunkan segenap kesadaranmu" sebuah suara mengingatkanku. "Kau layak untuk tidak masuk. Sekali ini saja," timpal sebuah suara. Meski dengan ogah, aku berhasil memaksa diriku melakukan ritual berangkat kuliah.
Jalanan macet. Mobil tampak enggan untuk beranjak, hanya merayap pelan. Sambil mengawasi jam tangan, kucoba mencari sejengkal ruang. Untung saja masih ada celah untuk berjalan. Setiba di Salman, jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, mentari pun masih enggan menampakkan diri. Dengan semangat hanya setengah kulangkahkan kaki ke ruang kuliah.
Berjalan, sambil mencari bayangan-bayangan menyenangkan, akupun menyusuri setapak di depan gedung kayu. Tiba- tiba seseorang menyapa, dengan kedua tangan disatukan membentuk salam, dan sebuah senyum terulas di bibir. Ah, dunia ini masih hangat menyapa...
The One
(Diany, Bella Donna the Wedding Magazine)
Quotes yang aku ambil dari blog-nya yustika. Kata-kata itu masih ada kaitannya dengan percakapanku dengannya di Gramedia selasa lalu. Imaji akan 'the one'... Sebuah gambaran yang bermain-main di benak, tertawa, berlari-lari meninggalkan sebuah pertanyaan yang tak juga terjawab. Mungkinkah gambaran itu silih berganti, menyajikan rupa satu dengan yang lainnya, hingga ketika tiba saatnya imaji itu akan mewujud menjadi sosok yang utuh? Sebuah pilihan objektif berdasarkan sederet kriteria, atau kriteria menjadi tiada ketika menemukan orang yang mampu mengisi ketidakutuhan diri?
Masih meraba-raba, dan sempat juga terluka. Ternyata jatuh cinta tak hanya memberi satu warna. Mungkin memang belum saatnya, meski kini semua tampak berbeda. Memulai dari awal, belajar, dan mencoba menikmata semesta rasa.
Wednesday, November 23, 2005
Algoritma
Pagi-pagi cari koran, kalau beritanya menarik, baca, jika tidak, mulai menyalakan komputer. Kalau milih baca koran, akan terjadi iterasi yang berpatokan pada waktu dengan kriteria penghentian jika tidak ada lagi berita yang menarik atau waktunya lebih besar daripada setengah jam. Kalau pilihannya tidak, maka mulai memasang kriteria penghentian kerja berdasarkan waktu. Kalau mau 1 jam, pilih satu folder musik saja kemudian pasang di winamp. Selanjutnya mulai menyalin notasi-notasi yang ada di kertas kotretan dan buku teks ke LaTex. Jika penurunan rumusnya sudah rapih, dan tidak loncat-loncat, maka bisa langsung diketik. Tapi jika tidak, buka buku teks dan cari teorema, lemma, maupun definisi yang mampu menerangkan bolong-bolong pada pembuktian rumus. Pencarian informasi di buku juga ada metodenya, mulai, lihat index, kalau bukunya tidak memiliki indeks maka lihat di daftar isi. Nah, kalau musiknya sudah habis, ada dua pilihan, terus atau berhenti.
Huahaha... hasil keracunanku akan struktur.
Rubah
Maka Pangeran Kecil pun menjinakkan si Rubah. Dan ketika saatnya untuk pergi telah menjelang, inilah yang terjadi.
“Oh!”, isak si Rubah. “Aku akan menangis.”
“Ini salahmu sendiri,” kata Pangeran Kecil. “Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Tapi kau sendiri yang memintaku menjinakkanmu.”
“Aku tahu,” jawab si Rubah.
“Dan kau tidak memperoleh apa-apa dari semua yang terjadi ini!”
“Tidak, aku sudah memperoleh sesuatu darinya,” bantah si Rubah, “yaitu kenangan atas warna ladang jagung.”
(Rubah dan Pangeran Kecil, Exupery)
NB: ngga tau rasanya bakal sesedih ini, tampaknya aku harus belajar banyak dari si rubah...
Monday, November 21, 2005
Kucing Schrodinger
“Kucing ini ditempatkan di boks tertutup bersama sebuah kapsul berisi racun sianida, dan sebuah pemicu yang aktif ketika satu isotop radioaktif menembakkan sebuah elektron. Peluangnya fifty-fifty. Apabila elektron mengenai tombol on, maka kapsul itu pecah, dan kucing mati. Kalau elektron tidak menyentuh pemicu itu, si kucing tetap hidup. Dalam waktu satu jam, baru akan ada pengamat yang membuka boks dan melihat hasilnya. Pertanyaannya, apa yang terjadi pada si kucing selama selama boks itu tidak dibuka?”(taken from Supernova, Dee, h.157)
Dalam versi yang lebih formal, elektron, sebelum fisikawan menentukan bagaimana menelilitinya, elektron itu bukan gelombang bukan pula partikel. Ia berada dalam keadaan setengah partikel-setengah gelombang. Kondisi antara. Hahaha, dasar pecinta relativitas! Semuanya dipandang sebagai keadaan eksperimental. Kehidupan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman subjektif. Lucunya, meski matematika selalu dikelompokkan pada ilmu pasti, wacana yang keluar dari matematikawan lebih banyak yang bersifat informal. Masalah finite-infinite, limit, hampiran, peluang, persamaan-persamaan yang disusun untuk membuktikan teorema dan dipertahankan berdasarkan kegunaan dan keindahannya. Geometri euclid-non Euclid merupakan salah satu contoh menarik dimana ‘penemuan’ ruang melengkung tidak merubuhkan fondasi sebelumnya, melainkan memberikan sebuah dimensi baru.
Kayanya aku mulai keracunan buku matematika deh. Abis ternyata buku-bukunya asyik, dan karena gaya bekerja otakku yang divergen, aku ngga pernah puas baca dari satu buku. Alhasil bukannya maju, bahan-bahan yang kuperoleh malah makin melebar. Bener-bener menarik. Gimana ya meyakinkan orang bahwa sesuatu itu menarik. “Eh, lihat deh, menarik kan” atau “Masa kamu ngga percaya ini menarik. Lihat nih, dari kenyataan bahwa dia memenuhi fungsi Lipschitz, maka maka fungsi tersebut kontinu seragam.” Ok, deh, kayanya aku agak yakin, kalau aku gagal meyakinkan orang bahwa apa yang kukerjakan ini menarik. Menarik apa ngga hanya bisa dirasakan, sama kaya aku bilang kalo es krim itu enak. Kali aja, aku ngomongnya ke orang sakit flu yang mendengar kata es langsung bersin-bersin.
Lagi-lagi balik ke masalah relatif. Aku pikir pengetahuan akan perbedaan seperti ini bisa membuat seseorang semakin bijak. Dosen fisikaku pernah cerita, Fermi paling senang memberi soal terbuka yang jawabannya bisa beragam. Perbedaan itu suatu hal yang ngga terhindarkan, dan itulah yang membuat dunia ini warna-warni dan indah. Parahnya, ketika segala hal menjadi relatif, dimana letak kepastian? Apa jadinya hidup ketika segala sesuatu yang kita jalani, bisa berubah secara drastis tanpa ada indikasi terlebih dahulu?
Seperti ketika menunggu. Beralihnya detik dan menit menjadi suatu hal yang menyiksa karena diliputi ketidakpastian. Meski saat-saat menunggu bisa diisi dengan hal-hal kecil, seperti membaca, namun hal paling menyebalkan dari menunggu adalah berada dalam kondisi antara, tidak jelas. Menunggu dalam tahapan eksistensi sudah cukup parah, namun dalam tataran esensi dampaknya bahkan lebih besar. Untuk mengurangi dampak ini kondisi antaranya diperpendek saja.
It’s time to take a control of my life. Kayanya aku harus mulai menyusun langkah-langkah strategis satu tahun ke depan. Berhenti bermain-main, dan mulai agak serius seperti orang dewasa. Gara-gara kemarin abis baca buku Little Prince untuk yang kesekian kali, aku jadi mulai teracuni untuk membuat dikotomi antara anak-anak dengan orang dewasa. Abis... dari kacamata Little Prince kehidupan orang dewasa sangat membosankan, seperi menghitung jumlah bintang di langit(bagiku analog dengan orang-orang yang bahagia melihat jumlah uangnya di deposito), penjaga lampu dengan kerjaan yang monoton, bahkan orang dewasa tidak ‘mau’ mengerti gambar ular sawa memakan seekor gajah. Ugh...
Wah, aku jadi orang cupek deh. Sama seperti saat ada orang yang bilang, “Semua orang adalah pembohong.” Kalimat itu tidak bisa ditentukan nilai kebenarannya. Kalau kalimat itu bernilai benar, maka orang itu pembohong, dan kalau dia pembohong maka kalimatnya bernilai salah, kontradiksi. Senada, kalau aku bilang ada orang yang pikirannya cupek, karena dia keras kepala dalam berdiskusi. Pikiranku yang bilang dia cupek, sudah membuktikan kalau aku cupek juga.
Sebenarnya aku beruntung karena bisa bertemu orang-orang yang benar-benar menyukai apa yang mereka lakukan. Awalnya rada tidak terbayang membicarakan integral Lebesgue serupa dengan membicarakan Harry Potter. Tapi lagi-lagi semuanya masalah konsep. Logika disusun berdasarkan konsep-konsep, sehingga kalau ada sesuatu yang janggal, kejanggalan itu tidak berarti karena ketidaksesuaian dengan keadaan riil, melainkan dari susunan logika yang dibangun. Dalam kasus Harry Potter misalnya, menjadi janggal ketika permainan Quiditch terdiri dari dua atau lebih golden snitch.
Bagiku, dalam dunia yang penuh ketidakpastian ini, manusia tetap membutuhkan sebuah pegangan. Pedoman yang mampu membuat seseorang tetap waras dan menjaga agar segala sesuatunya tidak menjadi chaos dan berujung pada catastrophe(dalam konteks sosial; bukan dalam sejarah semesta). Hmm... kayanya aku keracunan filsafat, bukan matematika. Harus kembali ke jalan yang benar nih...
NB: masih mencari cara agar ‘the story of small things’(partisi dari integral) tidak membangkitkan sense filosofisku ;( Ada yang lucu, dalam pembuktian yang tengah aku garap, berulang kali partisi-partisinya harus dibuktikan konvergen, padahal pola berpikirku divergen banget. Apa gara-gara ini ya, TA-ku ngga beres-beres? ;p
Wednesday, November 16, 2005
Meta-Matematika
Aaargh! Waktu bangun tadi pagi kata pertama yang melintas di kepala adalah uniform convergence. Gawat, aku udah keracunan rumus-rumus nih, masa sampai bangun tidur otaknya masih mikirin persamaan-persamaan lucu? Mungkin karena sebelum tidur aku sibuk ngotak-ngatik lemma yang pembuktiannya masih bolong-bolong dan tidur dalam kondisi masih penasaran. Asyik juga kali ya, kalau aku bisa mengatur alam bawah sadarku untuk mengerjakan persamaan-persamaan rumit. Tau-tau bangun dalam keadaan segar, dan langsung cerdas. Hehehe...
Kayanya ada deh cara untuk memprogram alam bawah sadar, tapi caranya dilakukan dalam keadaan sadar. Jadi mengerjakan TA dalam keadaan tidur kayanya belum mungkin. Ntar aku cari lagi referensi tentang pikiran, beberapa hal yang aku tahu adalah lagu berpengaruh terhadap denyut jantung dan penerimaan informasi. Trus dari Marketing in Venus, aku menemukan informasi menarik, 80% reponden sebuah penelitian yang dilakukan sebuah merk HP, denyut jantungnya meningkat ketika mendengar suara sms masuk. Huahaha... kayanya aku juga termasuk yang 80% itu deh.
TA..TA... ada yang bilang kalau kebohongan yang diucapkan berulang kali bisa jadi kebenaran. Aku juga sekarang lagi melakukan hal itu, menyebut TA banyak-banyak agar bisa cepet beres. Udah lumayan berhasil, bahkan menjajah dunia mimpi segala, tapi dalam keadaan sadar malah pikiranku jalan kemana-mana. Salah satu caraku menganalisis apa yang sedang kupikirkan tanpa sadar adalah dengan mengingat-ingat apa yang aku impikan semalam, dan TA ternyata sudah masuk daftar prioritas. Jadi sekarang saatnya untuk ngomongin TA (lagi).
Hmm... sekarang enaknya dilihat dari sisi mana ya? Kayanya melihat hubungannya dengan realitas fisik lumayan menarik. Karena TA-ku menggunakan pendekatan numerik untuk membuktikan persamaan diferensial, maka ada pertanyaan-pertanyaan menarik yang muncul. Apakah pendekatan yang aku gunakan sudah memadai untuk menjelaskan kondisi fisik? Sejauh apa kestabilan pendekatan yang aku gunakan berlaku? Syarat-syarat apa saja yang menjamin kestabilan tersebut? Apakah solusi yang aku peroleh tunggal?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu aku memiliki sebuah teorema yang berisi persamaan-persamaan diferensial. Nah, yang harus aku lakukan adalah melakukan diskretisasi, kemudian menurunkan estimasi untuk skema beda hingga. Caranya adalah dengan memartisi integral menjadi bagian-bagian kecil yang ukurannya mendekati nol(aku termasuk tipe yang ngga bisa pisah dengan penggambaran fisik), kemudian secara induktif akan dibuktikan bahwa tiap partisinya memenuhi kondisi-kondisi yang ada dipersamaan diferensialnya.
Sebagai contoh, aku harus membuktikan solusi hukum kekekalanku terbatas di lapangan real. Untuk menunjukkan hal ini secara numerik, aku menggunakan skema beda hingga Lax-Friedrichs yang memenuhi kondisi entropi diskrit dan konvergen. Syarat yang harus dipenuhi dalam pembuktian ini adalah skema numerikku harus memuat persamaan diferensialnya, keadaan ini dikenal dengan kondisi CFL(Courant Friedrichs Lewy). Selanjutnya, aku analisis sebuah partisi, dan buktikan bahwa partisi yang aku amati terbatas, kemudian secara induktif aku tunjukkan bahwa partisi yang lain juga terbatas.
Terlihat sederhana di awal, tapi ketika sudah masuk lebih dalam ternyata ada banyak teorema yang harus aku gunakan. Sekarang aja aku udah ngabisin 8 halaman kertas A4 penuh dengan notasi matematik, minim bahasa tingkat tinggi, dan pembuktiannya belum beres, kurang dua lemma lagi. Karena sekarang aku lagi dalam rangka intermezo, maka aku akan mencoba melihatnya dari tingkat yang lebih tinggi.
Keuntungan dalam melihat sesuatu dari tingkat lebih tinggi adalah kita dapat memperoleh gambaran yang lebih utuh, holistik. Seperti daun yang sering disatukan dengan anggrek dalam rangkaian bunga(ngga tau nama daunnya, yang jelas warnanya ijo, gepeng, dan membentuk perulangan pola; salut buat yang bisa tahu daun yang aku maksud ;( ). Jika dilihat dari tingkat satu misalnya, daun itu terlihat jelek, dan tidak teratur. Tapi ketika dilihat dari tingkat 10, daun itu menjadi indah karena hubungannya dengan yang lain. Contoh lain adalah lagu, dimana tiap partitur memiliki keunikkan dan menjadi indah jika dikaitkan dengan yang lainnya. Begitu pula dengan TA-ku, aku selalu berusaha melihatnya dari tingkat yang lebih tinggi, ngga asyik kalau hanya berkutat dengan teorema kekonvergenan seragam, teorema nilai rata-rata, ketidaksamaan segitiga, dan hal-hal teknis tanpa tahu gambaran utuh tentang apa yang aku lakukan.
Bagiku segala hal di dunia ini berkaitan dengan sebuah pemaknaan(hierarki tertinggi pengetahuan: wisdom). Jadi aku masih mencari hal-hal menarik dari apa yang tengah kukerjakan. Arti menarik menjadi cukup relatif, karena segala hal memiliki dimensinya sendiri. Dosenku pernah bilang aljabar dan demokrasi sama-sama abstrak, bahkan bagi dosenku aljabar lebih real dibandingkan demokrasi. Namun umumnya orang-orang lebih fasih berbicara mengenai demokrasi, dibandingkan aljabar. Karena itu sekarang aku tidak terlalu menuntut sebuah gambaran yang jelas fisisnya tapi setidaknya aku memperoleh sebuah pengertian tentang mengenai apa yang aku kerjakan.
Hmm... masih punya pertanyaan besar dalam memodelkan persamaan diferensial dengan syarat nilai batas dengan masalah ketakterhinggaan. Tapi belum punya banyak bekal untuk ngomongin ini, kutunda dulu deh...
Wednesday, November 09, 2005
TA
Di mbah Goo. Search: shock wave+lax friedrichs+pdf. Dapat beberapa artikel menarik. Sambil dibaca sekilas kayanya lumayan rame. Tapi setelah tiga empat kali baca beberapa bahan yang lumayan ngga nyambung langsung dengan bahan TA, aku mencoba cara lain. Pilih bahan yang formatnya presentasi. Harusnya dengan cara ini bisa lebih mudah, dan jauh lebih cepat. Ternyata hasilnya sama aja, mana bahan presentasinya ada yang sampai 64 slide, gila berapa lama tuh presentasinya ;(
Di rumah udah sempat latihan presentasi. Karena berkaitan dengan gelombang, ibuku bisa sedikit menjelaskan masalah diskontinuitas. Tapi melangkah pada masalah-masalah teknis dan analitis, penonton hanya terpaku diam. Mana di awal presentasi aku mulai ketawa mendengar suaraku sendiri. Oh, no... GAWAT. Trus karena ngga ada pointer supaya gaya, aku ganti aja dengan menggunakan senter. Hua..ha..ha... presentasi yang makin kacau. Masalahnya menjelaskan masalah-masalah analitis ternyata rumit. Hukum kekekalan misalnya, benar-benar didefinisikan dalam bentuk persamaan. Kan ngga lucu kalau aku bacain persamaannya satu per satu.
Ulasan yang aku peroleh dari percobaan presentasiku adalah alurnya lumayan dipahami(hmm.. tapi kayanya itu hanya karena pada bagian akhir aku menyebutkan tahap pengerjaan). Uaghhh.. masih harus mencari cara penyampaian yang lebih baik, dan terutama cerita yang mudah dipahami. Kata dosenku target penontonnya mahasiswa tingkat 3. Gimana ya?
Kelinci percobaan pertama blog aja deh. Latar belakang dari TA adalah merekonstruksi masalah analitis melalui pendekatan numerik. Umumnya, numerik hanya digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah-masalah analitis. Nah, yang sedang aku coba kerjakan adalah melakukan analisis numerik untuk membuktikan eksistensi solusi entropi. Solusi entropi ini adalah solusi yang memenuhi kondisi entropi dan memiliki korespondensi dengan realitas fisik dalam permasalahan shock wave.
Wah udah mulai lumayan ribet. Shock wave sendiri didefinisikan sebagai solusi diskontinu dari hukum kekekalan, atau ada juga yang menerjemahkannya sebagai sebuah fungsi yang memenuhi kondisi lompatan Rankine-Hugoniot dan persamaan hukum kekekalan. Kondisi lompatan Rankine-Hugoniot ini diperoleh dari persamaan hukum kekekalan yang dikalikan dengan fungsi tes terhadap ruang-waktu, atau dikenal dengan solusi lemah hukum kekekalan.
Sebelum melangkah pada pembuktian metode numerik melalui beda-hingga, daerah beda-hingga yang dipilih harus memenuhi syarat kondisi CFL(Courant Friedrichs Lewy) yaitu skema numeriknya memuat persamaan diferensial. Kemudian, selanjutnya harus dilakukan berbagai macam uji, seperti masalah keberhinggaan, konvergensi, stabilitas dkk. Hmm... still a lot of work to do..
Tuesday, November 08, 2005
Jendela yang Terbuka
Ini pengalaman yang pertama kalinya, dan yang terpikir di kepalaku bagaimana jika aku menaruh amplop saja di depan kamarku. Ide yang mungkin merupakan gabungan rasa kasihan, marah pada sistem ataupun sebuah usaha penyelamatan diri yang naif. Karena kejadian yang baru ketahuan Sabtu(05/11) lalu itu pulalah, beberapa kali aku berusaha menghindari koran, dan berita, karena malas dihadapkan pada kondisi masyarakat yang kian memprihatinkan.
Sebelum krisis ekonomi pasca kenaikan BBM, semuanya tampak masih bisa ditangani. Aku tahu hidup susah ada diluar sana, tapi mungkin belum sampai pada tingkat akut. Ingin rasanya berbuat sesuatu, tapi aku tidak tahu apa. Akhirnya aku memilih untuk menenggelamkan diri pada hal-hal yang sepenuhnya abstrak dan mungkin juga ideal, yaitu konsep-konsep sains.
Kadang aku berpikir untuk menutup mata saja terhadap segala hal yang ada di luar sana, tapi selalu gagal. Ah, koq jadi gelap gini...
Bapak tua yang menjual sapu...
Maling yang membongkar celengan dan mengambil tiga ribu rupiah...
Mystery
--Heisenberg, uncertainty paper, 1927 (AIP.org)
Gödel's second incompleteness theorem states that if number theory is consistent, then a proof of this fact does not exist using the methods of first-order predicate calculus. Stated more colloquially, any formal system that is interesting enough to formulate its own consistency can prove its own consistency iff it is inconsistent.(mathworld.wolfram)
Dark matter refers to hypothetical matter particles, of unknown composition, that do not emit or reflect enough electromagnetic radiation to be detected directly, but whose presence can be inferred from gravitational effects on visible matter such as stars and galaxies.(wikipedia)
Monday, November 07, 2005
Dongeng Semesta
Apa yang membedakan sebuah dongeng dengan sejarah? Bukankah keduanya diceritakan turun temurun dan memiliki kemungkinan distorsi yang sama besarnya? Bahkan terkadang dongeng bisa jauh lebih akurat dibandingkan sejarah(baik sains maupun sosial). Ngga percaya? Oke, cari dua anak kemudian tanya tentang cerita Cinderella, aku (lumayan) yakin garis besarnya sama. Kemudian bandingkan dengan pertanyaan mengenai fisika klasik Newton, atau kalau mau yang lebih kontroversial, mengenai evolusi Darwinian, rasanya distorsi untuk jawaban bagi pertanyaan kedua akan lebih besar.
Hehehe… aku tahu ngga boleh sembarang bikin pembuktian seperti diatas, banyak celah-celah yang bisa diserang. Namun melihat perkembangan saintis kelas tinggi, kebanyakan teori-teori memang disusun berdasarkan positivisme logis dan estetika. Teori superstring misalnya, disebut-sebut to good to be false, dan salah satu landasan dari teori tersebut adalah konsep supersimetri. Hal senada aku temukan dalam sebuah tulisan tentang alasan Coperniccus merombak tatanan tata surya Ptolemi yang rumit, alasannya estetika. Tentu saja, estetika yang dimaksud oleh orang-orang hebat itu memiliki dimensi keindahan tersendiri(yang mungkin tetap tampak mengerikan bagi orang awam sepertiku ;p).
Faktor estetika itu juga aku temukan dalam Matematika terbitan Life melalui bangunan-bangunan Yunani yang memenuhi perbandingan emas, maupun musik, lukisan, dalam tulisan Benno. Hmm.. karena itu untuk sementara aku ikut pendapat Chomsky yang menyatakan ada sejenis tata bahasa universal yang tertanam dalam otak kita(bertentangan dengan prinsip tabula rasa-nya Locke). Pendapat yang mirip juga pernah aku baca dari Aquinas yang bilang, Tuhan senang dengan segala sesuatu yang proporsinya tepat.
Apakah estetika suatu hal yang objektif? Ting.. tong.. ini baru pertanyaan besar. Selfish gene-nya Dawkins versus antichaos-nya Kauffman, kedua-duanya disajikan logika yang cukup ketat meski masih memberikan celah-celah untuk diserang. Simulasi komputasi golongan Santa Fe yang masih dipertanyakan korespondensinya dengan dunia nyata, dan berbagai macam model lainnya yang digunakan untuk menjelaskan fenomena alam semesta. Keindahan persamaan, ekstase informasi, namun bagaimana hubungannya dengan dunia nyata?
Aku jadi lumayan mengerti kenapa ada orang-orang yang menolak kemapanan seperti Chomsky ataupun Feyerabend. Meskipun kedua tokoh tersebut dalam buku The End of Science digambarkan secara paradoksal. Chomsky misalnya, menyatakan “apa pun posisi kemapanan, saya menentangnya(h.200)”, padahal Chomsky merupakan pakar linguistik yang mau tak mau berkaitan dengan struktur. Analog dengan golongan Non-Blok dalam dikotomi Barat dan Timur. Dalam pandangan biner, non-blok mungkin berarti tidak termasuk sistem, namun dalam konstalasi politik, kelompok non-blok merupakan salah satu golongan, seperti halnya Barat dan Timur.
Parah… baca buku itu pikiranku lebih banyak mengawang kemana-mana. Alam semesta yang jamak atau tunggal, keberadaan makhluk berkesadaran selain manusia, evolusi. Bagiku evolusi tidak sekadar berbicara mengenai rantai yang hilang, namun juga pembentukan alam semesta ini serta perkembangan alam semesta yang dipercepat.
Fiu..h dongeng yang satu ini sangat tidak mudah dicerna, namun memiliki pengaruh yang sama dengan dongeng klasik: very amazing. Menakjubkan mengetahui manusia benar-benar makhluk kecil yang tidak ada apa-apanya di tengah jagat galaksi. ‘Kemarin’ ikut diskusi tentang kosmologi, dan dikasih liat gambar galaksi Bima Sakti ditengah galaksi-galaksi lain. Benar-benar ngga memiliki posisi istimewa.
Udah ah, daripada diprotes orang karena menganggap sains yang dibahas secara serius sebagai dongeng, aku beralih ke Little Prince aja. Kadang orang dewasa ngga asyik karena sering menyebut planet dengan angka, padahal banyak banyak hal lebih bermakna lain yang bisa disebutkan. Mungkin begitu pula dengan dongeng sains yang disampaikan oleh Horgan, orang dewasa masih tetap senang dengan angka-angka dan persamaan yang canggih, tapi sekarang mereka menulisnya dengan mengingat masa kecil mereka, karena itu mereka mulai menulis kisah-kisah tanpa persamaan.
NB: sekadar corat-coret iseng untuk mengisi liburan, ditulis dari sudut pandang orang awam(status mahasiswa matematika-nya sedang off ;p)
Tuesday, November 01, 2005
Kepada Seorang Kawan
bahkan Tuhan pun mau memaafkan
mengapa kita tidak?
Andai aku bisa meyakinkan dirimu untukmemaafkanku. Alasan demi alasan yang kuharap mampumeluluhkan hatimu. Ramadhan yang mendekati usai,ditambah kata-kata yang mengawali surat ini. Namunsetelah segalanya kukemukakan kepadamu, kau masihtetap berhak untuk tidak memaafkan khilafku.Kecewamu akan polahku, kata-kataku yang seringkali tak berkenan, maupun ucapan-ucapan tentangmu yangterlontar tanpa sengaja.
Kau benar ketika berkata, aku tidak tahu bagaimanarasanya. Aku memang tidak tahu. Aku tidak tahuketika polahku, ucapku menancapkan paku-paku dikayu hatimu. Dan meski aku berusaha sekuat tenagauntuk mencabutnya, bekas itu masih ada. Andai mantera waktu itu ada, aku akan membalikan waktu untuk menebus segala kesalahan yang telah kuperbuat. Namun dengan segala lemahku yang bisa kulakukan hanya mengucap maaf.
Aku tahu tiap tahun aku mengucapkan kata-kata inipadamu. Rutinitas tahunan yang mungkin telahmenjadi bagian dari hidupmu, jua hidupku. Tapi meski terdengar sangat klise dan berorde massa(akutahu kau tak suka segala hal yang berbau massa),aku akan terus melakukannya. Tak mudah melakukanhal ini, apalagi dihadapkan pada realitas bahwa oksigen kebencian dan curiga telah begitu meracuniparu-paru kehidupan kita. Meski demikian aku masih tetap berharap suatu saat semuanya akan menjadi lebih baik.
Kawan, apakah satu maafku akan membawa sebuah kebaikan? Hanya kau yang bisa menjawabnya. Ah,bukan, pintaku sama sekali tak ada kaitannya dengan kebaikan, maafmulah yang mampu meredakan ketegangan yang ada. Bahkan kalau kau masih bersikeras untuk menolak permohonanku, aku hanya menduga kau tak melihat perbaikan akan sikapku.
Cukup sulit untuk berubah secara tiba-tiba. Aku memerlukan proses agar lebih menjaga lidahku, sikapku agar tak lagi melukai hatimu. Bahkan, aku tidak bisa memberikan kata-kata, Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku tidak memiliki pengetahuan akan hari esok, aku hanya bisa berdoadan berusaha agar aku bisa menjadi lebih baik darihari ke hari. Sungguh aku hanya seorang manusiayang lemah.Tak ada kebahagian selain ikhlasmu akan khilafku. Hanya kepada Sang Maha Pemberi Ampun kupintakan balasan yang terbaik untukmu.
Salam sayang selalu,
Kawanmu
NB: Taqabalallahu minna wa minkum, shiyaman wa shiyamakum..
Met mudik, hati-hati di jalan
Choose Ur Own Reality!
semua adalah cinta
Kaya candu. Hehe.. ngomongin yang satu ini pasti keinget ama Mbah Jenggot, hmm.. tapi aku akan mencoba menggunakan pendekatan berbeda. Kemudahan akses informasi membawa dampak yang beragam. Salah satunya adalah kemudahan memperoleh informasi yang sulit diperoleh di dunia nyata. Orang urakan yang mengakses situs serius, orang alim yang mengakses situs terlarang, dsb. Hal-hal yang umumnya masih jarang ditemui di toko buku, komunitas punk, disko maupun forum-forum ilmiah. Kemudahan ini juga berakibat pada adanya kecendrungan untuk memilih kenyataan berdasarkan keinginan, seperti morphin yang langsung menyerang pusat kesadaran, begitu pula dengan internet yang memungkinkan seseorang memperoleh langsung hal yang diinginkannya.
Dalam perbincangan dengan beberapa orang, hal ini juga tampak. Ada orang-orang yang hanya mempercayai informasi yang berasal dari koran/majalah A, ataupun hanya membaca buku-buku terbitan B, dan seterusnya. Kalau hanya masalah selera, tidak masalah. Namun masalah seleksi jenis bacaan, koran maupun sumber informasi sudah sampai pada masalah kebenaran sebuah fakta. Yang aku maksud dengan kebenaran sebuah fakta adalah, informasi dengan kategori berita/sejarah bisa berbeda bagi masing-masing komunitas.
Aku menyimpulkan gejala ini sebagai pemilahan terhadap informasi, atau lebih ekstrimnya pemilihan realitas. Di dunia jurnalistik, perbedaan ini tampak dalam jurnalisme perang dan jurnalisme damai. Dalam kasus perang Irak misalnya, CNN menggunakan jurnalisme perang, sedangkan Al-Jazeera menggunakan jurnalisme damai. Yang satu menonjolkan kecanggihan peralatan, seperti smart bomb(it’s still a stupid bomb for me), tank-tank, kegagahan perwira dengan peralatan militer, sedangkan jurnalisme damai menonjolkan korban akibat perang, keluarga-keluarga yang kehilangan sanak saudara, dlsb.
Perbedaan ideologis jurnalistik ini merupakan bagian dari psycologhical war. Pemirsa, khususnya yang memiliki akses ke kedua sumber berita ini, tinggal memilih jenis berita seperti apa yang mereka inginkan. Keluaran(output) dari perang psikologis ini adalah opini publik, pro atau kontra terhadap perang Irak.
Selain perbedaan ideologis, ada satu hal lagi yang tidak terhindarkan dalam industri berita, yaitu proses narasi. Narasi yang meliputi proses editing, penentuan sudut, keterbatasan waktu, tak bisa tidak memisahkan fakta(kejadian yang terjadi sebenarnya, real space-time) dengan apa yang disaksikan pemirsa di layar TV atau pembaca di media cetak. Adanya ‘distorsi’ ini, sedikit banyak mempengaruhi persepsi pembaca akan suatu kejadian. Misalnya peliputan mengenai kenaikan harga BBM yang pada hari-hari pertama menempati headline, harus beralih karena tergusur masalah bom Bali II. Atau karena sempitnya ruang/waktu yang tersedia, sebuah berita hanya bisa menampilkan beberapa sudut(cover many sides).
Karena itu kredibilitas media menjadi hal yang penting, dan lagi-lagi terkait dengan masalah kapitalisme. Siapa pemegang kantor-kantor berita besar dunia? Atau kalau ngga mau jauh-jauh, lihat saja peta percaturan televisi-televisi swasta di Indonesia, mungkin cuma satu yang kepemilikannya berbeda dengan yang lain. Pemecahan pita mobius(pita yang hanya memiliki satu permukaan; terpusatnya sumber informasi di satu orang/kepentingan) itu hanya dapat dengan membuat budaya tandingan.
Kehadiran budaya tandingan ini pada satu sisi dipandang positif(lihat tulisan sebelumnya), namun di sisi lain membawa kita pada jejaring simbol yang sedemikian memusingkan. Baudrillard mengungkapkan serbuan simbol ini sebagai: “terdapat semakin banyak informasi, dan semakin sedikit makna.” Gejala-gejala mabuk informasi ini diungkapkan dengan cukup gamblang oleh Naisbitt dalam buku High Tech High Touch. Manusia memang memperoleh akses yang memadai pada informasi, namun skpetis dalam waktu yang nyaris bersamaan. Keadaan ini meminjam istilah Baudrillard, adalah keadaan hyperreal.
Sudah mulai pusing? Ok, sekarang aku akan mencoba menariknya pada hal yang lebih filosofis(I’m really have to stop this kind of writing and going back to my finite differences reading :-( ). Apa yang membuat seseorang mengakses suatu informasi? Mengapa acara gosip laku(yang terakhir aku tahu jenis acara gosip sudah melewati angka 100)? Kenapa sampai muncul kisah Pandora*?
Dari beberapa literatur, aku memperoleh jawaban bahwa rasa ingin tahu merupakan fitrah manusia. Bahkan kisah nabi Adam pun terkait dengan hal ini. Pertanyaannya kemudian informasi seperti apakah yang mampu memberikan manfaat? Atau pertanyaan yang lebih mendasar, apakah informasi harus memberikan manfaat? Kalau dalam definisi Shannon-Weaver, informasi hanya dipandang sebagai kuantitas yang diukur oleh bit-bit, dan didefinisikan menggunakan ukuran peluang kehadiran simbol-simbol.
Dengan menggunakan sudut pandang tersebut, informasi sangat kuantitatif-materialis. Nilai-nilai etis, manfaat sama sekali tidak masuk hitungan(mirip dengan pro-kontra wacana netralitas sains). Informasi bukan lagi berbicara mengenai manfaat, melainkan diatur mengenai orang-orang yang berada dibelakang teknologi informasi. Kalau dalam revolusi industri, kaum borjuis ditempati oleh para pemilik modal, maka era revolusi industri mengantarkan para teknokrat informasi sebagai penguasa. Meskipun dengan adanya budaya tandingan dan konsep kesetaraan dalam dunia maya, tiap orang memungkinkan untuk memilih kebenarannya sendiri.
Akhirnya semua kembali pada individunya sendiri. Realitas seperti apa yang ingin ia percayai**. Huahaha… jadi posmo begini. Merujuk kata-kata diawal tulisan, semua hal yang kita kodefikasi dalam kepala bergantung pada kacamata/paradigma yang kita gunakan. Di mata para pecinta semua tampak seperti cinta, dan di mata para pencari semuanya tampak sebagai lautan tanda-Nya***.
*) Kisah Pandora merupakan mitos Yunani yang berisi mengenai tokoh Pandora yang dititipi sebuah kotak dengan pesan jangan dibuka. Namun karena rasa ingin tahu yang amat sangat, Pandora membuka kotak itu dan keluarlah berbagai kejahatan di muka bumi. Hanya satu kebaikan dalam kotak tersebut yaitu: harapan. Mitos Yunani pada umumnya merupakan cerminan dari karakter-karakter manusia, seperti Narscissus, Oedipus, dll.
**) Contoh sederhananya tampak dalam proses filter yang dilakukan orangtua pada anaknya yang masih kecil. Orangtua melakukan pemilihan realitas dengan menghindari pertengkaran di depan anak, menyeleksi jenis tontonan/bacaan, mengenalkan anak-anak pada museum, kebun binatang, tempat-tempat bersejarah. Untuk tingkat lanjut, proses filter terinternalisasi dalam masing-masing individu dengan adanya hobi, komunitas, latar belakang budaya, agama ataupun ketertarikkan pada bidang tertentu.
Melihat kecendrungan media cetak sekarang, spesifikasi ini tampak dalam adanya suplemen-suplemen, dan majalah hobi. Di luar negeri(dari cerita teman), media cetak memang didominasi oleh majalah dengan spesifikasi tertentu.
***)Tetap ngga mau keluar dari ‘dunia kecil yuti’ yang damai:D.
Saturday, October 29, 2005
Iqra!!
Pulang bukannya mengistirahatkan pikiran, malah makin menggila seperti ini. Aku jadi mikir, aku ini senang dengan struktur atau ngga ya? Dari beberapa buku yang aku baca, aku menemukan sebuah pola yang sama. Hal menarik yang aku peroleh dari buku pak Onno adalah adanya semangat untuk mengandalkan pengetahuan berbasis komunitas, dimana masing-masing orang memiliki satu suara. Apa yang disampaikan dalam buku tersebut, mirip dengan yang aku tangkap dari Capra dengan kehadiran NGO-NGO yang cukup besar. Keberadaan NGO maupun milis-milis(yang membentuk komunitas maya), diyakini sebagai sebuah usaha untuk ‘melawan’ kekuasaan sentral, seperti pemerintah maupun negara adidaya.
Ilustrasinya aku ambil dari bidang ekonomi saja. Selama ini sistem ekonomi yang digunakan selalu menggunakan mekanisme pasar yang berorientasi pada profit. Padahal dari sejarahnya mekanisme pasar ini mengalami perubahan dari pasar idealnya Smith ke Keynes yang melibatkan campur tangan pemerintah sampai tahap tertentu. Meskipun mekanisme ini pada awalnya hanya dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan perdagangan, namun pengaruhnya secara tidak langsung mempengaruhi sosio-kultural masyarakat(sebagaimana dalam hierarki Maslow, dimana kebutuhan fisik menempati tingkat pertama).
Padahal selain cara pandang kapitalis di atas yang mendominasi para ekonom Amerika, ada pemikiran-pemikiran marjinal yang tidak sepakat dengan kapitalisme. Salah satunya keluar dari pemenang Nobel ekonomi dari Amerika(tapi aku lupa nama dan tahunnya :-( ). Keberadaan pemikir-pemikir marjinal inilah yang oleh Capra merupakan jawaban bagi dominasi yang dilakukan lembaga-lembaga bank dunia dibawah kontrol negara adidaya. Analog dengan kehadiran milis-milis berbasis komunitas yang mempermudah dan mempercepat terjadinya proses transfer ilmu dan menggantikan peranan penguasa dengan orang pintar.
Hmm… kayanya alur berpikirku agak lompat-lompat(as usual). Beberapa hal yang aku tangkap dari pemikiran pak Onno maupun Capra, yaitu: kebutuhan akan adanya diversifikasi informasi/kekuasaan, kemudahan akses informasi, perlunya kajian inter-disiplin dan pengetahuan berbasis komunitas. Hal ini aku tangkap mungkin terwujud dengan adanya management knowledge yang baik.
Salah satu contoh management knowledge yang baik aku peroleh dari jurnal APEC. Pada akhir tahun 1998, Canada telah menghubungkan 16.500 sekolah dan 3.400 perpustakaan, kemudian menyediakan satu komputer on-line di tiap kelas pada akhir tahun 2000. Usaha ini sejalan dengan prinsip management knowledge yang terbagi menjadi: tacit(implicit knowledge), explicit knowledge, dan potential knowledge. Tacit yang aku pahami lebih mengarah pada proses pengalaman, seperti ‘aha experience’ yang kita alami ketika melakukan diskusi ataupun sedang ditutor. Sedangkan explicit knowledge adalah segala hal yang berasal dari informasi yang diberikan(seperti: transfer guru ke murid, dosen ke mahasiswa, buku ke pembaca, web ke pengguna dll). Potential knowledge merupkan pengetahuan tingkat lanjut yang bagiku berarti dapat berguna bagi orang lain(pemahamanku tentang yang satu ini masih minim banget).
Kebutuhan akan adanya diversifikasi informasi memang bisa terjawab dengan kehadiran dunia maya, sebagaimana yang banyak disinggung dalam Filosofi Naif. Namun satu hal yang masih mengganjal dalam benakku adalah masih rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia yang dengan sendirinya melakukan seleksi alam terhadap para pengguna internet dan situs-situs yang dikunjungi. Contoh sederhana di warnet(yang didominasi oleh SMA-mahasiswa), bisa dipastikan salah satu window yang terbuka adalah Friendster, bukan situs-situs seperti MIT, Kurzweil, Scientist, dll.
Semangat one man one vote yang mungkin terwujud via dunia maya memang ideal. Apalagi hal ini mampu mengurangi galat akibat adanya orang-orang munafik(tidak amanah, khianat, dan ingkar) yang mengikrarkan diri sebagai perwakilan rakyat. Namun tetap saja ada tugas besar agar keadaan ideal itu bisa terwujud, yaitu: pencerdasan tiap manusia Indonesia(contoh penyangkalnya tinggal ambil sembarang elemen warga Indonesia, tunjukkan elemen tersebut belum bersekolah, dan dengan mudah hal tersebut terbukti. Hehehe, still try to make math down to earth).
Di Finlandia, pendidikan sepenuhnya gratis. Di Indonesia, pendidikan masih diletakkan dalam kacamata ekonomi dengan orientasi profit. Bisa dibayangkan mahalnya pendidikan, uang untuk membeli baju, sepatu seragam dan buku-buku teks yang acap berganti sesuai KBK. Belum ditambah keberatan dari orangtua yang mengandalkan anak-anaknya untuk turut mencari nafkah.
Hal mencerahkan aku dapatkan dari pengetahuan berbasis komunitas, yang implementasinya aku temukan di sekolah-sekolah alternatif. Keberadaan rumah singgah dengan pendidikan alternatif cukup mencerahkan. Beberapa kisah yang aku baca mampu menghantarkan anak-anak itu memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tak jarang mereka menjadi pengajar disana dengan semangat memberikan kesempatan yang sama bagi anak-anak yang mengalami nasib serupa.
Pengetahuan eksplisit yang kita peroleh dari bangku formal memang berharga, apalagi dalam tataran struktur legal formal. Namun pendidikan bagiku tidak hanya berbicara mengenai ijazah yang berguna untuk melamar pekerjaan, lebih dari itu, untuk pembentukan karakter. Bagaimana seseorang memandang dirinya, orang lain, dan kehidupan ini. Bagiku itulah yang disebut pengetahuan: kekuatan untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.
Mengutip kata-kata favorit dalam buku pak Onno: “Knowledge is power. Share it and it will multiply.”
Wednesday, October 26, 2005
LaTex, Linux, Brontok
Aku sampai punya ciri tambahan mengenai ciri-ciri orang sabar: bisa menulis persamaan matematik yang membutuhkan banyak index menggunakan equation object. Asli, kacau banget. Udah lama, jelek lagi. Alhasil mood-ku melayang entah kemana. Jadi tadi malem bukannya ngerjain bahan presentasi, aku malah main-main dengan LaTex. Hehehe... ternyata menyenangkan, apalagi aku punya beberapa contoh yang udah jadi. Dengan sedikit perubahan, aku udah bisa bikin persamaan yang rumit. Dan yang bikin aku seneng, tampilannya di Adobe jadi bagus banget. Aku jadi kaya punya mainan baru. Nulis-compile, nulis-compile, gitu terus beberapa kali. Trus udah bisa juga meng-include-include. Hipi... seneng...
Linux belum sempat aku coba, karena masih harus ngejar yang lain. Tapi tadi pagi, aku sudah bisa membuka kedok si brontok jelek, dan mengenyahkannya dari kompie-ku, by my own... Huaha.. rekor besar buatku sebagai manusia yang baru belajar mengenal teknologi. Soalnya selama ini aku hanya pengguna aja, ternyata belajar dan bermain hanya memiliki batasan yang tipis.
Kalau ada yang bilang, kemajuan suatu bangsa dilihat dari para pendidik, keadaanku juga sama. Thanks banget buat Ales dan Zaki(hmm.. tapi aku belum bisa bikin link;p)
Wednesday, October 19, 2005
TA
Ternyata TA bisa bikin panik juga. Antara bingung target yang harus aku capai sampai TA itu ngapain. Gila kan, udah jalan nyaris satu semester, tapi aku belum dapat kejelasan TA-ku itu mencakup apa saja. Tujuan, latar belakang udah dapet(setidaknya aku menganggapnya seperti itu), tapi lebih dari itu masih lumayan ruwet. Hobiku untuk membaca bahan-bahan berkaitan dengan shock wave ngga membantu banyak. Jadi berkaitan dengan TA ini aku punya kebiasan baru, mengetikkan berbagai gabungan kombinasi kata di Mbah Goo. Lax-Friedrichs-Lewy+shock wave, finite difference, compressible flow, numeric+shock wave dll. Belum ditambah referensi dari buku, yang membuat tumpukan informasi di kepalaku makin rumit.
Sebenarnya masalahnya sederhana koq, tinggal nanya ke dosen. Kalo dulu masih rada jaim, sekarang pertanyaannya udah lucu-lucuan aja. Kaya kemarin, pas nunjukkin gambaran besarnya, “Pak, saya udah berada di jalur yang benar belum?” Pertanyaan to the point itu jauh lebih baik daripada merasa sudah paham ternyata salah besar. Meski tetap aja ada perasaan sedikit ngeri ketika melihat alur berpikirku diperiksa kata demi kata. Di depan mata kepalaku sendiri lagi. Tapi bagusnya kaya gitu, aku jadi bisa mempertahankan apa yang kutulis(meski ada satu bagian yang aku sendiri bingung bacanya karena hasil terjemahan, akhirnya aku cuma bilang, “Wah, kayanya saya nerjemahinnya kacau, Pak,” sambil nyengir).
Hmm… aku merasa alur ceritanya udah dapat. Dimulai dari persamaan diferensial non-linier yang memiliki solusi diskontinu(shock wave). Solusi tersebut bisa diperoleh dengan menggunakan operator atau melalui beda hingga. Nah, aku mencari solusinya melalui beda hingga. Trus, tujuan dari TA-ku adalah memperoleh ketunggalan solusi melalui beda hingga, khususnya menggunakan skema Lax-Friedrichs.
Skema L-F ini stencilnya berbentuk segitiga. Bentuk ini sesuai dengan konsep daerah ketergantungan dari persamaan diferensial awal. Dari sana, feel untuk membuktikan ketunggalan solusi shock wave melalui beda hingga berasal. Yang membuat aku bingung adalah apa aku tinggal mengikuti alur di buku Smoller mengenai pembuktian ketunggalan solusi? Kalau iya, TA-ku ngga rame banget. Memang untuk itu aku perlu banyak tools yang berasal dari analisis, aljabar, kompleks, tapi tetap aja aku merasa ngga melakukan hal yang sophisticated.
Apalagi dari banyaknya referensi yang udah aku baca, kayanya ngga mungkin kalau cuma mengikuti langkah-langkah yang ada di satu buku(oke-lah ditambah beberapa buku tambahan untuk definisi). Hmm… jangan-jangan masalahku selama ini adalah karena merasa seharusnya bisa lebih canggih dari ini? Hanya masalah PERASAAN. Krik..krik… gawat!!! Mayday..mayday… Yuti memanggil bumi.. roger. Analisa: mode on.
Kemarin aku abis ikut seminar/diskusi mengenai citra media muslim(sekitar itulah judulnya). Jadi aku akan mencoba menganalisis diriku dengan tool: semiotika. Selama ini citra yang terbentuk di kepalaku, TA adalah semacam mahakarya sebelum meninggalkan bangku kuliah. Meski pas awal banget(sekitar setahun yang lalu), dosenku bilang kalau TA bisa juga seperti mengerjakan soal biasa. Tapi karena di kepalaku sudah ada citra lain mengenai TA, kayanya aku(atau lebih tepatnya isi kepalaku) melakukan penolakan terhadap informasi baru itu.
Penanda(materi): TA
Petanda(konsep mental): suatu peninggalan yang keren
Nah, karena kepalaku masih dipenuhi oleh citra bahwa TA adalah suatu hal yang keren, ditambah fakta aku termasuk bookaholic, aku masih tidak percaya kalau TA bisa sesederhana mengikuti alur yang sudah ada di sebuah buku. Apalagi kalau referensi bukunya tidak mencapai 10. Bagiku gambaran seperti itu agak tidak masuk akal. Waktu SMA aja, ketika bikin karya tulis, referensi tulisanku sampai satu setengah lembar. Apalagi ini, yang penggarapannya memakan waktu resmi 2 semester. Tapi sekali lagi ini hanya masalah citra. Sekarang aku coba menggantikan petanda yang sudah mengendap di kepalaku selama ini dengan jawaban yang diberikan dosenku(dengan asumsi: kepalaku berhasil di brainwash dan akhirnya menerima informasi asing itu).
Penanda: TA
Petanda : syarat kelulusan mahasiswa S1 dan ngga perlu mengetengahkan hal baru
Cring..cring.. proses olah data(loading agak lambat karena masih sulit menerima kenyataan itu). Ok, TA gw beres man… tinggal agak rajin ngobrak-ngabrik equation object karena banyak banget simbol-simbol math-nya.
Analisa: mode off.
Dari hasil baca-baca skripsi yang ada, jumlah referensi beragam, ada yang cuma enam(E-N-A-M!, masih susah untuk percaya), sampai yang duapuluhan. Bab-babnya juga macam-macam, yang teoritis lebih mirip buku teks, sedangkan yang terapan sesuai citraku selama ini, ada masalah, dan pemecahan. Tampaknya aku tinggal rajin-rajin bimbingan biar berada di jalur yang benar dan (semoga) bisa cepat beres.
Sunday, October 16, 2005
Mom..
Minggu ini pulang lagi ke Serpong. Baliknya lumayan mendadak, Jum’at jam 11-an masih asyik di kampus(lebih tepatnya masih sibuk dengan bunyi tring..tring ym, dan beberapa windows yang terbuka), tiba-tiba kepikiran untuk pulang aja. Soalnya pas kuliah alin(aljabar linier) tadi dapat selebaran dari tentang membahagiakan orangtua, ditambah salah satu tulisan di Diary Project berjudul: “Ma, Maafkan Aku..”, jadi mumpung bisa pulang kenapa ngga. Sambil itung-itungan jam, kayanya masih sempat untuk ngejar buka di rumah.
Sambil mempercepat langkah kaki, ke sekre sebentar untuk mengundur waktu traktiran, trus lari ke tempat parkir sambil berdoa belum dikunci. Sampai di bawah, gerbangnya udah dalam posisi tertutup. Waktu udah menunjukkan waktu setengah dua belas, tapi untung aja masih ada petugasnya yang membukakan pintu. “Fiu…h, nyaris aja.”
Sampai di rumah, buru-buru masukin barang-barang yang perlu dibawa pulang. Buku-buku bahan TA, Alin, dan segala peralatan standar: charger hp, dompet, dan pinsil. Akhirnya, yup, siap pulang. O iya sebelum itu, pamit dulu ama Oma. “Ma, pulang dulu.” Cium pipi kiri-kanan, trus cabut. Bener-bener ngejar waktu, biar ngga kesorean di jalan.
Lumayan juga, sekitar jam 6 lewat aku udah sampai. Kebetulan ibuku lagi ada acara buka bareng di kantor, jadi kepulanganku belum diketahui. Pas ibuku pulang, “Momyy…”. Yes!! Bisa bikin mama terkejut. Ibuku Sabtu kemarin ulangtahun. Tadinya mikir mau kirim MMS aja, atau nelpon, tapi setelah dipikir-pikir mending aku-nya aja yang sekalian balik.
Meski minggu lalu udah balik, tetap aja suasana rumah merupakan kondisi tidak biasa. Kondisi ruang-waktunya aneh. Abis di rumah rasanya waktu berjalan sangat cepat, tau-tau weekend sudah habis dan aku harus balik ke Bandung, padahal rasanya belum ngapa-ngapain. Atau hanya mengisi waktu dengan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana seperti nonton televisi, rasanya sudah senang banget. Selain kondisi tidak biasa itu, keadaan di Serpong juga sangat subur bagi kemunculan ide-ide.
Kali ini aku berpikir tentang anak-anak, kompensasi, dan karakter. Pemicunya acara Oprah Show(16/10) tentang Super Nanny. Acara yang mampu menggulirkan diskusi diantara aku, ibu dan kakak. Sambil diskusi, otakku juga ngga mau diam. Ternyata membesarkan anak sulit banget. Apalagi aku juga sedang membaca I don’t know how she does it dan Anak-anak pun Berfilsafat. Buku pertama covernya mirip chicklit, isinya mengisahkan seorang ibu sekaligus perempuan karier. Kerumitan membagi waktu, konsentrasi serta perhatian menjadi fokus dari buku itu. Sedangkan buku kedua bercerita tentang bagaimana anak-anak(usia 4-10 tahunan, kalo ngga salah) ternyata seorang filosof sejati(ngga heran Gardner sering menggunakan anak-anak di buku-bukunya).
Hal yang mengindikasikan hal tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang diajukan oleh anak-anak ternyata memiliki kesamaan dengan masalah-masalah filosof besar dunia. Asli, anak-anak ternyata kompleks banget. Merupakan sebuah keajaiban menyadari aku sudah melewati tahap itu dan menjadi seperti sekarang ini. Padahal melihat permasalahan yang ditimbulkan anak-anak pada orangtuanya, perjuangan orangtua antara mengikuti semua keinginan anaknya dan menetapkan batasan-batasan bagi kebaikan anaknya merupakan suatu hal yang berat. Dari salah satu contoh keluarga yang masuk acara Oprah, diperlihatkan sang ibu tak mampu menahan air mata ketika ia dilarang oleh Nanny untuk mendekati anaknya yang sedang menangis.
Benar-benar ngga kebayang. Ajaibnya, kalau banyak sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu sosial, eksak, ngga ada satu sekolah pun yang mengajarkan bagaimana cara menjadi seorang ibu yang baik. Harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa awan berwarna biru, sampai masalah Tuhan. Menjadi tegas namun sekaligus lembut.
Friday, October 14, 2005
Book Review
Apakah aku mulai melakukan identifikasi? Tampaknya hal itu tidak terhindarkan. Tiap kali seseorang membaca buku, ia pasti melakukan perbandingan-perbandingan atas tokoh-tokoh yang ada didalamnya, pantulan jalinan cerita dengan kehidupannya sendiri. Itulah mengapa dalam sastra, ada ungkapan ‘pengarang telah mati.’ Pengarang tak memiliki otoritas atas penafsiran yang tunggal, pembaca memiliki interpretasi personalnya sendiri. Bagiku hal itulah yang kadang membuat sastra jauh lebih menusuk dibandingkan buku-buku teori.
Apakah segala hal yang berasal dari sayang harus berakhir dengan kebencian? Sebuah batasan tipis yang bisa berubah dalam seketika? Hubungan yang begitu rapuh hingga dalam luapan kebersamaan tersimpan benih-benih keterasingan akibat pertengkaran? Hari-hari resah yang terkadang berselimutkan air mata namun disaat yang sama membuat perasaan membuncah? Test-test untuk membuktikan curiga namun sekaligus meluluhlantakkan segala rasa?
Sampai kapan semua itu akan berlangsung? Tawa-tangis, kangen-bosan, percaya-bimbang, berubah terus menerus hingga akhirnya tak ada lagi yakin tersisa. Pijakan yang telah terukir lama sebelum kau memulai ini semua, kini nyaris tak bersisa. Kau hanya mengikuti sedikit antusias yang tertinggal, meski kini kau tak tahu lagi kemana ini semua akan bermuara. Serumit itukah?
Aku lelah, sekaligus marah, tapi lebih lagi, itu hanya sebuah cerita. Kenapa cerita itu mampu menghadirkan gundah? Sepotong ego yang tertohok, permainan yang kini sudah keluar jalur, dan tiba-tiba menjadi tidak lucu lagi? Sebuah kebiasaan akrab yang kini tiba-tiba diluar kontrol?
It's only a book...
Wednesday, October 12, 2005
HP
Coba tebak, kalimat apakah ini:
iclo csc lcccr
Hmm... yang jadi masalah lebih besar lagi, bagaimana caranya ya orang tau kunci pemecahannya(selain dari membaca blog)?
Monday, October 10, 2005
Nama : Yuti Ariani
Usia : 22 tahun
Jum’at lalu aku pulang ke rumah. Perjalanan di kereta aku gunakan untuk tidur dan baca Relativitas-nya Einstein. Buku itu lumayan cocok untuk dibaca di kereta karena untuk menerangkan konsep relativitas, Einstein banyak menggunakan contoh kereta sebagai ilustrasi. Namun meski sudah disebutkan bahwa buku itu diperuntukkan untuk orang awam tetap saja membutuhkan konsentrasi tinggi untuk membacanya. Alhasil aku hanya mampu mencerna beberapa bagian, dan sisa waktu aku gunakan untuk melihat pemandangan.
Aku senang dengan perjalanan. Sendiri, hening dan memberikan banyak kesempatan untuk berpikir, merenung dan mencoba merangkai segala kejadian yang telah kualami. Ada saatnya pengalaman itu enak untuk disimpan, tanpa dokumentasi. Setiap kali aku membutuhkannya, aku hanya perlu diam sejenak dan mengingat segalanya sebagaimana yang kuinginkan. Namun ada saatnya aku senang mengabadikan momen lewat tulisan maupun gambar. Bahkan saat aku masih sering menulis catatan harian di buku, dengan melihat gaya menulis, kedalaman guratan bolpen, kerapihan, aku bisa mengenang emosi yang aku rasakan saat menuliskan rangkaian kata tersebut.
Ah, teknologi telah banyak menggantikan hal klasik. Kini kalau tidak menghadap layar kompie, ide rasanya tidak mau mengalir. Mirip dengan para penulis tua yang setia dengan mesin ketik mereka, hanya untukku itu berarti aku telah dipengaruhi oleh teknologi. Memikirkan hal itu(bahwa aku bisa dipengaruhi, atau lebih kasarnya diperbudak, teknologi), cukup menakutkan. Aku tidak mau suatu waktu, aku menjadi semacam komponen dalam sebuah mesin raksasa mekanistik yang hilang kesadaran. Aku masih ingin memegang kontrol, bukan karena gila kekuasaan atau apa, tapi aku berpikir itulah kelebihan manusia, makhluk berkesadaran.
Cara untuk tetap sadar adalah dengan mulai memikirkan masa depanku. Aku tahu, topik seperti ini sudah cukup lama kutunda. Tapi setelah melihat kakakku yang sudah bekerja dan mengunjungi kost-annya di wilayah Cakung, aku jadi berpikir lebih serius. Apalagi dengan doa-doa dari teman-temanku waktu ulangtahun kemarin. Mulai dari doa untuk menjadi perempuan shalihah, dikelilingi orang-orang yang menyayangi, sampai "cepet dpt jodoh yg ngganteng pisaaan!"(hehehe masih ngakak kalo baca sms yang satu ini, dikutip apa adanya).
Apa targetku dalam satu tahun ini? Asli, aku tidak terbiasa dengan target-targetan. Satu-satunya hal yang kupatuhi dan mirip dengan konsep target adalah deadline. Itupun biasanya kugarap mendekati waktunya, karena bekerja dalam kondisi tertekan biasanya mampu meningkatkan kreativitas. Aku tahu ini cara yang sangat jelek apalagi kalau digunakan untuk belajar matematika yang membutuhkan pemahaman mendalam. Tapi sampai tingkat 4(ronde 2), aku masih belum bisa menghilangkan kebiasaan jelek ini. Although I try to change this bad habit.
Sobatku pernah bilang, “Yut, aku ingin lihat kamu seperti Amartya Sen.” Saat itu aku hanya tertawa. Tapi kini aku mulai memikirkan kata-katanya lebih dalam. Mungkin memang tidak akan sekelas Amartya Sen dengan pandangannya yang pro-kerakyatan, namun setidaknya aku ingin ilmuku tidak berdiri seperti menara gading yang hanya terpahami segelintir orang, atau kalaupun iya, pengaruhnya bisa sampai ke masyarakat luas. Itu mimpiku. Mimpi yang dari dulu selalu terbayang meski aku belum tahu bagaimana mewujudkannya.
Kecendrunganku saat ini adalah studi kebijakan publik, makanya belakangan ini aku senang dengan kajian budaya(cultural studies). Rada ngga nyambung sih, cuma dengan melihat kajian budaya maupun kebijakan yang ada, aku jadi belajar melihat hubungan antar tiap bagian sebagai sebuah gambaran utuh. Bagaimana suatu hal mempengaruhi hal lain, massa, kapital, konspirasi, pola, menarik. Dalam jurnalistik sekalipun, redaktur ekonomi menyerap orang paling banyak karena kompleksnya masalah. Naiknya harga cabe misalnya, bisa dipengaruhi dengan banyaknya tukang palak sepanjang jalan dari kebun menuju pasar.
Gambaran yang masih cukup blur sebenarnya. Namun sampai Januari ini aku ingin memberikan waktuku sepenuhnya untuk bertapa di jurusan. Pasca-Januari, aku akan kembali turun gunung, mencari pengalaman-pengalaman baru. Les bahasa, ikut pelatihan, kursus, jalan-jalan atau ikutan lsm, sambil mulai serius nulis. Bikin target dan mulai melebarkan sayap.
Ada banyak hal yang ingin kulakukan, sambil mulai mencari bayangan tentang gambaran ideal beberapa tahun kedepan. Dulu gambaranku adalah mengikuti jejak orangtua, sekolah terus menerus. Tapi belakangan gambaran itu berubah. Kalaupun sekolah lagi, yang terbayang adalah ke luar negeri. Untuk penyegaran suasana sekaligus biar bisa konsen. Sedangkan kalau ngga bisa sekolah ke luar tampaknya aku akan memilih untuk langsung kerja, biar bisa langsung merasakan dunia nyata. Belum ada profesi pasti sih, tapi ya sekitar dunia sosial gitu deh.
Banyak yang ngira aku ngga suka math. Sebenarnya ngga segitunya koq. Sampai level tertentu aku suka, karena itu aku masih memikirkan sebuah profesi yang bisa mengakomodasi kesukaanku pada kebijakan/fenomena/ gejala sosial dengan matematika. Lagian aku selalu memandang math sebagai ilmu tentang logika, jadi ngga begitu masalah. Bapenas kali ya… soalnya ada teman yang kerja di sana dan kerjaannya membawa ia ke Aceh. Aku ngga kebayang kerja yang sehari-harinya hanya menghadap layar monitor dan hanya disela waktu istirahat.
Kayanya jawaban pastinya akan aku cari dalam waktu dua bulan kurun Jan-Maret, itu juga kalau wisudaannya ngga dimajuin. Sekarang yang penting lulus dulu.
Sunday, October 09, 2005
Kepada Seorang Kawan
[Episode: Terimakasih]
Sudah lama aku tidak menyuratimu. Bukan karena aku sudah melupakanmu, kau boleh yakin aku tidak mungkin melakukan hal itu, tapi aku berusaha untuk menjadi dewasa. Kau mungkin bingung, apa hubungannya kedewasaan dengan surat-suratku untukmu? Aku yakin kau akan geleng-geleng kepala dengan cara berpikirku yang aneh, namun bukankah kau selalu menyukainya dan karena itu kita bisa cocok?
Saat ini aku sedang bertapa. Setidaknya, aku mencoba untuk melakukan itu. Merenungkan segala hal yang telah aku alami, rasakan, dan lebih jauh dari, apa yang ingin aku lakukan kedepan. Seperti yang selalu kau doakan untukku, “Semoga kau dapat meraih legenda pribadimu.” Aku memang sedang melakukan hal itu, dan untuk mencapainya aku mencoba untuk bisa berdiri sendiri. Namun tiap kali aku mencoba merenungkannya sendiri yang kutemukan hanyalah jalan buntu.
Kau tahu, ketika aku berusaha mencari jawabannya ke dalam aku malah kian bingung. Dorongan dari dirimulah yang membuatku menemukan secercah jalan terang. Aku tahu, kalau begini terus aku tidak bisa menjadi dewasa, aku akan selalu bergantung padamu. Ingin rasanya aku bilang, “Kamu jangan terlalu baik padaku, nanti aku tidak bisa mandiri,” tapi selain aku tidak mampu mengatakan hal itu, aku merasa keberadaanmu dalam hidupku sudah demikian adanya, begitu benar. Seperti mentari yang menyinari bumi dengan sinarnya, tanpa perlu ada alasan mengapa.
Kuharap kau tidak merusak gambaran ini dengan mengutarakan teori-teori kosmologi ya… Aku tahu galaksi kita tidak memiliki kedudukan unik dalam jagat semesta ini, karena itu keberadaannya setara dengan galaksi-galaksi lainnya. Tapi pernahkah kau berpikir sebuah susunan tata surya yang sama sekali lain? Sebuah gambaran aneh khas film science-fiction? Jujur saja, aku tidak bisa membayangkannya, sama seperti membayangkan kehidupanku tanpa dirimu.
Mungkin kau akan bilang aku gombal(hei, bukankah kau sudah terbiasa dengan gayaku ini?), tapi bagaimana kalau aku bilang bahwa apa yang kukatakan ini benar-benar datang dari hatiku? Apakah kau akan melarangku untuk berkata jujur?
Baiklah, aku akan mencoba untuk membuatnya sederhana.
Terimakasih karena telah menjadi kawanku
Terimakasih karena menunggu pergantian hari untuk menyambut hari lahirku
Terimakasih karena doa-doamu yang menyejukkan
Terimakasih karena keberadaanmu
Terimakasih karena mau memahamiku
Terimakasih karena mau menerima baik burukku
Terimakasih karena menjadi bagian dari hidupku
Nah, sekarang kau lihat kan, aku benar-benar tidak pandai berkata-kata. Ada begitu banyak kebaikanmu yang belum kusebutkan, dan tiap kali aku menuliskan salah satunya, ingatanku bergerak jauh lebih cepat. Aku menyerah… kau begitu baik.
Kawan, saat ini Ramadhan. Aku tahu kata-kata dan sikapku takkan pernah bisa membalas segala kebaikanmu, karena itu di bulan mulia dan penuh keajaiban ini, hanya kepada Sang Khalik-lah kupinta yang terbaik untukmu.
Salam sayang selalu,
Kawanmu
Yuti Ariani
NB: Kepada orang-orang yang telah menyisihkan sebagian waktunya untuk memberi kebahagiaan dan doanya untukku, terimakasih yang tak terhingga…
Friday, October 07, 2005
Berarti
Temanku pernah bertanya, apakah egois ketika meminta kehadiran seseorang hanya dikala gundah? Bagiku jawabannya adalah tidak, karena saat berbagi kegundahan, orang yang mendengarkan juga akan memperoleh sesuatu. Berbagi kasih masih merupakan suatu hal yang ajaib, tak habis dan ketika dibagi ia tak berkurang melainkan menjadi lebih.
Thursday, October 06, 2005
Ramadhan...
Ke kampus siang menjelang petang
Dengan mata setengah terpejam
Beberapa rintik air hujan
Sunday, October 02, 2005
Dan Damai...
Perasaan campur aduk, Ramadhan yang kian dekat tapi aku merasa belum siap ditambah hawa kebencian yang meletup lewat bom Bali II. Seandainya aku bisa memfokuskan diri pada satu hal dan maju dengan itu, tapi hal itu sampai sekarang masih muskil. Padahal dengan menjadi gelisah, keadaanku tak bertambah baik: tidak produktif, bad mood. Ugh... akhirnya aku melakukan apa yang biasa kulakukan kalau lagi kacau: beli buku. Niatnya mau beli buku yang ringan-ringan aja, seperti teenlit atau chicklit. Tapi rasanya sayang juga ngeluarin uang untuk buku-buku kaya gitu. Akhirnya untuk mengalihkan pikiranku dari realitas, aku beli buku Relativitas-nya Einstein. Asyiknya baca buku teori kan biar pikiran bisa beralih dulu dari kondisi riil.
Kenapa sih orang senang banget dengan keributan? Karena benci, kecemburuan, ketimpangan, kemarahan? Aku bingung, heran, marah, sedih, tidak berdaya, entahlah. Aku sendiri ngga ngerti apa yang kurasakan sekarang. Di saat yang sama aku juga memperoleh ucapan yang mampu meredam emosiku, ucapan Ramadhan dari teman-teman. Rasanya seperti oase ditengah segala hiruk pikuk hawa kedengkian. Kalau semua orang saling memaafkan, apa dunia bisa damai ya?
Kadang aku ingin bisa sembunyi dibalik selimut dan melupakan segala hal yang sudah kulihat. Namun aku ngga yakin kalau aku menutup mataku, segala hal yang terjadi diluar akan menghilang. Seperti bulan sedang berada di belahan dunia yang lain, meski keberadaannya tidak bisa kulihat, tapi aku tahu ia masih ada diluar sana, menerangi orang-orang di benua yang berbeda denganku.
Beberapa cahaya bagi pekat jiwaku:
AssWrWb.4 my precious friend: Mohon dibukakn pintu maaf jika ada ucap dan sikap yg tak berkenan.Smoga qta sampai pd Ramadhan dan berkh Ramadhan sampai pd qta.(ales)
Dalam hujan kusaksikan rindu
Dalam malam kudebarkan harap
Dlm hening kutebarkan pinta
agar teretas jalan menuju jannahNya d Ramadhan ini..
maaf lahir batin(adi fi99)
Alunan nada menggema
Getarkan lubuk jiwa
Seiring simponi hati yg merasakan Cinta-Nya...
Marhaban Ya Ramadhan
Semoga jadi yang terbaik dalam hidup kita ;]
Keep Ur Spirit! (yanti)
Ya Allah, aku merasa tak layak menerima segala kasih ini
Khilafku membentang dari terbitnya fajar hingga tenggelam kembali
Tundukku pun masih dipenuhi segala urusan duniawi
Namun cahaya-Mu tak pernah henti kunikmati
NB: terimakasih untuk keluarga, teman-teman yang mengajarkanku melihat kasih-Nya. Hanya kepada Sang Pemilik Kasih kupinta balasan yang terbaik.
Saturday, October 01, 2005
Math & Me
Ba’da subuh iseng aku buka-buka buku PDE(partial differential equation)-nya Strauss. Ketika bimbingan kemarin, dosenku mengingatkan aku tentang daerah ketergantungan yang sempat beliau singgung di awal semester. Ternyata informasi tersebut ada kaitannya dengan ketunggalan solusi yang aku cari dengan metode numerik. Setelah bolak-balik beberapa halaman sambil sesekali diseling dengan buku LeVeque yang menyinggung masalah numeriknya, aku malah penasaran dengan latarbelakang munculnya metode numerik tersebut. Untung kemarin aku udah nyimpen file di flash disk. Akhirnya karena bosen juga bacain buku teks, aku beralih aja ke layar monitor.
File yang membahas mengenai latarbelakang numerik belum berhasil kubaca. Gara-garanya pas nge-download jurnal IBM tahun 1967 tentang Mathematical Physic, khususnya bagian CFL(Courant Friedrichs Lewy) condition, ternyata file-nya ngga bisa dibuka. Daripada ngga ada sama sekali, akhirnya aku cari aja cerita tentang Friedrichs dan bagaimana kehidupannya. Ya begini inlah yang menyebabkan konsentrasiku suka ngga jelas juntrungannya, setiap kali menemukan hal baru yang menarik, aku pasti ingin tahu lebih dan lebih. Padahal kalau menurut Teori Ketidaklengkapan Godel, dibalik sesuatu ada sesuatu lagi dan lagi, sampai tak hingga. Begitu juga dengan informasi, setiap kali sudah menemukan informasi baru pasti ada kaitannya dengan informasi lain yang akan semakin meluas. Seperti cuaca: yang tidak akan pernah terjelaskan dengan alat yang kekompleksannya kurang dari alam itu sendiri(nah kan, ceritanya meluber kemana-mana).
Aku baru nyadar kalau ternyata aku moody banget. Kalau ngga suka sesuatu, bawaannya ngga konek. Seperti ada tembok-tembok besar yang menghalangi otakku untuk sampai pada informasi. Dalam Piece of Mind hal ini memang dibenarkan jika ditilik dari cara kerja otak bekerja. Artinya, rasa suka/ngga mempengaruhi penerimaan seseorang akan informasi. Dan karena alasan itu pula aku selalu mencoba mencari bagian terbaik dari sesuatu/seseorang. Khusus untuk matematika, kayanya keasyikkan itu baru aku temukan sekarang(kalo orang pesimis bilang: yah... tingkat akhir, udah terlambat banget, tapi karena aku optimis jadi tanggapannya: alhamdulillah, TA-nya jadi semangat deh. Kalo dapetnya pas awal-awal mungkin sekarang udah ngga semangat lagi:p).
Meski dari awal aku memang cukup sering baca cerita-cerita ‘lucu’ math dari sudut sejarah, ensklopedi maupun filosofinya, tapi ketika dibandingkan di kelas tetap aja ngga nyambung. Ya iyalah, makhluk-makhluk yang dikenalkan oleh dosen aja bagi banyak orang dianggap abstrak berat, gimana mau nyambung ama pemikiran filosofis math yang bagiku malah lebih bisa dicerna. Adanya gap antara bahan bacaan dengan materi di kelas memang cukup bikin aku ngga semangat. Abis hidup tanpa cerita bagiku aburd abis. Baru belakangan aja, aku bisa nangkep cerita tentang matematika. Tentu aja cerita ini bukan kisah kelinci yang tiba-tiba melintas di hadapan Alice(meski di mbah Goo aku pernah baca, kalimat-kalimat di buku Alice in Wonderland bisa disajikan dengan simbol matematika dan logikanya mengikuti logika matematika), melainkan kisah mengenai elemen-elemen di sebuah ruang vektor, basis, kebebaslinieran dll.
Awalnya emang aneh membicarakan anggota himpunan di ruang vektor V seperti membicarakan i.e Anjasmara dalam tayangan gosip. Tapi merasakan suasana kelas yang begitu antusias, aku baru nyadar kalau ternyata makhluk-makhluk abstrak itu bisa sama menariknya(dengan acara gosip dan kehidupan artis yang bahkan mungkin lebih abstrak dari matematika:D). Berawal dari aljabar yang bagiku merupakan awal pembentukan pola pikir seseorang(kata dosenku matematika adalah ilmu tentang implikasi), aku mulai melakukan pendekatan yang lebih manusiawi pada kuliah-kuliah lain di math. Salah satunya adalah dengan menilik sejarah hidup matematikawan yang sedang aku pelajari.
Kebayang ngga, kalau nama orang-orang yang sering digunakan ternyata punya kehidupan yang sama dengan manusia biasa. Batasan antara orang-orang dalam buku dengan orang diluar buku yang tiba-tiba pecah, dan semuanya kemudian tampak lebih manusiawi. Seperti kisah Friedrichs yang harus pindah negara karena suasana German yang tidak kondusif semasa Hitler. Sosoknya sebagai seorang ayah dari 5 putra, dan bagaimana ia bertemu dengan pendamping hidupnya yang dalam sejarahnya dikatakan mendukung penelitian dan membuatnya kian produktif. Kecintaannya pada berbagai bidang ilmu, seperti: filsafat, sejarah, fisika, psikologi. Perhatiannya pada pengajaraan, hingga Fritz John berujar ia pasti setuju dengan kata-kata, “no mathematical theory is completely realized until you can explain it to the first man you meet on the street.”
Fiu..h... keren banget. Tampaknya menjadi seorang cendekiawan/matematikawan tidak pernah hanya terbatas pada suatu bidang melainkan menyeluruh. Seperti ketika mengaitkan identitas seseorang berkenaan dengan agama, suku, ras atau bangsa, semuanya merupakan keseluruhan cara pandang yang akan membawa kita menjadi manusia utuh(baca: satu). Menjadi orang kritis bagi Friedrichs tidak membatasi dirinya terbatas pada math, tapi jauh melampaui itu.
Aku jadi ingin segera menemukan legenda pribadiku...
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...